
Dore melewati hari itu dengan hati yang rusuh. Ditinggal seorang perempuan yang sejak lama ia kasihi, membuat banyak hal dalam jiwanya seperti tercerabut. Semangat hidup, atau impian-impian yang sempat ia rajut. Namun, seiring undangan berwarna merah jambu sampai ke tangannya sore lalu, dunianya menjadi serasa runtuh.
Padahal sudah sejak lama, ia telah menyiapkan rencana-rencana masa depan dengan Andin: perempuan yang mengiriminya undangan merah jambu itu. Menyusun daftar dan tujuan hidup hanya untuk membersamai perempuan itu. Tetapi pilihan hidup yang disusun Andin ternyata amat berseberangan dengannya. Mimpi Dore tidak akan pernah nyata, sementara Andin menatap masa depannya dengan senyum kebahagiaan.
“Kita punya tujuan yang berbeda. Kau mengharapkan aku sebagai kekasih, tapi aku malah menganggapmu sebagai teman baik.” Dore mengulang-ulang sepanjang malam pesan WhatsApp yang dikirim Andin padanya.
Selama ini hubungannya dengan Andin memang susah ditakar. Dore tak pernah mengucapkan sebait kata sayang pun kepada Andin. Setiap pertemuan lebih sering dihabiskan dengan perdebatan-perdebatan yang tak pernah menemukan titik temu, alih-alih ucapan gombal maupun rayuan. Hubungan yang pada akhirnya ditaksir berbeda oleh mereka berdua.
Dore masih mengenang pertemuan tak sengajanya dengan Andin pada suatu sore di perpustakaan kampus. Pertemuan pertama yang langsung menghadirkan banyak perdebatan, perkelahian kata tak berujung. Sejak itu, Dore merasakan ada kebahagiaan tak terucap yang mendera hatinya, ia menemukan sesosok perempuan yang diam-diam dalam doa ia lantunkan namanya. Sementara Andin, sepertinya juga menemukan kecocokan setiap bertemu Dore. Namun hanya dalam kapasitas perihal diskusi, memperdebatkan hal-hal remeh temeh hingga lelah.
“Kau tidak pernah menyatakan sudah mempunyai pasangan selama ini.” Dore menjawab pesan itu.
Entah apa yang salah selama ini. Mungkin dalam beberapa hal Andin benar, cuma Dore juga tak merasa salah di satu sisi. Mereka tidak pernah sedikit pun bercerita tentang hal yang pribadi: tentang pasangan, cinta, atau pun kekasih. Dore lebih sibuk memupuk perasaannya sendiri, tanpa pernah menanyakan perasaan seperti apa yang sedang berkecamuk dalam dada Andin. Dore berkeyakinan mereka punya keinginan dan rasa yang sama. Tinggal menunggu waktu saja untuk sama-sama mengetahuinya.
“Maaf, jika pernikahan ini menyakiti hatimu. Kita telah sama-sama salah memaknai hubungan ini.” Dore semakin hancur membaca pesan itu.
Awalnya Dore mengira, mereka akan sama-sama beriringan menuju perasaan yang sama. Menasbihkan diri sebagai pasangan aneh oleh pertengkaran kecil sepanjang hari. Pertengkaran yang begitu dirindukan Dore saat mereka berjauhan. Lebih-lebih pada masa mendatang, saat waktu tak lagi memungkinkan untuk diputar ulang, sementara kenangan menjadi haram hukumnya untuk dikenang. Dore betul-betul merasa akan sangat sulit membiasakan diri kendati rasa itu akan menipis.
“Lagi pula, kita begitu berbeda dalam banyak hal, tentu sulit menjadi pasangan.” Pesan dari Andin berlanjut.
Dore merasa kalimat itu menohoknya. Ia mengartikan itu semacam penolakan tak langsung dari Andin. Semacam bentuk konfirmasi, bahwa hubungan mereka lebih cocok sebagai pasangan debat alih-alih sebagai kekasih, apalagi suami-istri.
Dore sering mendengarkan dari Andin, bahwa ia laki-laki baik namun kerap santai menyikapi persoalan hidup. Baru sekarang Dore paham maksud pernyataan itu. Ia pun mengakui, sebagai lelaki, ia kerap gamang dengan masa depannya. Dunianya lebih banyak diisi oleh buku-buku filsafat dan sastra. Lalu acuh saja memikirkan kemungkinan hidup yang terjadi pada masa depan.
