Maka, segera kubangun sebuah rumah megah agar kau damai sentosa. Orang-orang menyebutku gila.
Menjual Sepetak Sawah, puan rinai

kisah kelahiran
ia mengandung puisi
hasil persetubuhan kata-kata dan nasib cintanya
kekasih yang bermain petak umpat melawan oligarki
tak pernah keluar lagi, dan pulang ke dadanya
kekasihnya dilahap para asu
pada sebuah perjamuan pukul satu
meninggalkan benih puisi yang tertanam di rahimnya
pada suatu hari baik, puisi ini lahir
berlari mengejar para asu
yang mahir sembunyi, namun lupa
menghapus jejak kematian nurani
pada wajah, perut dan kaki mereka
Majapahit, 2020
sepotong kaki
setelah Buli-buli Kaki Lima Nirwan Dewanto
gajah berkaki lima yang kau gambar tujuh tahun lalu masih hidup bebas. menyisir tiap sudut kota yang kau bangun di kepala. rajin menghadiri pemakaman babi, kobra, hiu, sapi, kuda dan asu. tepatnya gerombolan asu yang mati di jalanan. jika bukan tumpangan gajahmu, aroma mereka membuat kota menjadi pasar bangkai.
aku bukan perempuan dari magdala yang sedang berjalan menuju vignole; yang hidup dalam puisimu. tidak pula tukang pos yang sedang menunggu hujan di monona. cukuplah aku sebagai puan yang mencintai sapardi. mendoakan keselamatanmu pada musim gugur. dan mewarnai kelopakmu saat musim semi.
aku sedang belajar bersiasat. mencoba membaca matamu. mengeja gajah yang hidup di tubuhmu. kenapa ia berkaki lima dan tinggal di kota. apa dengan sepotong kaki aku bisa berlari, dan memenuhi janji membeli sekuntum peoni?
Majapahit, 2020
sebuah bangku taman di bawah pohon maple
kepada Louise Elisabeth Glück
I
aku duduk di sebuah bangku taman
mulai mengisap cerutu
menghitung nyala lampu
: satu, tiga, lima padam
dan sembilan untuk cahaya di pintu masuk
sebuah daun maple jatuh
rebah di mataku
II
pagi tadi seorang perempuan duduk di sini
bersandar di punggungku
ia mendapat satu kabar
untuk pertama dan terakhir
sejak sebuah kapal mengaurkan
aroma tubuh kekasihnya
25 tahun silam
ia tak pergi ke pemakaman
sebab telah dikubur
: seluruh kenangan
satu jam selepas kekasihnya
melambaikan tangan
III
pukul satu seorang gadis bergaun hitam
memandangi tubuhmu
ia bermata lautan
menumpahkan biru di tubuhku
ia tersesat
dan ingin pulang
menuju gunung di belakang perkampungan
IV
ia bercerita tentang suaminya
yang gemar bermain api
dan sering membakar rumah sendiri
di tubuhku, kau menjatuhkan diri
ke pangkuannya yang gemetar
kau tahu, ia tak pernah percaya
bahwa kau adalah nama lain dari
keharmonisan dan kesetiaan
V
lelaplah!
meski belum usai
aku terjaga dalam mimpimu
sepanjang musim
Majapahit, 2020
menjual sepetak sawah
ia mengatur jadwal pertemuan
menelpon sebuah nama
menanyakan jumlah
perihal kepastian fana
sebelum subuh ia berkemas
membawa cangkul dan sabit
sekarung pupuk kimia
sekotak benih jagung yang mulai tumbuh tunasnya
ia berjalan sepanjang pemakaman
meletakkan seluruh barang
: pada sebuah nisan
menulis kalimat penutup
“Maka, segera kubangun sebuah rumah megah agar kau damai sentosa. Orang-orang menyebutku gila. Sejatinya mereka tidak waras sejak mula. Menerima uang muka, merelakan sumber kehidupan ditelan para raksasa.”
Majapahit, 2020
TANDA
ia menyaksikan Bintang-bintang
ketika Lampu jalan masih Padam
dan Bayang-bayang tidak di Barat
tidak pula di Timur.
Majapahit, 2020
T e n t a n g P e n y a i r
Lebih akrab disapa puan rinai. Founder sudut baca puan (@sudutbacapuan). Pemilik Kedai Cerita dan Puisi Atika di @puanrinai. Penghuni Ruang Tunggu di medium.com/@ruangtunggu. Bungsunya Lapak Baca Nyala.
- Puisi-puisi Kiki Nofrijum | Magrib Macet - 30 September 2023
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
Discussion about this post