Pesimistis dan Sentimentil Dalam Bayang-bayang Profesi Guru | Arif Purnama Putra
Indonesia telah melangsungkan perayaan pertambahan usianya yang ke-76 minggu lalu. Perayaan tersebut dimeriahkan sejumlah kalangan, termasuk pemerintah/ sekolah-sekolah/guru-guru dan masyarakat umum. Hal ini selalu diselenggarakan setiap tahunnya, ibarat kata, acara tahunan; memperingati jasa para pahlawan bangsa. Selain itu, masyarakat Indonesia memang diwarisi jiwa patriot, cinta tanah air yang pekat.
Indonesia dipimpin oleh kepala negara (Presiden) kemudian mengerucut yang terdiri dari propinsi, dikepalai oleh seorang Gubernur, diperkecil lagi tingkat kabupaten dipimpin oleh Bupati. Saat ini Indonesia memiliki 34 propinsi. Sebelum tahun 2000 Indonesia memiliki 27 propinsi. Namun setelah masa Reformasi, banyak propinsi yang dimekarkan menjadi dua bagian yang rata-rata propinsi dengan luas daerah yang cukup besar. Indonesia telah mengalami pemekaran daerah propinsi berkali-kali, dari awal kemerdekaan hingga yang terakhir yaitu pemekaran Kalimantan Utara pada tahun 2012. Sejak tahun 2012, Indonesia disepakati memiliki 34 propinsi yang tersebar di seluruh pulau.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan yang terbagi menjadi 34 propinsi dari 8 kepulauan yang ada di Indonesia. Kedelapan propinsi itu adalah Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Indonesia setiap pergantian kepala negara (Presiden) selalu menghasilkan peraturan baru, mulai dari yang longgar sampai dengan yang buhul mati. Tidak hanya ditingkat tertinggi, peraturan dan sistem menyeluruh itu juga dilakukan di berbagai bidang, salahsatunya di bidang pendidikan yang kerja pokok sebenarnya adalah mengurus soal pendidikan dan memberikan angin segar bagi segala lini terkait. Baru-baru ini, ada beberapa kebijakan untuk kalangan guru yang dibuat. Kita ambil salah satu contoh saja soal kesejahteraan guru yang selalu diaung-aungkan disetiap pertemuan. Sebagai informasi semangat dan harapan, tentu saja ini menggembirakan. Tapi pada kenyataannya, masih banyak guru yang mengeluh soal kesejahteraan. Kesejahteraan disini bukan soal finansial/honor semata, lebih dari itu adalah menyangkut kesejahteraan antara guru dan murid dengan sistem bentukan pemerintah.
Pemerintah pusat sibuk memberikan harapan palsu dengan banyak program dan sistem baru. Sosialisasi yang menjadi omongkosong belaka bagi guru-guru daerah. Apalagi guru honorer. Aiihh… Jangan ditanya lagi.
Pendidikan di Indonesia penulis yakini tidaklah tertinggal atau sudah bisa dianggap kelewat maju. Bagaimana tidak, pemerintah membuat sistem bagi setiap guru untuk cakap menggunakan teknologi komputer/laptop/smartphone dan internet. Gunanya untuk keperluan administrasi/database dan lainnya. Tentu ini bukanlah sistem yang salah. Upaya pemerintah memberikan pengetahuan dengan penggunaan teknologi patut diapresiasi, karena tidak diragukan lagi bahwa dunia semakin berkembang, pengetahuan terus maju dan teknologi masa depan tiap tahun muncul. Upaya pemerintah melakukan rekonstrusi dibidang pendidikan juga demikian, terus berbenah-terus berbenah-terus saban tahun. Salut.
Indonesia memunculkan banyak nama-nama besar dikanca intelektual dunia yang tak bisa dipandang sebelah mata. Pendidik di Indonesia pun memiliki cara mengajar yang berbeda dengan negara luar, salah satunya metode mencatat. Meski di jaman kelewat maju ini metode pembelajaran tersebut bisa dikatakan tidak dipakai lantaran dianggap kuno dan tidak efesien. Alasannya, guru jadi tidak interaktif dengan siswa. Padahal kenyataannya, metode ini sangat penting dalam meningkatkan efektifitas otak murid mengingat pelajaran.
