Pembaringan.
Letak lamunku berhenti menyeka bulan redup
dimeja bergetah kata-kata
jalan terjal mengetuk hening sekat napas
lelah bertangga menyingkap ganas irama
melepuh dalam larung kisah pejam yang tak kunjung lengang
berteka-teki alir jauh memenjarakan kicau
menerjang lelap dalam lebur menghunus perih
menuju menara pedih kau tersesat sebagai hutan yang agung
menyembah di bukit sepi
adakah hidup yang tak menuju tepi.
Kau terikat bagai burung yang pulang petang
menjelajah pada hitam sarang
menumpuk darah kering membingkai terbangmu
ditengah jenuh kau pergi menipu waktu
melesat syahdu yang berdengung
lalu siapa peluru yang membaringkanku
lamunku melayang bagai kayuh kapas
sebelum lelah kutenggak malam yang buas.
Untuk Suatu Waktu.
Kertas kosong ditikam sebentuk remuk
kerumunan darah berbunga gelisah
membentur kepala kepada sebuah do’a
meniduri langkah yang mati
bayangan kata membakar air mata
Untuk suatu waktu
sepasang telinga adalah petuah
dari makna yang telah murka
menjadi suara untuk sebuah diam.
Untuk sebentuk pilu
kegelapan menjadi arah tersunyi
tanpa cahaya ialah jalan terang menuju hampa
begitu rindu ini menjadi hasrat tersendu
yang menyentuh kabut waktu
Dipeluk bayang risau
berenanglah cinta disungai kata-kata
terpejam rasa, binasa gelora
di hulu tubuhmu terlelap lara.
Siapa hujan digurun sunyi.
Entah yang tersadar dari sembunyi disemak nama-nama
kayu-kayu yang lapuk mulai membusuk
mengubah sudah kehulu nasib
berserak diam
pecah hingga hanya yang tinggal sebentuk entah
seperti tidur seekor semut nan serakah
yang berbagi seindah rayu-rayuan
untuk sekedar tumbuh
menyentuh hela napas
ada yang patah
ada yang menunas
ada tikam ganas
ada rendah membungkuk
ada tikar, membakar
ada siapa digurun sunyi.
Lalu apa hutan dan hujan
lalu apa kawan dan lawan
habis sudah pertanyaan
siapa sesak yang langka
menyala sunyi melengkapi.
Sengsara berbunga.
Kemanusiaanku dalam terang bulan
Ditemani bandrol rokok orang demam
Berkicau, merdu bernafsu dan sengau
Sembilan sisi gelap mengapung
Dalam tangisku
Tangisi
Menangis kugenggam
Genggaman kutangisi
Belantara semu
Sendu secuil candu.
Jaga matamu, rindang
Hujan itu dibelenggumu.
Bertubuh kala rendah.
Nestapa rebah bertadah apa siapa yang singgah
beralur sesak, terpijak
mendekam aroma jatuh
dalam selubung rima
menyucikan tubuh kala rendahnya
bergeliat kota-kota didusun jiwa
Sebuah kata-kata bagus menjelma kilas
terkilang ironi yang tak kupilih kamu dalam rentang
mengigau retak dalam dada
menepi dalil-dalil suaka
kita telah bersama hanya dalam nada yang dipaksa(kan)
sejauh alir yang melelahkan
dalam malam yang juang
terjengkang..!
Adakah kau menjadi habis sebelum pulang.
Pada sebuah buku, ada malam yang menyatu
terbuka bergerak dalam kata-kata
mengetuk rangkaian lirih kaki-kaki kenangan
menjadi hujan membasahi kain penutup kepala
terbawa terus meraga ditepi keliaran kalimatnya
terbenam menuju denyut sepi
hingga kau menjadi kami
Kurengkuh sebelum patah pada pejam
nyenyaklah pagimu menerangi bangunku nanti
sebagai motivasi diri sebelum pergi berkelana
yakinkan gerak menerpa kala mati
menetes embunmu, hingga tergenangku
sederas tintamu, mengelilingi pukauku
Apakah kau adalah kami yang sekarang
menerjang gejolak lambaian usang,
adakah kau menjadi habis sebelum pulang
ketika hunusmu menerkam ruang.
-Aliyus Akmal-
Menghasilkan sebuah buku puisi dengan judul Yang Belum Pulang (2021), terbitan Epigraf. Beralamat di Tapan, kec. Ranah Ampek Hulu, kab. Pesisir Selatan, SUMBAR.
Instagram_ @cgoretsan
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post