
bucin universe
dari jauh kudengar
nafasmu laut dalam
yang menyimpan amuk gelombang
dan aku adalah sampan
yang ikhlas tenggelam
demi menghuni lubuk lautmu
dari dekat pijar rasamu
serupa bara dalam tungku
di dapur perempuan dusun
dan aku tak lain hijau biji robusta
yang telah siap sedia disangrai
di atas kuali yang dipanaskan apimu
bila aku manis mangga madu
maka gembur berhumus tanahmu
yang menumbuhrekahkan kembang rasaku
“dunia ini bising, cintaku.
hanya dalam hening pelukmu
kutemukan sunyiku paling purba.”
semangkuk bakmi dan nomor-nomor blues
kutebus pahit yang menjangkiti lidah hariku
dengan gurih bakmi dan potongan ayam berbumbu
dan sebuah alunan blues yang tak kutahu judulnya itu
menciptakan rasa gurih yang lain
yang diam-diam memenuhi kedung batinku
malam menampilkan gambarmu
dan alunan blues yang tak kutahu judulnya itu
menyeret paksa jiwaku ke dasar segara rindu
lantas kuletakkan sendok dan garpu
kumatikan pemutar musik
demi menggusah bebayangmu
sebab telah kuputuskan berhenti mengunyah
cintamu yang dulu gurih dan renyah
yang kini hanya tinggal entah, tinggal sepah.
kenang menggenang di rumah makan padang
ingar-bingar hanya ada di piring bundar
: nasi putih, daun singkong rebus, pekat kuah gulai,
sambal ijo, daging rendang, dan telur dadar.
sementara aku duduk menghadap kesendirian
menghitung ulang kehilangan-kehilangan
dalam hidup yang tak pernah terencanakan.
aroma gurih gulai kepala ikan yang tengah diolah
tak sekadar membikin selera makanku bertambah
aroma gurih itu juga membawa serta wajahmu
yang mulai membikin gaduh di kepalaku.
“dalam pedas dan asin,
dalam cemas dan dingin
aku pernah bermadah untukmu
setulus juru masak meracik bumbu
hingga tersaji lezat menu,”gumamku.
kenangan barangkali
sebandel kerak hitam
yang menempel di kuali.
ia bersikeras di sana,
tak peduli seberapa besar
upayaku membersihkannya.
memesan cappucino di kedai kopi langganan
tanpa hati yang saling menggenggam,
seluruh pelukan akan menanggalkan pengertian
dengan secangkir cappucino di tangan
alih-alih berlari dari kilau mata tombak kenangan
aku datang menjenguk yang telah lekang
namun masih kerap membayang
katakanlah kita kini telah jadi ampas
yang terendap nahas di dasar gelas
pada seutas hatiku yang getas
telah kurajah kata ikhlas
madah bagi segara
aku mulai mengeja langit magenta
dan rancak tarian daun-daun kelapa
di atas sehampar pasir putih berkilat
angin asin menerpa kulitku yang cokelat
dan aku ingin menuliskan madah
tentang air yang begitu biru
ditingkahi kakap merah dan kerapu
tentang ombak yang begitu tenang
menidurkan riak amarah di jiwaku
dan ketakjubanku tak sudah
mengeja laut yang begitu megah
Aditya Ardi N*, Lahir di Ngoro, Jombang, 7 Januari 1987. Buku Puisinya yang telah terbit antara lain Mobilisasi Warung Kopi (2011); Mazmur dari Timur (2016); Manifesto Koplo (2019). Beberapa karya puisi dan esai dimuat di media online/cetak lokal maupun nasional. IG: @aditya_ardi_n
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post