
Undangan Kematian
Di sela sila dekap malam suram,
dan ciumannya yang kelam.
Siul nyaring hening kekosongan,
lelap anak adam yang kalap kesepian.
Dingin bulan, perundungan kasturi
lapuk yang patuh pada kehancuran.
Secarik heboh ajakan kematian dikirim
seorang tua untuk saudara,
dari semenanjung dasawarsa
hidup hikayat senja.
“Siapa-siapa muda yang marah,
Siapa-siapa keras yang lelah,
Siapa-siapa baik yang setia menengadah, kalah.
Perkara juang tlah habis di ubun-ubun.”
“Kepala-kepala yang dipikul,
Pikiran yang terus dipukul.
Lidah-lidah yang lentur,
nyawa yang baru mujur. Napak tilas
bibit waras habis terbabat tewas.
Perkara nasib tlah habis jadi nisan,
tuan dan puan,” Si Jelata Tua berkisah.
“Tinggal seonggok tulang suci, bara abu tak jadi
terbenam mengulumi kaki.
Dan sepenggal prasasti, bukti carut darah:
merah dendam dosa yang jadah.
Buah bahala kepala-kepala batu,
pikiran-pikiran hantu.
Dan lidah-lidah karat belati, yang mungkar dalam
sejarah hidup insan duniawi.”
Sampai gubahan ini tertelan, masuk kerongkongan
bersarang di inti organ. Perkara moral, pilihan,
boleh jadi sudah baal.
Pun ajakan bersulih penolakan.
Sebab tanah akhirmu abadi adalah hakul kepastian.
Kematian.
Penantian.
2019 – 2021
Dada
Ada yang tak terengkuh—abstrak
tak terkuasai.
Kasat dari dinding jantung.
Sekalipun memilikinya adalah kenihilan,
ia tetap degup yang mendayakan redup.
Selalu.
Dan akan begitu.
Maret, 2021
Akasia
Doa-doa sebatang kara.
Dan purba.
Adakah yang tegar selain suar senyum Si Tua Froletta, pengasih itu?
Atau seperti pagar besi berduri pada sebuah tanya
berpilin meriam nestapa:
apakah cinta?
iakah luka yang dewasa?
Kala tangan-tangan mungil menjejal
dipinang murka, Akasia, mungkin
doa-doa adalah kasur utopia
pada setiap pejam menuju hilang.
Kau, semoga, benarkah hanya sia-sia?
April, 2021
Phobia
Berputar.
Berkitar.
Dan terus memudar.
Satu detik yang marah tak ingin kembali.
Apa kuasaku?
April, 2021
Sebelum Kita
Malam terlalu lekas,
sebelum kita memesan do’a-do’a di pembaringan.
Adakah kekal dalam bibirmu?
Ataukah usai, seperti akhir gema syahdu
pramuria yang manis kala sore di taman itu.
Mencekam. Mendekam lebam sekian malam?
Malam terlalu lekas,
sebelum kita menderitakan mimpi.
Atau merakit luka ke peta selanjutnya.
Sementara, gardu selamat jalan silau menyapa,
melepas kita.
Adakah pulang dalam bibirmu?
Ataukah hilang, demikian, dan tak dikenang,
adalah inginmu?
April, 2021
Pandemi
Pagi ini dan seperti pagi kemarin,
negara hanya meresepkan sunyi tanpa nasi kepadanya.
Semalaman ia menudung luka dan menadah do’a.
“Ibu ditiduri jarum sudah berhari-hari.”
“Ayah telah lebih dulu dipeluk api.”
Pagi ini dan entah kapan berakhirnya,
dunia hanya menyiarkan duka kepadanya.
Mei, 2021

Afthon Ilman Huda. Lahir di Mataram, 1996. Menetap di Lombok Barat. Menyelesaikan Studi Sosiologi di Universitas Mataram. Karyanya masuk dalam Antologi Puisi Menenun Rinai Hujan (2019).
— Marewai.com
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post