
Eci lahir di Brebes, dan seluruh hidupnya adalah tualang. Ia tak pernah tahu siapa ayah dan ibunya, yang ia tahu hanya ketika ia sudah mampu mengingat, ia mendapatkan pelajaran pertama dalam hidupnya di panti asuhan. Ia bertumbuh menjadi manusia dengan berpindah-pindah kota. Di setiap kota yang ia singgahi, Eci selalu bertemu orang baik. Hanya saja, di setiap kota yang ia singgahi itu pula, Eci selalu diperkosa. Dengan motif dan orang yang berbeda tentu saja.
Kota pertama yang ia tinggali setelah ia tak lagi di panti asuhan adalah Semarang. Seingatnya, ia diangkat oleh pasangan muda sepasang suami istri yang tidak memiliki keturunan. Berkecukupan, hingga mereka bisa menyekolahkan Eci hingga sekolah lanjutan. Eci hidup bahagia bersama keluarga barunya hanya sampai kelas 3 SMP.
Petaka itu datang ketika Ahmad, anak dari adik ayah angkatnya berkunjung ke rumah. Ahmad sudah kuliah semester awal ketika itu, dan mendapati leher yang tidak sempurna ditutupi jilbab, bikin Ahmad merasa bahwa Semarang ketika itu sangat-sangat dingin. Saat semua lampu sudah dipadamkan di rumah, Ahmad masuk ke kamar Eci bersama gelap malam yang semakin pekat.
Tidak ada perlawanan, itu kali pertama tubuh Eci digerayangi dan ia merasa kalau ada yang seru di tubuhnya. Tidak ada satu orang pun yang tahu selain mereka berdua, kalau celana yang dipakai Ahmad terasa sangat-sangat sempit. Eci menikmatinya, dan mulai bertanya kenapa lelaki tampan ini sungguh bisa memberikan kehangatan.
Berbilang bulan, Eci tidak mengisahkan peristiwa itu ke siapapun.
Keluarga baru itu dapat cobaan lagi. Ratna, tidak ada di rumah ketika semua itu terjadi. Tubuh Eci digerayangi lagi. Berkali-kali. Bukan oleh Ahmad, tapi oleh ayah angkatnya sendiri. Eci tidak menikmatinya, dan melacak perasaan itu di internet. Melalui YouTube, ia akhirnya tahu bahwa ternyata ia sedang diperkosa.
Ratna keluar kota setiap tanggal 20, entah apa urusannya. Artinya, sejak kelas 2 SMP semester kedua, Eci diperkosa 24x oleh ayah angkatnya sendiri. Lulus SMP, Eci merasa ada yang salah dari keluarganya. Beruntung ia tak sempat hamil, sebab ayahnya pintar sekali bermain. Tembak di luar.
Di Jawa, Bandung adalah kota yang indah. Berbekal tabungan, Eci sampai di kota ini dan diterima baik di panti asuhan. Masih membekas luka yang digores ayahnya, makanya Eci memilih untuk tinggal di panti asuhan. Randi, Agus, Asep, dan Saleh adalah orang yang selalu setia menemani Eci dalam suka dan duka, di sekolah baru yang Eci tempati. Tapi keempat lelaki itu tidak pernah tahu dengan Ucok, satpam panti asuhan yang selalu ada di kamar Eci setiap malam jumat Minggu kedua.
Ucok baik dari segi finansial. Sejak itulah Eci tahu bahwa apa yang ada di tubuhnya, bisa dimanfaatkan dengan baik. Setiap keluar dari kamar, selalu saja ada uang/kalung/cincin yang diselipkan Ucok di bawah bantal. Memang, tidak setiap datang mereka selalu main, ya, karena Ucok memang lemah syahwat juga.
