“Dulu kukira asap ini adalah asap dari penjual sate yang lain. Harumnya berbeda dari sate kebanyakan. Dan yang lebih aneh hanya bisa ditemui ketika malam Jumat. Tapi ternyata semua itu berasal dari orang ajaib sepertimu.” Penjual sate itu tertawa kecil.
Tusuk Sate | Muhammad Noor Fadillah
Tak ada seorangpun selain dirinya di bawah pohon kalpataru itu. Asap pembakarannya mengepul ke arah tenggara, tepat ke arah pekuburan yang kebanyakan nisannya tanpa ada nama yang jelas. Semacam pekuburan masal. Para orang tua sering melarang anaknya melewati tempat itu. Namun berbeda dengan laki-laki berbaju belang merah putih yang terus mengipasi sate-satenya. Sesekali menawarkannya jika ada orang yang lewat. Tentu dengan suara khasnya.
Malam ini adalah malam Jumat. Seperti biasa, ia sedang menunggu seseorang. Mereka memang selalu bertemu pada malam Jumat. Tapi biasanya orang yang ditunggu datang agak larut malam. Karenanya, penjual sate itu tetap berjualan meski malam sudah semakin membawa hawa dingin.
Satu porsi sate sudah siap. Sebelas tusuk sate, bumbu kacang, kecap manis, taburan bawang goreng, dan yang tidak boleh ketinggalan adalah nasi sebagai pangganti lontong. Bukan karena kehabisan, namun kebiasaan temannya itu memang hanya bisa makan sate dicampur nasi. Karenanya, setiap malam Jumat ia membawa nasi yang dibungkus daun pisang.
Orang yang ditunggu akhirnya datang. Tak banyak bicara, ia langsung duduk di kursi plastik di bawah pohon. Di punggungnya tergantung sebuah tas berbentuk tabung yang terbuat dari rotan. Pandangan matanya kosong. Penjual sate menghidangkan satu porsi sate yang tadi disiapkan. Lelaki itu segera menyantapnya. Kebetulan ia sedang lapar.
Bagi orang yang pertama kali melihatnya, mungkin akan sedikit terkejut jika melihat perawakannya. Memang tak ada yang berbeda. Hanya saja ukuran cuping telinganya lebih panjang dari manusia normal. Kira-kira sepanjang leher. Beberapa centimeter lagi sebelum menyentuh bahunya yang kokoh. Ia memakai beberapa buah anting berbentuk bundar yang terbuat dari tembaga.
“Apa kabarmu hari ini? Apakah kamu masih melakukan hal yang sering kamu lakukan?” tanyanya sembari mengipas sate.
Masih melahap sate dengan tangan langsung. Nasi di piringnya berwarna kecoklatan setelah bercampur dengan bumbu kacang.
“Tentu saja. Sampai kapanpun akan terus aku lakukan.”
Penjual sate menyembulkan sebaris senyum tipis. Pertanyaan yang sering ia lontarkan dan jawaban yang sering ia dengar.
“Kamu sendiri, mengapa hanya diam?. Bisa-bisanya kamu begitu menikmati harum sate-satemu sedangkan salah seorang keluargamu tak pernah ditemukan.”
Penjual sate berhenti mengipasi satenya. Sedang memikirkan sesuatu. Ia kemudian duduk di samping lelaki itu.
“Aku tidak pernah bahagia dengan semua ini. Tapi aku juga tidak mungkin larut dalam kesedihan. Kita hanyalah korban keadaan. Dan tidak boleh mewarisinya. Lagipula ada banyak orang di luar sana yang ingin menikmati sate dan bumbu kacang yang aku buat ini.”
“Mengapa kamu begitu tegar? Apakah kamu sudah ikhlas?”
“Entahlah,” kembali bangkit. Mengangkat beberapa tusuk sate dari tempat pembakaran. Itu adalah sate terakhir sebelum ia mematikan bara api dengan mencipratkan air. Selanjutnya ia mulai merapikan perkakasnya.
“Apa kamu pernah khawatir, jika peristiwa di masa lalu itu akan kembali terulang. Dan kita akan kembali kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Tak ada lagi hubungan semacam ini?”