Kemelut pendidik yang statusnya honorer bukan saat pembelajaran saja, seperti yang sudah penulis tuangkan di atas, pendidik Indonesia terlalu banyak mengalami perubahan sistem. Dimana sistem tersebut terkesan dipaksakan. Sudahlah gaji kecil, sistem yang dibuat juga berbelit-belit. Sudahlah pusing soal keuangan, ditambah pula dengan pusing soal sistem pendidikan.
Guru/pendidik Indonesia saat ini sudah diharuskan paham komputer, mengerti cara menggunakan internet. Kalau tidak, data-data mereka tidak akan masuk ke pusat. Tentu saja kalau tidak masuk, bantuan-bantuan dari pemerintah tak dapat pula. Toh, datanya tidak ada di pemerintah, meski mengajar berabad-abad lamanya, tanpa pamrih dan perhatian.
Sekarang yang jadi masalahnya adalah, pemerintah Indonesia membuat aturan tersebut berlaku di seluruh penjuru nusantara, tak terkecuali daerah tertinggal/terpencil sekalipun. Apakah pemerintah tau keadaan di sana? Tentu bisa dipastikan tidak. Daerah-daerah terpencil tiba-tiba disuruh memakai komputer dan internet, sedangkan internet sendiri tidak ada. Jangankan internet, jaringan saja tidak punya. Menjadikan sistem pemerintah tadi tinggal hisapan jempol belaka. Apakah mereka tau, komputer yang mereka kirim ke tiap sekolah itu hanya lapuk terletak saja.
Pemerintah bila ingin benar-benar menjalankan sistem pendidikan berbasis kemajuan global, maka lakukanlah survei menyeluruh. Bukan soal kebutuhan global yang diutamakan, tapi perhatikan dan realisasikan dulu kebutuhan pokok tenaga pengajarnya. Jangan ujuk-ujuk berbicara pendidikan, gurunya saja masih memelas minta kesejahteraan honor. Hidup mereka sudah dipusingkan soal keuangan, setidaknya jangan dibebani juga dengan hal-hal yang mengganggu pengabdian mereka. Bayangkan guru-guru pedalaman yang tak memiliki akses internet harus berjalan puluhan kilo ke kota untuk mencari akses internet. Setelah dapat akses pun mereka tidak paham betul sistem yang dihadapkan oleh pemerintah, belum lagi alamat web bermasalah, cara pengiriman data-data menyangkut kelangsungan karirnya juga berbelit-belit.
Ini adalah kenyataanya, kalau guru yang statusnya PNS, masih bisa sedikit bernapas lega. Meski tidak tau soal alur sistem pemerintah, setidaknya mereka masih memiliki uang lebih untuk mengupahkan seseorang buat membantunya. Tapi bagaimana dengan guru honorer yang hanya digaji per-jam sepuluh ribu. Jangankan untuk mengupahkan bantuan, untuk beli bensin ke luar daerah saja tidak cukup. Apakah pemerintah memahami kondisi ini? Tentu saja paham, karena merekalah yang paling tau sebenarnya keadaan pendidikan negara ini. Hanya saja mereka pura-pura tidak tau dengan alasan, setiap guru harus kreatif, harus bisa berinovasi, harus bisa mencari tambahan pemasukan di luar sekolah. Memang tidak semua urusan guru dibebankan ke pemerintah, tetapi kalau tidak ke pemerintah terkait, mereka para guru mau berharap kepada siapa? Kalau tidak mau dibebabkan oleh banyak polemik guru soal pendidikan, bubarkan saja kementrian cengeng itu. Yang menganggap negara ini sudah begitu beradaptasi, yang menganggap daerah berpengaruh itu hanya pulau di dekat pusat pemerintahan saja.
Tidak heran bila masyarakat di daerah pesimis pada pemerintah, pun anak-anak yang sentimen dengan orang-orang pemerintahan. Tidak perlu naif mengakui ketidakhadiran pemerintah sebagai pemerataan. Mengapa harus memerankan permainan petak umpet, padahal ini bukan soal main-main.
