Handoko baru datang saat kedua penghuni rumah –orangtuanya– sudah tenang di bawah tanah. Duduk terpaku di kursi rotan yang renta. Meskipun usang, tetapi masih kuat seperti genting-genting tua yang masih berfungsi sebagai pelindung rumah ketika hujan. Meja, kursi, dipan, dan tempat tidur masih awet. Orangtua Handoko berhasil merawatnya. Tidak ada TV, melainkan radio yang dibeli lelaki tangguh untuk sang istri agar tak kesepian ketika mengandung Handoko selama sembilan bulan.
Saat Handoko menceritakan impian tentang ibu kota pada orangtuanya, atap-atap rumah malas mendengarnya. Sebab setelah itu, orangtuanya akan memutar otak di malam hari agar impian Handoko tergapai –berkuliah di Jakarta. Merelakan lahan tanah yang menjadi satu-satunya harta karun terakhir mereka. Bekerja sebagai petani di kebun teh hanya mampu mencukupi keperluan sehari-hari. Tapi Handoko malah menginginkan lebih dan lebih dari orangtuanya.
Sekarang Handoko menatap foto keluarganya. Memandang dua manusia renta yang seharusnya bisa dia rawat ketika badannya masih gagah. Anak lelaki itu berjanji untuk datang setidaknya tiga bulan sekali saat dia berhasil diterima kerja di perusahaan bonafit Jakarta, tapi semua hanya omong kosong belaka. Handoko tak pernah datang. Padahal orangtuanya menjerit sebab rasa rindu yang sudah di ubun-ubun. Mata Handoko mulai berlinangan air mata melihat kondisi rumah yang masih sama sewaktu ia dalam gendongan sang ibu. Itu karena orangtuanya berhasil menjaganya dengan apik. Tetapi Handoko malah terbelenggu kenikmatan duniawi. Sementara keinginan orangtuanya hanyalah menemuinya setelah tujuh tahun tak melihat wujud hidung bibir Handoko.
Meski semua surat wasiat diwariskan pada Handoko, bangunan tua yang diinjaknya seperti tidak rela dirawat olehnya. Handoko merasa tidak akan bisa menjaga dan merawat rumah seperti orangtuanya melakukannya. Segala benda yang ada di dalam seolah-olah meronta-ronta untuk tidak disentuh oleh tangan kotornya. Bangunan tua itu lebih suka dihabisi bersama benda lain dengan rayap, daripada harus dirawat oleh Handoko yang lupa akan tempat kelahirannya. Sang ayah yang berlari-larian menerpa hujan di tengah malam. Memanggil dukun beranak agar datang ke rumahnya, sebab sang istri mulai merintih sakit untuk melahirkan.
Orangtua Handoko banyak memanjatkan doa untuk kebahagiaan Handoko, meski dia tak pernah mengunjunginya. Handoko tidak pernah tahu jika orangtuanya pernah meminjam uang demi memperbaiki rumah akibat badai besar berkepanjangan di musi hujan. Orangtuanya bahkan pernah tidak makan dan berpuasa dua hari karena tak punya uang. Mereka berdua bertahan di dalam rumah usangnya. Handoko tidak tahu karena orangtuanya tidak pernah mengeluh padanya saat di sambungan wartel. Yang mereka katakan pada Handoko hanyalah menyuruhnya untuk segera pulang.
Kini langkah Handoko memasuki area kamar orangtuanya yang baru saja pergi menghadap sang Ilahi dua hari lalu. Sepi dan lembab karena jendela tidak dia buka. Wajahnya penuh penyesalan dan setetes air mata akhirnya jatuh di pipi kekarnya. Tangan Handoko mulai bergetar saat masih memegang gagang pintu. Dia bisa merasakan orangtuanya masih hidup dan tidur di kasur tua dengan sprei putih yang sudah kekuningan. Dia semakin mendekati kasur itu dan duduk di atasnya. Sentuhannya terasa begitu dingin dan penuh kenangan masa kecilnya.
Telinga Handoko berhasil menangkap samar-samar suara tawa ibunya dan nasihat bapaknya. Tetapi ternyata itu adalah sebuah halusinasi semata Handoko, sebab terlalu merindukan orangtuanya yang sudah tiada. Mata Handoko menyorot ke segala penjuru yang ada di kamar itu. Lemari kayu yang bagian bawahnya penuh rayap dia dekati. Perlahan tangannya membuka lemari itu dan melihat semua pakaian orangtuanya masih tertata rapi di dalam.
Baju-baju itu seolah menjerit di telinga Handoko. Memohon untuk tak disentuh oleh tangannya. Dia menjauhkan tangannya karena kepalanya mulai terasa pusing. Dia takut merusak segala pengorbanan dan titik keringat orangtuanya yang berharga. Bahkan lantai yang diinjak seolah berdesis agar dia segera pergi dari rumah ini. Tapi Handoko tidak peka karena ia sudah mati rasa. Dia tahu, dia anak durhaka. Dia terbawa arus kenikmatan di ibu kota. Sehingga melupakan janji serta perjuangan orangtuanya.
