
Segala yang tidak mewujud, belum pernah kita lihat, dengar, atau rasakan belum tentu tidak ada wujudnya. Tapi meyakininya ada tentu saja sebuah ketololan atau barangkali kegilaan. Barangkali dari sinilah ia berangkat, sebuah novela tipis berukuran di bawah A5 yang diterbitkan Circa dan diterjemahkan dengan cukup apik oleh Ronny Agustinus, Dongeng Pulau Tak Dikenal, Karya José Saramago.
José Saramago adalah seorang penulis asal Portugal, ia lahir pada tahun 1922 dari keluarga petani yang tak memiliki tanah di Azinhaga. Sebuah desa kecil di Propinsi Ribatejo, Portugal. Setelah lulus sekolah teknik di usia 12 tahun ia bekerja di bengkel selama dua tahun. Setelah itu ia bekerja sebagai penerjemah dan kemudian jurnalis. Ia memang tak begitu dikenal luas sampai ia berusia enam puluh tahun, ketika ia menerbitkan novelnya yang ke empat Memorial do Convento. Lalu pada 1998 ia mendapat hadiah Nobel. Dan karya-karyanya kemudian diterjemahkan ke dalam lebih dari dua puluh lima bahasa di dunia.
Kembali ke Novela tipis Saramago, Dongeng Pulau Tak Dikenal. Ia menceritakan bagaimana seorang lelaki mengetuk pintu raja, hanya karena ia ingin berbicara dengan raja dan meminta sebuah kapal untuk mencari sebuah pulau tak dikenal. Cerita ini menurutku cukup menarik ia seperti alegori dalam banyak perkara.
Pertama, ia memberikan bagaimana gambaran suatu birokrasi bekerja. Si lelaki ini yang kurang lebih menggambarkan orang kecil, rakyat kecil, bukan siapa-siapa tapi berani meminta sebuah kapal pada petinggi pemerintahan. Ia tahu titik lemah suatu birokrasi yang tampak agung, suci, dan tak ternoda padahal penuh borok. Dan di sanalah ia meletakkan pisaunya. Ia mengetuk pintu di mana Raja selalu berada di sebalik pintu, itu adalah pintu upeti, suatu pintu di mana rakyat memberinya hadiah untuk memudahkan urusan mereka. Dan si lelaki berada di sana ia tak mau pergi sebelum ia berbicara dengan raja, ia tidur di depan pintu bila belum bertemu dengan raja.
Sampai di sini kita bisa melihat. Ketika si lelaki melakukan hal demikian dan tak mendapat perhatian Raja, orang-orang akan melihat betapa kejam dan buruknya perangai Raja. Begitu juga sebaliknya Raja tak ingin melihat si Lelaki berada di sana sepanjang hari karena ia harus mengambil upeti dan hadiah yang diberikan rakyat untuknya. Dan ketika permintaan si Lelaki hendak dikabulkan, di sinilah cara kerja birokrasi yang berbelit-belit itu ditampakkan lagi. Ia harus procedural, permintaan si lelaki harus lewat tingkatan terendah dalam suatu birokrasi. Mulai dari babu, kepada asisten terendah mengoper ke tingkatan diatasnya, mengopernya lagi hingga sampai ke telinga si Raja. Begitu juga sebaliknya.
Kedua, ia memberikan posibilitas atau keniscayaan bagi sesuatu yang tampak mustahil. Ialah ketika Raja bertanya pada si lelaki tentang kegunaan kapal yang ia minta. Yakni ketika sang Raja berdalih tak ada Pulau Tak Dikenal semua pulau ada di peta. Dan si lelaki menjawab, hanya pulau yang dikenal yang ada di peta, dan pulau tak dikenal, andai saya bisa mengatakan berarti pulau itu sudah dikenal. Apa kau pernah dengar orang membicarakannya? Tanya Raja. Tidak, tak ada, jawab lelaki. Kalau begitu kenapa kau bersikeras pulau itu ada. Semata karena tidak mungkin tidak ada pulau tak dikenal.
Sekilas perselisihan itu semacam lelucon, kekonyolan atau ketololan. Namun jika kita renungkan. Statement si lelaki juga tak salah jika kita mau mencermati, ada keniscayaan lain dalam pernyataan yang ia lontarkan pada sang Raja. Dan pernyataan itu benar-benar menjadi jangkar yang membuat pernyataan si lelaki tak terombang-ambing. Atau semacam pukulan telak bagi orang-orang yang menganggapnya main-main atau tak serius dengan apa yang telah menjadi kehendaknya.
Ketiga, novela ini menawarkan kisah yang membuat kita penasaran di awal-awal, bagaimana perjalanan mencari pulau tak dikenal berlangsung? Apakah si Lelaki berhasil menemukan pulau itu? Dan tentu saja petulangan yang tak terduga barangkali yang kita tunggu-tunggu sebagai pembaca yang kadung penasaran di awal. Namun pertanyaan yang paradoks juga muncul, apakah harapan besar kita di awal mampu terobati dengan buku yang hanya setipis stensilan TTS yang biasa kita beli di toko kelontong, harapan kita seakan menemu pagar pembatas yang tak mungkin kita lewati. Seperti adagium: maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.
Namun José Saramago masih tetap mencoba memeluk gunung dengan tangannya. Dan itulah yang terjadi. Si Lelaki masih melanjutkan mencari Pulau Tak Dikenal dengan kapal pemberian Raja dan masalah-masalah selanjutnya muncul. Bagaimana cara berlayar, apa yang diperlukan saat berlayar dan seputar itu. Selebihnya ia memberikan tawaran yang cukup untuk harapan yang pembaca yang terlalu muluk, dan usaha memeluk gunung itu sepertinya telah ditunjukkan dengan apik oleh José Saramago.[]
—Lamongan, 2024
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post