Jingga di langit sebelah barat telah ditelan awan pekat. Bintang senja menghampiri semesta, beberapa saat kemudian cahaya remrembulan membuat temaram pohon-pohon di pekarangan. Binatang piaraan segera dimasukkan ke kandang sebelum koloni kampret berkeliaran mencari makanan mereka. Daun mahoni dan kembang turi bersentuhan dengan kelembutan angin hingga satu persatu berguguran ke bumi. Dari kejauhan nampak pelepah pisang meliukkan tubuhnya yang terempas embusan sang bayu sembari mengucapkan salam terhangat kepada hadirnya sang penjaga malam di dusun terhimpit bukit itu.
Suara beduk dari musala memanggil orang-orang dusun tanpa terkecuali. Mereka berduyun-duyun menuju ke sana setelah kang Sarman mengumandangkan azan Magrib yang terdengar dari toa tua satu-satunya milik warga. Suara yang bergema hingga ke puncak bukit di seberang dusun selalu dapat membangunkan niat warga untuk melaksanakan kewajiban sebagai manusia beragama. Begitulah titah sang pencipta kepada para makhluk di jagad semesta.
Di ujung, terlihat temaram bayangan seseorang melaju perlahan ke arah warga yang berhamburan di jalanan. Perawakannya tak dikenali beberapa pasang mata yang tertuju ke arahnya sehingga meyakinkan warga bahwa dia bukanlah bagian dari penghuni dusun mereka. Dia terlihat gugup saat seorang wanita paruh baya mendekat serta melontarkan tanya padanya. Dia pun hanya tergeming, menunduk, dan menggeleng ketika wanita paruh baya menanyakan nama dan asal dirinya. Beberapa pasang mata masih menghunjamkan tatapan kepada wanita yang tak dikenali itu. Para warga menggumam seperti hendak mengadili kehadirannya yang tak dikehendaki. Dia makin tak dapat bersikap; hanya mengatupkan bibir dan menampik pandang beberapa orang di hadapannya itu.
Tak berselang lama, kang Sarman menyerukan iqomah dari arah musala. Warga yang dari tadi berdiri tergeming -dengan sepenggal tanya di benak mereka tentang sosok wanita asing yang baru saja mereka jumpai- segera berlarian meninggalkan wanita tersebut kembali seorang diri. Mereka bergegas menuju musala yang sudah dekat dengan tempat mereka terhenti barusan. Wanita asing itu kembali berjalan -entah menuju ke rumah siapa dan untuk apa kiranya dia datang tanpa dipinta- mengikuti likuan jalan yang dihadapinya.
Sayup terdengar derap yang berjejalan di dusun yang beralaskan tanah tanpa aspal hitam seperti menampik kehadiran sepasang pipit yang berkejaran di alam tanpa batas. Kunang-kunang bermain dengan kepak sayapnya, memancarkan pijaran menerangi gulita yang menyergap semesta. Adu sahutan jangkrik di balik pekatnya malam menyeruak hingga mengidungkan kesahajaan alam raya. Cahaya rembulan turut menyemarakkan suasana, seakan dia tahu bahwa malam ini dunia menghendaki kehadirannya.
Aku masih membereskan peralatan makan yang berserakan di atas meja. Dia -suamiku- hanya membisu di kursinya sambil tak henti memerhatikanku dan aku membiarkannya melakukan hal itu. Hingga aku selesai membenahi semua dan bergegas menuju kamar, dia masih saja tergeming di sana dengan tatapan penuh selisik. Entah apa yang ada di benaknya dan benakku kini; namun aku meyakini tentang apa yang mengendap dalam pikiranku adalah sesuatu yang juga dipikirkan olehnya.
Sejenak pikiranku melayang bersama serpihan jelaga yang mengudara setelah aku menyingkap tirai jendela. Sesaat sebelum aku menerima pinangan lelaki yang datang dari kota, aku sedang berupaya menata lembar demi lembar masa depanku dengan semua harapan yang berpagut menjadi satu. Dengan bekal seadanya, aku menguatkan diri untuk memenuhi daya inginku menjadi pembawa perubahan di tempat kelahiranku. Waktu itu, hanya ada beberapa warga dusun yang berniat menyekolahkan anak mereka hingga ke jenjang pendidikan menengah atas, termasuk orangtuaku. Bermatapencaharian sebagai petani tak menggoyahkan niat bapak untuk dapat mengirimku ke kota kecil di seberang. Dan setelah lelaki dari kota itu datang menawarkan secercah harapan kepada bapak dan ibuku, semuanya dibiarkan melebur begitu saja.
Ibu dan bapak mengirimku ke kota, menyerahkan sepenuhnya kepemilikan atas diriku kepada lelaki dari kota yang berwajah oriental itu, untuk kemudian mereka percayakan masa depanku kepada dirinya. Sejak saat itu, inilah hidupku yang sesungguhnya …
“Marni, jangan keluar rumah sebelum aku pulang kerja! Paham?”
Brugk!
Dan hening.
Aku segera beranjak meraih daun pintu yang berada tak jauh dari jangkauan.
“Ibu … ini Marni, Bu.” ucapku sesaat setelah mengetuk pintu rumah berkali-kali.
Aku hanya tak dapat membayangkan kemungkinan terburuk jika wanita itu tak membukakan pintunya untukku; satu-satunya anak perempuan di keluarganya. Pelukan hangat kembali kurasakan ketika wanita paruh baya itu mendekapku kuat. Isaknya menyeruak memenuhi ruang, genggamannya menguatkan aku yang semula goyah tak beraturan. Parau suaranya menggugah rasa lara yang kupendam dalam. Seperti inikah rindu yang sekian lama dipasung masa hingga aku pun harus merelakan detik demi detik berjalan tanpa aku dapat merasakan kehangatan kasih kedua orangtua?