Eci sempat menyayangi Ucok melebihi apapun, kalau saja Ucok tak meninggal karena kena tusuk maling di panti asuhan, barangkali ia akan bertahan di sini. Tahun yang pilu mau tak mau harus dilewatkan. Bersama teman-temannya, atas restu orang panti, Eci sampai di Batam. Jurusan yang ia tempuh di SMK itu tidak terpakai sama sekali, sebab, di Batam, Eci tidak menjadi seorang penjahit. Ia bekerja di salah satu rumah makan padang bersama kedua temannya.
Di rumah makan Padang itu, Eci mengenal Badrun melebihi kedua temannya. Badrun yang memulai. Selama di Jawa, ia tak pernah menemukan wanita secantik Eci. Lembut, penuh sopan, berkerudung, dan tentu saja, Eci memiliki lingkar dada yang lucu. Tidak tebal dan besar, sekaligus tidak tipis dan tidak kecil juga. Sesekali nyempil di lipatan baju, sesekali tertutup kerudung.
Rina dan Wati, kedua teman Eci yang berangkat bersama dari Bandung, tidak mempersalahkannya. Batam lain dari kota yang ada di sekitar Sumatera. Di Batam, peradaban seolah lebih maju. Jam malam pun tidak berfungsi. Itulah yang barangkali bikin Jhon, lebih memburu gadis-gadis Batam, ketimbang gadis kota lain. Kamu kenal Jhon? Ia sungguh sangat mudah dilacak, dan dicari.
Setelah rumah makan tutup, Rina dan Wati selalu pulang duluan. Ditemani Badrun sang kasir rumah makan, Eci mencuci piring setelah pelanggan tak ada. Kadang memang hanya cuci piring, kadang, dibantu dengan musik-musik disko yang dibikin keras, sesuatu terjadi di kamar mandi tempat mencuci piring. Kadang baju yang Eci kenakan tersiram air Badrun yang berniat membantunya. Kadang, Badrun menghibur Eci,
“Eci, mahasiswa jurusan komputer memesan apa di warteg?
“Hmm…”
“IT Ampela, wgwg”
Begitulah, malam-malam enak terasa begitu singkat kalau ada Badrun, Eci merasakan sesuatu di hatinya. Eci merasakan hal-hal yang belum pernah ia dapatkan selama ini. Merasa dijaga, ditemani, dan dikasihi. Canda tawa itu berlangsung lumayan lama, kira-kira setahunan. Petaka muncul ketika Eci memutuskan untuk kuliah di Batam. Kuliah modeling, dengan biaya yang setahun ini ia kumpulkan dari kerja kerasnya menjadi pegawai rumah makan Padang.
Sebutkanlah lima belas keunggulan seorang perempuan bila dibandingkan dengan spesies lain di muka bumi, Eci punya semuanya. Eci punya mata yang indah, payudara yang lucu, bibir yang tidak terlalu tebal, suara yang lembut, leher yang bersih, kaki yang panjang, rambut yang lurus (meski lebih sering ditutup kerudung), ketiak yang enak dipandang, pantat yang pas, senyum yang ramah, akhlak yang baik, rajin menyapu & mencuci & memasak & dandan, pintar menabung, serta juara menyanyi di kamar mandi. Hanya lelaki yang buta hati yang tidak akan tertarik padanya.
Mendapati Eci di kelas modeling, sungguh sesuatu yang wajar adanya. Eci bisa memadukan warna kulitnya dengan busana yang ia pakai. Nilainya, kalau tidak 9,8 ya nilainya 10.
“Hidup itu dinamis. Kadang kita di bawah orang lain, jadi anak buah. Kadang orang lain di atas kita, jadi pesuruh. Bersyukurlah, cuma itu yg kita punya”, kata penutup yang Eci sampaikan sebagai pembicara di sebuah kelas modeling online, yang hingga saat sekarang ini bisa kau lacak di Youtube.
Penulis, Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang, 3 Februari 1991. Bekerja dan menetap di Padangpariaman. Puisinya tersebar di beberapa media, massa. Buku puisinya yang telah terbit, Tuhan Tidak Tidur Atas Doa Hamba-Nya yang Begadang dan Menyembah Lampu Jalan.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post