Hai, kirimkan aku fotomu, dong…
Lagi-lagi, pesan dari sang pengirim misterius masuk ke ponselku. Sebuah pesan yang menyusul rangkaian pesan sebelumnya: Kamu apa kabar, Cantik?; Kamu kok sombong sekali, sih!; Balas pesanku, dong…; Aku suka sekali padamu; Aku ingin jadi pacarmu. Boleh, ya?
Sudah kesekian kalinya aku menerima pesan pelecehan semacam itu dari sang pemilik nomor, dan aku tak pernah membalasnya. Aku juga tak lagi menggubris panggilan teleponnya, sebab pada awal percakapan, ia hanya melayangkan gombalan bernada seksual. Aku sudah tak mau peduli pada kekurangajarannya lewat saluran ponsel, entah bagaimana pun itu.
Sampai akhirnya, ia mengirimkan seberkas foto kepadaku melalui pesan Whatsapp. Dengan penuh penasaran, aku pun menyibak potongan foto tanpa latar itu. Dengan samar-samar, aku lalu melihat diriku dengan tampilan setengah telanjang. Aku lantas memerhatikannya baik-baik, kemudian meyakininya sebagai potret yang asli, yang diambil secara diam-diam dari dalam kamarku. Seketika pula, aku jadi khawatir kalau-kalau ia menyebarkan foto tersebut di media sosial dan menghancurkan harga diriku.
Atas kegusaranku yang tak terkendali, aku pun mengirimkan pesan kepadanya: Apa yang kau mau?
Sesaat kemudian, ia membalas dengan singkat dan menjengkelkan: Aku mau kamu, Sayang.
Tak pelak, pikiranku menjadi kacau. Aku kehilangan konsetrasi pada pekerjaanku. Aku tak bisa lagi fokus pada urusan berkas keuangan perusahaan di atas mejaku. Hingga akhirnya, kekalutanku buyar setelah Hardi, seorang pegawai baru di kantorku, yang bekerja di bagian penjualan, datang kepadaku untuk menyampaikan laporannya.
“Hai, ini laporan untuk performa penjualan seminggu ini. Aku harap, kau tidak menemukan masalah,” terangnya, santai, dengan sapaan sederajat, sebagaimana pintaku, sebab kami memang sepantaran.
Aku pun berusaha tampil seperti biasa, dan mulai mengamati laporannya baik-baik. Setelah beberapa saat, aku pun menanggapinya, “Kinerja kalian baik,” kataku, lalu menyodorkan kembali berkas laporannya. “Seminggu ke depan, tolong sampaikan lagi laporan penjualan kalian kepadaku.”
Sambil tersenyum, ia pun mengambil kembali berkasnya. “Baik,” katanya, kemudian menyinggung keadaanku, “Kau tampak kurang bersemangat hari ini. Apa kau ada masalah?”
Aku lekas menggeleng. “Tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja, kok,” elakku, lantas merekahkan senyuman terpaksa.
Ia pun mengangguk-angguk maklum dengan bibir manyun, “Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa, Nyonya,” pungkasnya, bermaksud bercanda, kemudian berbalik dan pergi.
Aku sontak tertawa pendek atas sikapnya yang disantun-santunkan, sebab kami tak lain adalah dua orang bertetangga, yang tinggal di antara dua bangunan kos-kosan yang saling berhadapan, dan kerap bertemu di luar jam kerja, di sekitar lingkungan kos-kosan kami.
Tak lama kemudian, jam kerja pun selesai. Tanpa menunda waktu, aku segera meninggalkan kantor dan bergegas untuk pulang. Aku jadi tak sabar untuk segera sampai di kamarku, kemudian mencari kamera tersembunyi milik sang peneror. Aku ingin cepat-cepat menghentikan kegilaannya, dan mulai berupaya untuk mengungkap sosoknya.
Namun di awal perjalanan pulang, setelah aku menapaki lorong menuju ke pinggir jalan untuk menumpang taksi, tiba-tiba, seseorang menjambret tasku. Sontak, aku berteriak meminta tolong, hingga dua orang lelaki datang dan mencoba mengejar sang penjambret. Tetapi sayang, sang penjambret telah berlari jauh entah ke mana, dan aku hanya berharap pada keajaiban agar tasku bisa kembali.