“Semua orang pasti sudah tahu jawabannya. Terlebih kamu yang pasti akan merasa lebih rugi karena tak bisa lagi menyantap sate-sate buatanku dengan resep keluarga yang turun temurun. Siapa pula yang rela jika harus kehilangan orang-orang yang dicinta. Lebih menyayat hati jika tak hanya mati, tapi juga diiris-iris seperti daging binatang.”
“Kamu menyindir kami?” matanya menatap tajam. Antingnya terdengar bergemerincing saat ia menoleh dengan cepat ke arah penjual sate.
“Kami? Bukankah kamu tidak termasuk dalam generasi mereka. Untuk apa menyalahkanmu. Aku bukanlah orang yang suka memberi stempel pada suatu kelompok.”
Lelaki itu selesai melahap semua sate. Kini hanya tersisa tusuknya dan sedikit bumbu kacang. Ia membuka tasnya dan mengambil sejumlah uang untuk bayar. Namun penjual sate itu menolak untuk kesekian kalinya.
***
Laki-laki itu mengitari gundukan tanah sambil mengamati beberapa nisan yang ada-sebagian besar tanpa nisan. Kemudian terhenti pada sejengkal tanah yang ia yakini bagus untuk menggelar ritualnya malam ini. Suasana amat sepi. Angin berhembus semilir ketika ia membaringkan sebuah mandau di tanah. Ia duduk bersila, memakai ikat kepala yang berhias bulu burung, memejamkan mata, lalu membaca mantra.
Dari dalam tas anyaman rotan yang ia bawa, ia mengambil segenggam dupa yang langsung ia lemparkan ke berbagai penjuru. Mulutnya terus berkomat kamit. Tak lama, dupa itu sekejap menjadi asap putih tipis. Angin semakin bertiup hingga asap itu menyebar ke berbagai ruang. Dari sana tercium pula harum yang menusuk.
Tiba-tiba mandau yang ada di hadapannya berdiri dengan sendirinya. Mandau itu kemudian terbang cepat ke sana kemari mengitari semua kuburan. Sama sekali tak terdengar pergerakannya. Senyap saja. Seolah seperti sedang memeriksa roh-roh yang terbaring di sana. Mulutnya tak berhenti membaca sesuatu. Sesekali kedua tangannya ia bentangkan di udara. Ia seperti berdialog dengan orang lain.
Mandau terus menyisir area pemakaman. Tak ada satu orangpun di sana sehingga aksinya bisa terus berlanjut. Hanya terdengar bunyi-bunyian dari serangga yang hinggap di pohon kamboja serta semak belukar. Malam terus beranjak dari bulan purnama yang terang.
Hingga akhirnya laki-laki itu terbatuk-batuk. Tubuhnya lemas dan seketika itu ia tersungkur. Mandau miliknya tak berdaya lagi dan tergeletak begitu saja. Asap putih berangsur menghilang. Kini hanya terdengar rintihan menyakitkan.
“Ya ampun. Apa yang terjadi denganmu?” seorang penjual sate datang dan mengangkat tubuh kurusnya. Mereka menuju kursi yang ada didekat sebuah gerobak.
“Sialan. Siapa kamu? Sedang apa di sini?” lelaki itu marah. Matanya menyorot tajam. Namun tak bisa banyak bergerak.
“Cepat minum dan makanlah ini. Meski tak seberapa, makanan ini setidaknya bisa membantu memulihkan kondisi tubuhmu,” menyodorkan sepiring sate. Asapnya yang masih terlihat menandakan jika sate itu baru diangkat dari pembakaran.
“Jawab saja pertanyaanku. Siapa kamu?” masih tak terima. Ia kembali batuk dan memegangi perutnya.
“Cepatlah makan dulu! Atau kamu bisa mati,” setengah membentak.
Meski ragu, laki-laki itu akhirnya segera melahap sate yang sudah terhidang di hadapannya. Kondisi tubuhnya memang sedang lemas sehingga perlu asupan agar ia bisa kembali bangkit dan melanjutkan ritual. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir lima jam ia melakukan ritual. Seharusnya manusia hanya diberi batas normal selama satu sampai dua jam.