Lemari itu bernapas lega setelah Handoko menjauh. Sekarang dia mulai berjalan ke arah dapur yang lantainya masih sama –tanah. Terlihat jelas jika sepatu mahalnya begitu jijik menginjak area itu. Seolah Handoko tak ingin mengotori kedua alas kaki yang sanggup dia beli setahun lalu. Dia bahkan merasakan jika aura rumah ini tak ingin dimasuki oleh raganya. Handoko hanya menatap sekitar dapur dalam waktu kurang dari tiga menit. Beberapa tumpukan kayu masih tersisa di sana. Mengingat banyak kenangan. Kepulan asap yang selalu membuatnya batuk-batuk. Susahnya mencari kayu-kayu di hutan untuk dibakar agar ibunya bisa memasak hidangan. Lalu dia merasa bangga setelah meletakkan kayu-kayu itu di dapur, dan ibunya mencium keningnya sebelum akhirnya dia kembali pergi bermain.
Sekarang Handoko memasuki ruang kamar lamanya yang kini masih sama rapinya ketika dia pergi dulu. Orangtuanya sengaja tidak berusaha merombaknya, karena berharap suatu saat Handoko kembali, dia masih bisa merasakan kenyamanan tempat kecilnya. Berbagai mainan kayu yang dibuat oleh bapaknya, masih terpajang di nakas. Kursi dan meja belajarnya masih utuh, hanya rayap kecil mulai menggigitnya. Kini air mata Handoko semakin banyak yang turun. Usapan-usapan kecil di pipi berhasil membuatnya tangguh kembali.
Setelah menyisir seisi rumah, Handoko berjalan ke luar dan melihat Pak RT yang menunggunya di halaman rumah. Pria berpeci itu memberikan Handoko map coklat berisikan surat-surat kepemilikan rumah. Handoko menerimanya dengan perasaan hancur. Dia paham betul jika dia tak bisa merawat rumah ini sebaik orangtuanya.
Sejenak, Handoko kembali menatap rumah usang itu. Seolah rumah itu berbisik padanya dan memberitahunya jika tidak ada yang serajin ibunya dalam menyirami tanaman di teras rumah. Tidak ada yang sehebat bapaknya dalam membetulkan genting-genting rumah yang bocor. Tidak ada yang sehebat ibunya dalam membersihkan rumah. Dan tidak ada yang sepeduli bapaknya dalam memperbaiki peralatan rumah saat rusak. Rumah itu tahu bahwa Handoko tidak akan bisa merawatnya. Sehingga mereka berbisik pada Handoko untuk meninggalkan rumah itu.
“Handoko, sebenarnya ada yang ingin saya ceritakan padamu. Meskipun orangtuamu tak pernah mengizinkan saya mengatakan ini.”
Mata Handoko menatap getir, “Apa itu, Pak? Saya siap mendengarnya.”
Pak RT menepuk bahu Handoko sebelum bercerita. “Setahun lalu, orangtuamu pernah dituduh mencuri jagung oleh tetangganya. Saat ibumu sedang sibuk di dapur dengan kepulan asapnya, juga sekilo jagung. Padahal mereka mendapatkannya dari hasil menjual keris peninggalan kakekmu. Mereka akhirnya menangis semalaman meski saya sudah membubarkan tetangga. Saya tahu mereka tidak bersalah.” Wajah Pak RT terjatuh menatap lantai, “mereka menyebutkan namamu berpuluh-puluh kali. Harga diri mereka jatuh di depan mata orang-orang sekitar. Mereka mengharapkanmu untuk mengangkat derajatnya kembali dengan pulang ke kampung halamanmu.”
“Tapi saya tidak pernah datang,” sambung Handoko yang semakin banjir air mata. Suara isak tangis bergema.“Saya harap kamu terus mendoakan orangtuamu yang begitu berjuang keras atas kesuksesanmu.”
Handoko paham betul apa yang harus ia buat. Bahkan ia sudah mengambil keputusan. “Sepertinya, saya tidak akan menempati rumah ini, Pak. Selebihnya, saya serahkan ke Bapak, mau diapakan rumah peninggalan orangtua saya,” katanya menyerahkan map coklat kembali pada Pak RT.
“Saya akan bangun Musala sebagai amal jariyah orangtuamu.”
Saat itulah, petir bergemuruh. Menandakan keputusan Handoko dan Pak RT adalah yang terbaik. Handoko sendiri merasa hina untuk menempati rumah yang tak pernah ia datangi hingga kedua penghuninya mati dengan penuh rasa rindu.
Penulis, Putri Oktaviani, Kelahiran tahun 2000 dan bermukim di Tangsel. Novel-novelnya terbit ekslusif di platform digital; terbaru berjudul Five Eternal Rings (Fizzo, 2022). Cerpennya dimuat di media online; terbaru berjudul Lelaki Berpayung Putih (Takanta, 2023). Peminat bacaan fiksi genre thriller & misteri. Selain Literasi, ia juga berkiprah di bidang Akuntansi. Bisa disapa via Instagram @putri.oktavn
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post