Bait Perpisahan
maka berilah kabar kepada ombak petang, bahwa perpisahan adalah senapan musim yang senantiasa berbalik arah dibelokkan angin.
di sudut dunia yang lain, bising kenangan menyekat.
aku menatapmu dalam bentuk kesempurnaan. apakah ada wujud takjub keadilan di pandangan yang lain.
ini bukan sekedar medioker perbandingan rasa antara cerita masa lampau atau masa mendatang.
kita sama-sama tidak saling mengatahui jebakan perpisahan atau pertemuan, tapi bukan tidak mungkin juga kita bisa mengatur jalan terbaik untuk masing-masing hidup.
aku ingin mencintaimu, tapi dengan kata yang lebih tabah dari cinta, dan lebih kejam dari dendam.
akan kuutarakan pada musim, ketiadanku adalah api yang menenteng bara dalam hembusan nyala angin.
2021
Surat untuk Almeera
almeera. sebelum kau pulang menjenguk liang penghidupan, lihatlah tentang kematian-kematian yang dibangun dari riwayat panjang. tak ada lagi kehidupan yang menganga di sana. tak ada lagi tawa bayi yang dapat di dengar ibunya. yang ada hanya izrail bersempit-sempit mencari kawan. dan beberapa bulldozer memahat mukim orang terampas.
almeera, bertahun sudah kupungut berita kematian di tanahmu, lalu kutulis agar keluarga di rumahku tahu isi dapurmu. jadi, tetaplah di sini, di antara cintaku dan negara tumpang ini.
biarkan aku bersama ribuan mujahid mencari setapak jalan untukmu, untuk kita, untuk mereka. kita akan sampai ke tanah api, hutan batu, dan kembali meneguk air di sana, atas semua kemarau yang maha panjang ini.
almeera! sebelum kau kukenal, sebelum kisah kita bersua pangkal. sudah berapa panjang perjalanan api yang kau sesap, hingga wajahmu menjelmakan senyum rakyat palestina.
“aku sudah mengunyah peluru sedari dalam rahim. jika kematian tak jua melemah, di situ tawa akan kuangkat ke langit paling jauh, sebab tangis sudah terbiasa menikung dalam diam.”
setelah aku sampai di tanahmu. dengan segoni kasih yang terpanggul di punggung, dengan harap-harap cemas yang berladang dalam risau. apa doa paling mujarab darimu? apakah kematian tentangku? atau tentangmu?
“akan kudoakan agar tetangga di sudut gaza dan manusia ketiga menghentikan hari penghabisan, dan kita bercinta tanpa lagi menyambut bunga-bunga api bermekar di langit.”
almeera, jika kematianku bukan doamu, biarkan doaku yang terkabul; mati dalam cintamu, mencari jalan kecil untuk pulangmu, dalam perang yang tak terlerai ini.
dan kau tiada perlu risau, almeera. aku dan kaumku akan terus berjalan ke rumahmu. di atas tungku api, dalam pangkuan hujan peluru, dalam badai rudal yang mencari darah, hanya demi cinta yang tak pantaskan ternilai ini.
tenanglah, almeera. akan kutebus segala hutang piutangmu di laut, di gunung, di pintu kematian dan di mata peluru-peluru lapar itu. tenanglah!
Pauh, 2021
Nona II
nona, telah kususuri tali pantai bandar sepuluh. di kejauhan, cibiran pulau cingkuk serupa panah yang mengolok-ngolok bujang minang ini —lapuk benar jika hanya memadat-madat jalan.
aku tercipta dari darah bapak dan terpancar dari rahim ibu, katanya untuk mengangkat batang yang telah lama terendam ini —ekspetasi terlalu sadis, bukan?
semasa ruh ditiup, kala ubun-ubunku mulai sekeras batu, kita sama-sama melihat dusun ini diisi orang-orang mati, binatang idealis, kira-kira seperti ikan pesisir yang mempertelekan nelayan bertandang saat badai laut bertingkah.
di dusun ini kau bahkan tidak akan menemukan lagi nyanyian tapak bendi yang harmonis, liuk kapareh di sudut sungai-sungai batang bayang, dan rabab ratapan janda ditinggal mati.
tapi, nona dwi, bahkan jika kita mati di sini, kita tak akan meninggalkan belang apa-apa, kecuali nama yang zalim diberi pesan bertali rantai oleh orang-orang ini.
aku pernah duduk bersila sampai subuh, sayang, mendengarkan khotbah tuanku keramat,, sekirannya aku disuruh berkirab dari dusun ini, pergi ke negeri seberang membawa adab dan ilmu pulang. jika tak kutemui hajat itu, aku boleh pulang mati saja, katanya.
tapi nona, jika aku bertolak dari ini dusun, dan kau kubekali penantian tak bermuara, aku yakin kau yang mati terlebih dahulu, sebab bukankah kau begitu mencintaiku!
2021
Putih
dunia dan jejalan serta dinding-dindingnya yang pernah kau lewati adalah rindu membawaku ke hadapan seribu sumpah; aku mencintaimu di bawah payung kesetiaan bersama laut dan hutan belantara mudik yang mengepung segala rasa.
adalah kediamanku bibirmu, mata dan aroma yang kau jejak di tubir kuala.
aku tidak pulang, putih. begitu banyak rambutmu yang tergerai jatuh di mudik bandar sepuluh.
mobil bak terbuka dengan segala bunyi riuh orang-orang pasar pada hari subuh membawa kenangan mendekatiku.
—kerupuk ubi dan kipang dijajakan pagi-pagi sekali. kita bertengkar perkara makan kanji atau lontong pagi.
biarkan aku mati di sini, putih. jauh dari lambaian angin bulu remangmu, berjarak dari tempat kita menggambar masa depan yang kini disebut kenangan atau juga masa lalu haram yang pernah terjadi. putih, kita sudah?
2022
Penulis, Chalvin Pratama Putra, tinggal di Koto Berapak, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Merupakan anggota Kajian Tradisi dan Silat Salimbado Tarok dan Sarang Tampuo. Menulis puisi, cerpen dan esai yang sudah tersebar di beberapa media nasional dan regional.
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post