“Maafkan aku. Aku tak sengaja lewat dan melihat apa yang kamu lakukan di sini.”
“Apa kamu bilang?” mencengkram kerah baju penjual sate itu. Siap menerkam.
“Tapi kamu tenang saja. Aku tak akan membocorkan hal ini. Lagipula tak ada untungnya bagiku. Aku hanyalah penjual sate. Juga orang yang beruntung karena masih bisa menjalani hidup setelah kehilangan istriku. Harusnya malam ini ia di sini dan membantuku mengipas sate.” Ia langsung berpanjang cerita. Raut wajahnya tak ada rasa ketakutan. Hanya ada duka yang masih tersisa.
Jawaban itu sedikit menenangkannya. Lagipula ia tak punya banyak tenaga untuk berduel. Suasana mulai mencair. Mereka kemudian terlibat pembicaraan. Semakin lama semakin jauh topik yang mereka bahas. Sesekali juga menegang. Apalagi jika membahas perang besar yang terjadi beberapa waktu lalu. Kedua orang itu sama-sama sedang menanggung derita. Barangkali itu juga yang membuat mereka saling memahami. Setidaknya untuk sekarang ini.
***
Mandau dengan gagang kayu berukir itu kembali melintas di atas pekuburan. Lelaki yang setiap malam Jumat datang ke tempat itu kini tak lagi sendiri. Ia ditemani penjual sate yang selama ini juga selalu memberinya sate gratis sehabis melakukan ritual. Namun kehadirannya di sana bukan lagi sekadar memberikan sate dengan bumbu kacang yang nikmat. Namun ini menyangkut luka yang harus dilenyapkan.
“Dulu kukira asap ini adalah asap dari penjual sate yang lain. Harumnya berbeda dari sate kebanyakan. Dan yang lebih aneh hanya bisa ditemui ketika malam Jumat. Tapi ternyata semua itu berasal dari orang ajaib sepertimu.” Penjual sate itu tertawa kecil.
“Jangan berisik! Aku harus berkonsentrasi. Jangan sampai mandau ini nantinya malah mengarah dan memenggal lehermu, seperti yang terjadi pada orang-orang sepertimu di masa lalu. Kamu harus tahu, bahwa ada beberapa jenis mandau yang jika sudah keluar dari sarungnya, maka ia harus membunuh seseorang,” lelaki itu duduk bersila dengan mata terpejam. Ritual dimulai.
“Ya, kamu benar. Aku memang tidak sehebat dirimu yang sakti. Aku hanya manusia yang terselematkan dari mati. Tapi andaipun aku mati, aku tak keberatan. Bukankah dulu aku juga hampir mati kalau saja tak bersembunyi dalam lemari dan tentu aksi nekad istriku. Orang sepertimu adalah orang yang hebat. Mungkin suatu saat aku bisa saja menjadi pengagummu.”
Lelaki itu terus melanjutkan proses ritualnya. Sesekali membentangkan kedua telapak tangannya dan berbicara sendiri. Hingga akhirnya lelaki itu secara tiba-tiba menghentakkan tangannya ke tanah. Diikuti dengan mandaunya yang menancap pada salah satu kuburan.
“Itu adalah kuburan istrimu,” jawabnya masih dengan mata terpejam.
Penjual sate sedikit tak percaya. Namun ia juga tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Matanya tak bisa beralih dari sebuah gundukan tanah di mana mandau itu tertancap. Kuburan itu terlihat tak terawat. Hanya ada beberapa tanaman liar yang tumbuh. Akhirnya aku bisa menziarahimu, gumamnya.
“Bagaimana dengan anakmu. Apakah sudah ketemu?” ia bertanya dengan bersemangat. Kemudian beranjak menuju kuburan istrinya.
Lelaki itu hanya diam. Tertunduk lesu.
“Anakku sudah di surga.” Menatap langit yang menghitam.
Penulis, Muhammad Noor Fadillah. Lahir di Martapura, 24 Juni 1998. Tinggal di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Seorang penyuka sastra. Anggota Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul “Surat dari Saranjana” (Karyapedia Publisher, 2019). IG: munof_
Discussion about this post