Tetapi akhirnya, doaku terkabul. Sesaat kemudian, Hardi muncul di ujung lorong, lantas menghampiriku sambil menenteng tasku yang baru saja hilang. Aku pun merasa sangat senang dan terkesan.
“Terima kasih,” kataku, setelah mendapatkan kembali tas tersebut.
“Sama-sama,” balasnya, sambil tersenyum. “Lain kali, kalau kau sedang berjalan di tempat yang sepi, kau harus lebih berhati-hati dan konsentrasi.”
Aku pun menganggukan nasihatnya dengan perasaan yang sedikit tersinggung.
“Baiklah. Aku jalan duhulu,” pungkasnya, kemudian melangkah pergi.
Aku pun membalasnya dengan senyuman simpul, dengan perasaan kagum yang sulit kubendung.
Sejenak berselang, di atas sebuah taksi, aku lantas menelepon Dino, atasanku di berusahaan, yang sebulan terakhir telah menjadi kekasihku secara diam-diam. Aku pun menceritakan kepadanya perihal teror yang beberapa hari ini kualami. Hingga akhirnya, di tengah perasaanku yang kacau, ia pun menawarkan sebuah saran yang tak lazim. Ia mengatakan bahwa aku sedang berhadapan dengan seorang psikopat, sehingga aku harus melakukan penjebakan jitu atas bantuannya.
Akhirnya, setelah aku tiba di kamarku, aku pun bersikap seperti biasa. Aku pura-pura tidak risau atas pengetahuanku sendiri, bahwa di dalam kamarku, telah terpasang kamera tersembunyi. Aku lantas memandang keluar jendela, kemudian mengintip kalau-kalau Hardi sedang memerhatikan diriku. Dan benar saja, Hardi tampak memata-mataiku dari balik korden jendela kamarnya. Aku pun segera membuang wajah dengan kecurigaan yang perlahan menyeruak sebagaimana dugaan Dino, bahwa aku patut curiga pada orang-orang yang terkesan mendekatiku belakangan ini. Aku pun mulai menuding Hardi sebagai sosok peneror di balik nomor telepon misterius itu.
Beberapa lama kemudian, Dino pun bertandang ke kamarku. Seturut rencananya, perlahan-lahan, kami mulai melakukan adegan intim, seolah-olah kami tak tahu bahwa sang psikopat tengah memerhatikan kami melalui mata kamera yang ia pasang di dalam kamarku. Dengan taktik itu, kami ingin membuat sang psikopat merasa cemburu dan emosi, hingga mendatangi kami dan menampakkan jati dirinya. Saat keadaan itu terjadi, Dino lekas melumpuhkannya dengan senjata tajam yang telah ia persiapkan baik-baik.
Sejenak berselang, di awal adegan mesra kami, terdengarlah hantaman keras di daun pintu kamarku. Seketika pula, Hardi terlihat muncul dan menghampiri kami dengan wajah beringas, sambil menodongkan pistol. Sontak saja, Dino bangkit dari kasur dan balas mengancam dengan pisau yang tajam. Namun tanpa aba-aba, Hardi lantas melepaskan tembakan, hingga Dino bertekuk lutut dengan betis yang berdarah. Aku pun jadi sangat ketakutan.
“Dasar psikopat!” tukas Hardi.
Dino pun tertawa mendengkus, sambil meringis kesakitan. “Kamu yang psikopat!”
Aku sontak jadi bingung tentang mereka.
Dino pun berusaha berdiri dan mencoba menyerang Hardi. Tetapi Hardi lekas menghindar dengan gerakan kecil.
Hardi lalu menendang punggung Dino, hingga Dino kembali tersungkur dan tak berdaya.
Di tengah kekacauan itu, aku hanya meringkuk di sudut kamarku.
Dengan sikap tenang, Hardi lantas menghampiriku. “Jangan takut. Aku polisi,” terangnya kemudian, sambil menunjukkan kartu pengenalnya. “Sudah beberapa hari aku menyamar dan memata-matai si psikopat ini. Ia telah banyak mengorbankan perempuan dengan mengancam akan menyebarkan foto pribadi mereka.”
Aku pun jadi tak habis pikir.
***
Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Alumni Fakultas Hukum Unhas. Berkecimpung di lembaga pers mahasiswa (LPMH-UH) selama berstatus sebagai mahasiswa. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa disapa melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post