telah kuceritakan padamu
bait-bait puisi yang paling sendu
meluncur seperti hujan
yang membuatku tak ingin pelukan lain
dan puisi itu
lahir dari rahimmu
Miranda berpaling. Tubuh lelaki itu sudah lenyap ditelan gelap. Namun, aroma perpaduan amber dan patchouli masih lekat dalam hidungnya. Meninggalkan jejak yang berapi-api. Ia ingin menahan lelaki itu. Membiarkannya duduk di teras sambil minum secangkir kopi hangat. Tapi malam telah larut. Mereka tidak mungkin duduk berdua-dua di rumah yang sepi. Terlebih dengan status Miranda yang kini sudah sendiri.
“Kau adalah lelaki paling melankolis yang pernah aku temui!” Miranda membalas pesan singkat lelaki itu yang hanya berupa puisi gombalan.
“Aku ingin pada malam ini semua mimpi melebur, menjadi satu mimpi indah di tidurmu.”
Miranda tersenyum. Lelaki yang baru dikenalnya satu minggu yang lalu lewat aplikasi daring itu selalu membuatnya tersipu. Ia tentu telah mengenal banyak lelaki. Namun, belum pernah ia temukan lelaki yang seperti itu. Meski hanya sebuah kata-kata, tapi Miranda jatuh sejatuh-jatuhnya hati yang terpikat. Miranda percaya lelaki itu berbeda. Bukan saja pandai berpuisi, tapi juga bisa menjaga hati.
Lelaki itu delapan tahun lebih muda dari usianya. Tapi saat pertama bertemu, Miranda percaya bahwa usia bukan syarat untuk jatuh hati. Usia tidak menjamin sikap lelaki untuk berbuat bijaksana. Dan hal itu iya percaya setelah dua kali gagal membina rumah tangga. Miranda tak pernah merasa kapok, apalagi lelaki itu sudah membuat dadanya meletup-letup.
Saat pertama kali menikah, usia Miranda belum genap dua puluh tahun. Ia dijodohkan dengan lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya. Miranda hanya bisa membayangkan rupa lelaki itu dari apa yang telah diceritakan oleh kedua orang tuanya.
“Zaid lelaki baik, Mi. Ia juga pria yang dewasa. Kau tidak akan merasa rugi karena Zaid terlahir dari keluarga yang serba ada.”
Ucapan ibunya kala itu tidak sedikit pun membuat perasaan Miranda menjadi lebih tenang. Tapi sebagai anak semata wayang, ia tidak ingin mengecewakan hati ibu dan ayahnya. Lebih lagi Miranda tahu bahwa perekonomian keluarganya saat itu sedang berada di masa sulit. Hutang yang menumpuk. Panen yang selalu gagal tiap tahunnya. Kehidupan mereka laksana perahu yang terombang-ambing di hamparan laut lepas. Dan sebelum kapal itu karam, Miranda terpaksa mengambil risiko terpahit dalam hidupnya.
Dan benar saja, kepahitan itu sudah Miranda rasakan sejak tinggal di rumah mertuanya. Tak seperti harapan ibu dan ayah Miranda yang ingin gadis itu hidup selayaknya permaisuri. Miranda justru diperlakukan tak ubahnya pembantu di rumah itu. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain meneteskan air mata. Sebagai istri dan menantu, Miranda tidak berwenang atas apa pun, termasuk kehendak dirinya sendiri.
Miranda melapor kepada kedua orang tuanya. Tapi itu seperti bumerang untuk dirinya sendiri. Ayahnya telah menerima banyak bantuan dari keluarga Zaid, yakni berupa satu hektar kebun beserta tanaman di dalam-dalamnya. Miranda tak bisa berkutik. Tak ada tempat untuk ia berpulang.
“Jika ada momen yang paling menakutkan di muka bumi, maka itulah yang disebut pernikahan.”
Miranda membagikan tulisan itu di jejaring sosial miliknya tujuh hari yang lalu. Dan tak lama seseorang menanggapinya lewat komentar.
ketulusan telah melekat
seperti embun yang turun dan meresap
di langit-langit lalu kuingat
cahaya matamu yang membuatku terlelap
Setelah ayah dan ibu Miranda tiada, ia memutuskan untuk bercerai. Lalu pergi jauh meninggalkan kampung halaman. Satu tahun setelah ia tinggal di ibu kota, Miranda bertemu dengan seorang dokter yang mampu membuatnya terlena. Pertemuan yang singkat itu tak membuat Miranda takut untuk kembali berumah tangga. Dan karena kecerobohannya sendiri, Miranda harus menelan pil pahit yang tak terkira. Lelaki yang ia puja sebagai pelabuhan terakhirnya itu ternyata sudah memiliki istri. Miranda terhenyak. Hatinya seperti gelas yang terjatuh.
miranda
aku tidak dapat menahan diri
kau nyaris mengambil semuanya
sejak kurapal namamu pertama kali
lalu kudapati bahwa itu adalah cinta
Lelaki itu terus menggoda Miranda lewat komentar. Lalu ia pun mulai menanggapi. Setelah banyak bertukar pesan, akhirnya Miranda bersedia untuk bertemu. Mereka membuat janji di sebuah kafe dekat stasiun. Miranda merasa gugup sekaligus haru. Khawatir lelaki itu memiliki niat buruk terhadapnya. Namun saat mata mereka saling beradu, Miranda percaya ketulusan terpancar dari dalam sana. Hatinya yang semula terkunci, kini terbelalak memberi ruang.
Percakapan-percakapan itu mengudara pada tiap sudut kafe. Miranda benar-benar terpikat pada lelaki yang duduk di hadapannya. Meski terpaut usia yang cukup jauh, tapi hati Miranda telah sempurna jatuh. Barangkali memang benar bahwa cinta tak pernah mengenal usia.
“Sekarang aku merasa telah menjadi seorang penyair seutuhnya,” ucap lelaki itu terus saja menggoda.
“Apa yang membuatmu merasa seperti itu, Rois?” timpal Miranda.
“Sebab kau melahirkan banyak puisi untukku.”
Pada malam ini, Miranda berhasil menghilangkan rasa takut pada dirinya. Puisi-puisi itu telah mengalir dalam darah dan membuatnya terdengar begitu indah. Hanya perlu waktu agar Miranda mengerti tentang satu hal: ibarat puisi, lelaki selalu bersembunyi lewat kata-kata.[*]
Tentang Penulis
Ede Tea lahir di Bogor. Karyanya tersebar di media cetak dan media online. Bergabung di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.
Discussion about this post