
Kutar tersentak dari tidurnya. Suara cempreng Tinah membuat kabur rasa kantuk yang menumpuk sejak tadi malam.
“Matahari sudah tinggi, kau masih saja mendengkur. Tidak bisakah kau seperti orang-orang? Berangkat kerja pagi-pagi, sore bawa duit. Mau makan apa hari ini??!!!” Ocehan Tinah merusak mimpi indah Kutar.
Sarung kusam pengganti selimut ia lemparkan dengan kesal. Beranjak menghidupkan tv tabung yang ia beli di pasar loak.
“Berita itu-itu lagi…” Kutar menggerutu.
Berita penembakan seorang aparat yang masih menyisakan banyak pertanyaan terus menghiasi layar televisi. Tersangka baru muncul bersama fakta-fakta yang mengejutkan.
Kutar menghela napas berat. Mengganti saluran.
“Ini sama saja…” Gerutunya lagi.
Layar televisi menayangkan antrian solar yang mengular. Macet dimana-mana.
Kutar mengganti saluran lagi. Pembaca berita menyampaikan sesuatu yang tidak ia pahami.
Resesi.
Inflasi.
Pasar modal tidak bergairah.
“Mana kopiku?” Tanya Kutar pada Tinah istrinya.
“Kopi kau bilang, untuk hari ini saja aku tak tau harus masak apa. Untung si Buyung aku titip ke ibu di kampung, kalau tidak, tambah menderita dia punya bapak seperti kau.” Tinah merepet panjang sekali, sepanjang antrian raskin di kelurahan.
“Lancang sekali mulut kau, Tinah!!!”
“Kenapa, Bang? Mau kau tinju mulutku? Kau kasih makan mulutku ini baru dia diam.”
Kutar mendengus kesal. Menahan emosi. Istrinya tidak lagi hormat padanya hanya karena duit belanja. Apa hendak dikata, zaman memang sedang susah. Bahan pokok naik, tapi uang susah dicari.
Di perempatan, Kutar duduk santai di becak motornya, memesan kopi dan sebatang rokok. Tentu saja, hutang dulu.
“Paling tidak di sini lebih tenang.” Kutar membatin.
***
Matahari sudah di atas kepala. Kopi pun habis. Namun belum juga ada yang naik ke becak motor Kutar. Beberapa kali ia menghela napas. Perut yang keroncongan tidak lagi bisa diajak berkawan. Habis sudah akal Kutar. Ia harus pulang. Semoga saja Tinah memasak sesuatu, entah dari hasil meminjam atau apa, Kutar tidak lagi peduli, ia hanya ingin makan. Ia juga tidak lagi peduli dengan ocehan Tinah yang membuat merah telinga. Persetan dengan harga diri. Mengisi perut itu nomor satu.
“Tinaaahhh, kau masak apa? Aku benar-benar lapar. Berikan aku sedikit nasi. Nasi putih saja juga boleh.”
Kutar duduk di depan tv. Kali ini berbeda, ia disajikan aksi para artis yang membagikan uang kepada pemulung dan tukang becak.
Kutar tersenyum. Sinis.
Tinah mendekat membawa sesuatu.
“Kau makan lah ini, Bang!!!” Tinah melemparkan piring kosong ke hadapan Kutar.
“Memang nggak ada otak kau ya, Bang!!! Seminggu yang lalu kau kasih aku duit lima puluh ribu. Hari ini kau minta makan. Kau mau aku masak batu? Kalau kayak gini, kau bunuh saja aku” Amarah Tinah tidak terbendung.
Kutar diam.
Menuju dapur. Mengambil parang. Lalu menebas Tinah dari belakang.
“Kau mau mati kan?”
***
Dengan wajah sumringah Kutar memacu becak motornya, mumpung minyaknya masih cukup. Becak Kutar belok kanan di kantor polisi.
“Pak, saya ingin menyerahkan diri. Saya telah membunuh istri saya.”
Kutar meletakkan sarung kusam bersimbah darah di atas meja.
“Ini buktinya, Pak.”
***
Setelah melewati proses penyidikan dan persidangan, akhirnya Kutar di jatuhi hukuman lima belas tahun penjara. Sementara itu, sebuah layar televisi di pengadilan sedang membahas seorang artis yang menghabiskan puluhan juta rupiah untuk sekali makan bersama keluarganya. Sedangkan Kutar, di dalam penjara ia makan teratur, tiga kali sehari. Setiap waktu makan tiba, ia makan dengan lahap, tanpa penyesalan.
“Paling tidak di sini lebih tenang.” Ujarnya berbisik. Lalu tertawa.
Penulis, Bangga Surya Nagara.
Discussion about this post