Indonesia tercatat sebagai negara dengan bahasa terbanyak di dunia, lengkap dengan suku-sukunya. Walau pada kenyataanya beberapa bahasa dan sukusuku tersebut mengalami kemerosotan, ada yang diambang punah, sudah punah dan sengaja dipunahkan. Sial memang, mengapa di jaman kelewat maju ini menjadi seorang guru seolah sebuah profesi yang menakutkan. Ada pameo di kampung penulis (Minangkabau) menyebutkan, “jadi guru? Jan kan bali onda, paganti kolor sajo tak cukuik” (Jadi guru? Jangankan beli motor, untuk ganti kolor saja tidak cukup. Sangat menyedihkan sekali melihat para guru menyambung hidup dengan berbagai macam pekerjaan yang tak seharusnya mereka lakoni. Sombong, gengsi? Bukankah ini negara maju yang menjaga kredibilitasnya. Apa guru tidak boleh pula begitu? Seharusnya para guru tidak melakoni pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pemulung, penambang pasir, dan tukang angkat. Mengapa setiap tahun para guru ini, terutama honorer selalu dijanjikan program-program gratis? Bodohnya mereka memercayai itu, walau tiap pergantian pemerintahan selalu mendapatkan janji tersebut. Secara tidak langsung, bagaimana tidak berdayanya mereka, seolah tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau tetap memercayai pemerintah, padahal mereka sendiri tau bahwa itu sebuah janji semu belaka.
Guru, setiap mereka sama. Yang membedakan mereka hanya soal status formal saja; honorer dan PNS. Namun secara manfaat, mereka adalah satu: samasama bertujuan mencerdaskan anak bangsa, memerangi kebodohan sejak dini dan dewasa. Apresiasi dari pemerintah sangat diharapkan, terlebih bagi guru honorer. Bukan sekedar janji, tapi bukti nyata. Apresiasi tersebut tak melulu soal pengangkatan atau uang, tapi banyak lagi cara lain untuk mengapresiasi mereka, seperti sosialisasi, infrastruktur, dan lainnya yang berkaitan dengan profesi mereka.
Pendidikan adalah pekerjaan kita bersama, sedangkan untuk kesejahteraan tenaga pengajar dan sekolah adalah tugas pemerintah. Jangan berharap lebih kepada sesuatu yang pemerintah sendiri tidak sepenuhnya di sana. Jangan mendikte kebobrokan sekolah dengan alasan guru tidak kompeten, kasus-kasus tak bermoral muncul karena aturan-aturan konyol; wali murid bebas mengadukan guru misalnya. Bahkan hanya karena hal sepele pun. Tidak sadar bahwa pada kebanyakan kasus yang dilecehkan tersebut umumnya guru honorer. Malang memang.
Penulis menganggap tulisan di atas hanyalah sentimen, atau katakanlah uneg-uneg dari para guru honorer di daerah yang gajinya dibayar sekali enam bulan. Atau menanti guru PNS terima gaji dan berharap mendapat sedikit sumbangan untuk membeli minyak motor. Menyedihkan, padahal sama-sama berkubang lumpur demi mendidik.
Membahas pendidikan atau tenaga pendidik di Indonesia tak cukup dari kaca mata bolong saja. Ada bagian-bagian yang mengharuskan kita memakai kaca mata berlensa. Baru-baru ini diproses pendaftaran CPNS pemerintah memang sudah menjalankan program bagus, mengutamakan guru honorer untuk mengisi tempat sebagai PNS dengan syarat minimal lama mengajar 3 tahun. Menjadikan peluang guru honorer besar untuk lolos di sekolahnya masing-masing. Dibandingkan sistem terdahulu, sistem ini sangat melegakan para guru. Karena tahun-tahun sebelumnya, banyak guru di sekolahnya sendiri harus tersingkir lantaran persaingan dengan guru baru yang sekali ikut CPNS langsung lulus.
Pemerintah harus sadar akan kehadiran penting seorang guru, baik berstatus PNS ataupun honorer. Jangan buat status guru seperti jurang pemisah dengan sistem-sistem yang selalu saja mengalami pembaharuan. Pemerintah Indonesia harus sadar, bahwa kolaborasi mereka dengan guru sangat penting untuk kemajuan peserta didik, kemajuan bagi generasi di masa depan. Ditangan para guru lah letak kemajuan generasi tersebut.
Biodata penulis
Arif Purnama Putra berasal dari Surantih, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Sekarang berkegiatan disalah satu kanal web alternatif marewai.com yang berfokus kepada konten lokal: budaya dan social masyarakat. Arif adalah seorang penulis sastra, diantara karyanya telah menerbitkan buku Puisi “Suara Limbubu” 2018, JBS, Yogyakarta dan Sebuah Novel “Binga” 2019, Malang. Karya-karya telah dimuat media lokal dan nasional, baik cetak maupun daring. Kini fokus menulis tentang lokalitas daerahnya.
Discussion about this post