Kutebar pandang menelisik pelataran rumah yang masih seperti dulu. Semasa kecil dulu, aku menghabiskan waktuku di sana bersama teman sepermainan tanpa ada sekat dan larangan. Hanya jika tiba masa senja, kami -anak-anak dusun- harus bergegas masuk ke balai rumah dan menunggu hingga rembulan menampakkan dirinya di atas sana. Masa itu menjadi masa yang amat dinantikan anak-anak; berpendar di sepanjang pelataran dan memainkan permainan tradisional khas anak dusun Majalaya di bawah temaram rembulan. Namun kini, aku dihadapkan dengan cerita yang terpenggal oleh sebuah kesalahan, bukan lagi harus menyekat diri dari rengkuhan rembulan akan tetapi menyingkap derai yang kian berjatuhan.
Antara kota kecil dan dusun Majalaya, aku menepis jauh perasaan dosa dan salah yang telah kuperbuat. Aku hanya mengikuti lentera yang tlah menunjukkan jalan pulang ke rumah di dusun yang jauh dari hiruk. Keinginan terbesarku untuk menemui ibu dan bapak ternyata harus kubayar dengan jutaan pengorbanan.
“Bu, aku mau ke kuburan Bapak,”
“Besok saja Marni, sekarang sudah gelap. Jalan menuju kuburan pun pasti sudah ditutup.”
“Tapi, aku takut jika esok …,”
Aku pun tak sanggup melanjutkan perkataanku. Kembali kudekap ibu dalam pelukan rindu yang menderu. Wajah Bapak pun terlintas begitu saja dalam kepalaku -mengingat saat-saat terakhir bersamanya- membayangkan ketika bapak melaksanakan kewajiban terakhirnya sebagai seorang ayah terhadap anak perempuannya. Raut muka yang teduh itu memenuhi memoriku yang memang sudah berjejal dengan kenangan masa lalu. Aku paham betul jika kepergian bapak telah mengentak kehidupan ibu. Pun pada saat itu, aku -sebagai anak bungsu- tak diperkenankan melihat apalagi mencium wajah teduh bapak untuk yang terakhir. Tak ayal, kondisi mental ibu pun turut terhunjam sekerasnya.
Sepekan hidup di kota bersama lelaki yang belum lama kukenal, aku merasa bahwa hidupku sangat berwarna. Segala yang kuinginkan dipenuhinya, apapun yang kulakukan pasti berkenan baginya, dan impianku semula untuk melanjutkan angan dan cita seolah tertutup oleh cerita indah yang dihadirkan olehnya. Dua, tiga, hingga empat pekan berlalu begitu saja tanpa terasa dan aku dihinggapi rasa kawatir berlebihan setelah dua hari yang lalu aku mendapati bercak darah di lengan baju suamiku.
“Darah apa ini Mas?”
“Itu bukan darah,” dia pun berlalu begitu saja tanpa menjelaskan apapun kepadaku yang masih terpatung menunggu jawaban darinya.
“Bukan aku pelakunya!”
“Ucapan yang juga dilontarkan oleh orang-orang sepertimu, yang mengatasnamakan kebenaran demi menutupi kebenaran yang sesungguhnya.” Ucap salah seorang dari beberapa lelaki berbadan tegap di balai depan.
“Tetapi sungguh bukan aku! Aku berani bersum …”
“Cukup! Bawa dia!”
“Siap!”
Dan dini hari itu juga aku tlah membuat genangan bening memenuhi mata sayu milik ibu. Menyaksikan hal itu membuat rasa bersalah dan dosaku kian tak terbendung. Kepulanganku yang dinanti ibu selama kurun waktu yang tak sebentar ternyata hanya untuk membasahi lukanya yang masih basah. Sekujur tubuhku merasakan ketegangan, dingin yang berderaian menghinggapi jiwaku yang melindap. Aku semakin terpuruk dalam kebisuan yang menguasai ragaku. Dalam sekejap, hidupku tandas tanpa bekas dan belas. Langkah tegap lelaki yang membawaku menjauh perlahan dari tempat ibuku menyeret sisa-sisa kenang dua puluh lima tahun hidupku yang teramat pekat. Seakan semuanya ikut menghilang bersama kaburnya pandanganku menatap wajah sayu ibu yang melahirkanku. Segala rasa yang bertandang pun menguap bersama kepulan asap yang berasal dari mobil bermuatan lelaki yang diberi tugas untuk membawa serta tersangka pembunuhan seorang lelaki berwajah oriental di kota kecil seberang dusun ini.
Penulis Rini Mei, lahir di Banyumas pada tanggal 27 Mei tiga puluh tiga tahun silam. Berprofesi sebagai pengajar di sekolah dasar negeri di wilayah kabupaten Banyumas sejak tahun 2011 hingga sekarang. Menulis adalah salah satu bukti kecintaannya pada dunia sastra. Ada beberapa kegiatan dan event menulis yang diikutinya antara lain; lomba penulisan buku puisi bagi guru se kabupaten Banyumas (2021), lomba penulisan buku cerpen bagi guru se kabupaten Banyumas (2021), lomba cipta cerpen nasional yang diselenggarakan oleh SMP Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto bekerjasama dengan Sip Publishing (2022), serta event menulis lainnya. Instagram @rinimeihastuti.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post