Dore enteng sekali jika ditanyai kehidupan seperti apa yang ingin ia rasakan pada tahun-tahun nan panjang. Baginya, itu urusan Tuhan yang tak perlu ia usik. Kehidupannya seperti air mengalir, mengikuti ke mana arus membawanya. Itulah mengapa Dore tak pernah mempermasalahkan jika uang yang didapatnya sehabis gajian ludes seketika dibelanjakan untuk buku-buku. Ia menikmatinya, meski setelahnya harus bertahan hidup dengan dana pas-pasan.
Dore masih ingat suatu hari. “Lihat! Aku beli buku baru lagi. Buku Karl Marx yang tebal itu dan satu lagi buku kumpulan cerpen para penulis terbaik Amerika Latin,” ucap Dore memamerkan buku-buku terbarunya.
“Kamu laki-laki, pada masa mendatang, kamu akan memerlukan banyak uang. Lebih baik sedikit uang itu ditabung.”
Begitu pula biasanya Andin menasihati, yang selalu ditanggapi dengan tawa cengengesan oleh Dore. Sekarang pikirannya justru menduga-duga, barangkali itulah salah satu alasan mengapa Andin tak pernah menaruh hati padanya. Tentu bagi Andin, sangat riskan menggantungkan hidup pada lelaki sepertinya.
“Laki-laki punya tanggung jawab yang besar dalam hidup.” Nasihat itu akan terus berlanjut. Semakin lama, semakin kuat pula Dore cengengesan.
Dore lebih memandang lain urusan rezeki. Dore tak pernah menganggap urusan menghamburkan uang dengan membeli buku-buku itu sebagai kesia-siaan. Dore menemukan kepuasan lewat itu. Urusan nanti setelah menikah, ia yakin Tuhan memberi jalan. Dore juga tak pernah mempermasalahkan akan bekerja di mana setelah menikah. Baginya, Tuhan tetap pengatur skenario paling baik, selalu akan menunjukkan jalan dengan cara tersendiri.
“Aku yakin kamu akan baik-baik saja setelah ini.”
Bagi Dore, itu pesan yang absurd. Penghiburan yang serasa hambar sekali di telinganya, bahkan jika Andin mengucapkannya beribu kali. Isi pesan itu jelas tak bisa mengubah keadaan, pun tak bisa mengembalikan hatinya yang kadung patah. Dore paham, penghiburan itu hanyalah basa-basi yang sudah selayaknya diucapkan.
“Bagaimana mungkin seseorang akan baik-baik saja, jika orang yang dicintainya menikah?” Dore membalas lagi, meski sebenarnya pertanyaan itu lebih cocok untuk dirinya sendiri. Sebab, dengan pertanyaan itulah ia akan melewati hari. Ia harus mempercayai dunia yang ia lalui setelahnya adalah tanpa Andin. Sialnya, ia tak tahu harus seperti apa menjalaninya.
“Bukankah selama ini, kamu orang yang selalu tidak pernah memikirkan masalah? Hidupmu akan baik-baik saja tanpa ada aku.”
Dore kian terbenam membaca jawaban Andin. Ia mencium aroma kesesalan di dalamnya. Andin seolah mempertegas ulang, bahwa filosofi hidupnya salah. Prinsip itu menunjukkan orang yang ragu, dan Andin kecewa dengan itu.
“Kau tak kan pernah kalah dalam hidup, aku percaya itu. Semoga jalanmu dimudahkan.”
Itu pesan terakhir Andin. Setelahnya tidak ada jawaban lagi, meski Dore menunggu hingga keesokan harinya. Dore berkesimpulan, bahwa itulah pertanda Andin tak mungkin lagi digapainya. Semacam kode untuk tidak usah lagi mengusik kebersamaan seorang pengantin baru. Dore pun sadar diri, meski itu sesuatu yang menikam hatinya.
Sejak saat itu, Dore pun mengikrarkan diri untuk menulis setiap kesedihannya. Menuangkannya dalam bait-bait puisi atau larik cerpen. Dan dalam setiap tulisan itu selalu ada nama Andin. (*)
Tentang Penulis
Romi Afriadi dilahirkan di Desa Tanjung, Kampar, Riau. Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Buku perdananya berjudul Darah Pembangkang baru saja diterbitkan Penerbit Interlude.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post