
Suara musik yang keras dan tarian terdengar jelas dalam setiap rumah di Kota Suka Mundur ini. Terlihat setiap orang di beberapa rumah sangat bahagia, sebab satu bulan belakangan ini warga seperti mendapatkan angin surga.
“Kita sebentar lagi akan ganti presiden,” ucap salah satu warga yang menari di teras rumah disertai musik tanpa henti.
Orang-orang di kota ini sudah terbuai dengan kebahagiaan, tapi tidak dengan Linda. Hari ini wajah Linda hanya terlihat murung dan lelah. Linda terus melangkah menyusuri gang dengan wajah lelah. Baju putih yang Linda kenakan sudah menguning di bagian ketiak, sebab aktivitas dan keringat sepanjang hari.
“Ah, hari ini sangat melelahkan, untung saja saya bisa menjawab dengan baik setiap pertanyaan dalam sidang tadi,” ucap Linda dalam hati.
Tinggal beberapa langkah lagi sampai di kos, tiba-tiba langkah Linda terhenti, “Eh, itu Ibu Rika, ya?” Linda yang heran melihat Bu Rika yang sedang asik menari di warungnya. “Mampir dululah beli minuman di warung Bu Rika.”
“Oke gas, oke gas, di dapur sudah habis gas.” Nyanyian itu terus dilantunkan oleh Ibu Rika, seolah terhipnotis dengan nyanyian tersebut.
“Ibu, Ibu, Ibu,” ucap Linda secara berulang sampai panggilan ketiga baru direspons oleh Ibu Rika.
“Eh, maaf, ternyata Linda, ya, mau beli apa, Linda?”
“Mau beli minuman, ini harganya berapa, Bu?”
“Yaelah masih harga biasa kok, pakai nanya segala.”
“Hehe, nah ini uangnya, Bu.” Linda memberikan satu lembar uang pada Bu Rika. “Wah, hari ini Ibu Rika kelihatannya sangat senang, pasti dapat kabar bahagia, ya?”
“Iya dong, ‘kan sebentar lagi kita ganti presiden,” balas Bu Rika dengan wajah yang penuh harap.
Sudah menjadi kebiasaan di Negara Kesatuan Hindiadesh ini merayakan berbagai hal dengan tarian dan musik yang keras, termasuk merayakan pesta demokrasi di tahun ini. Apalagi salah satu calon yang diusung suka menari dalam setiap kampanye di berbagai tempat. Kampanye dengan menari lebih disukai banyak orang ketimbang mendiskusikan untuk mencari solusi dari suatu permasalahan.
“Oh, ternyata hanya karena sebentar lagi pemilu dan ganti presiden, ya,” ucap Linda.
“Apa, kamu bilang, hanya?” ucap tiba-tiba orang di belakang Linda.
“Wah ada Ibu Ani, bikin kaget saya saja, tiba-tiba muncul dari belakang,” balas Linda.
“Eh, Linda ini bukan sekedar hanya, tapi ini suatu harapan yang besar bagi Negara Kesatuan Hindiadesh ini, demi kemajuan bangsa dan negara,” ucap Ibu Ani dengan kesadaran penuh
“Ya sih, Bu. Tapi, siapa pun presidennya hidup kita akan seperti ini saja ‘kan, Bu. Cari kerja tetap susah, kalau masuk kerja harus ada orang dalam, yang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan tetap miskin dan seterusnya. Maka jangan terlalu berharap sama pemerintah deh, Bu.”
“Tapi, calon presiden yang sekarang pasti akan membuat negara ini menjadi lebih maju dan mengaung.”
“Mengaung?” tanya Linda dengan heran. “Mengaung yang seperti apa maksudnya, Bu?”
“Iya mengaung, ‘kan calon yang sekarang selain pandai menari, dia pandai mengaung seperti macan, sehingga dengan keyakinan yang tinggi dan kesadaran penuh akan Ibu coblos calon presiden yang bisa mengaung. Ibu pastikan mencoblos tepat di bagian hatinya yang terdalam.”
“Cuman karena itu Ibu memilih dia, Bu? Apakah Ibu sudah baca visi misi dan program dari calon itu, Ibu?”
“Itu tidak perlu, sebab yang penting bisa menari dan mengaung. Apa itu membaca? tidak ada gunanya membaca itu. Memilih calon presiden itu bukan dari bacaan dan logika, tapi soal rasa dan intuisi yang mendalam.”
“Kalau boleh tahu Ibu memilih calon yang mana?”
“Oh, sudah jelas dong siapa yang sering kampanye dengan menari dan mengaung, seperti Macan Asia.”
“Ibu memilih Pak Bram ‘ya?”
“Nah, itu ‘kan kamu tahu.”
“Kabarnya Bapak itu sering merusak hutan, Bu, dan proses pencalonan beliau banyak mengalami masalah mulai dugaan nepotisme dengan merubah aturan, Bu.”
“Ah, itu fitnah, tidak boleh gitu, mana buktinya?”
“Saya tidak punya bukti sih, Bu, tapi hal itu saya baca di portal berita nasional, tentu orang yang terlibat dalam bidang jurnalistik punya bukti, Bu.”
“Ah, itu hanya orang-orang yang hendak menjelekan nama baik Bapak itu aja.”
“Ya sudah, kalau Ibu masih tetap memilih Bapak tersebut, itu hak Ibu. Oh, ya, kalau boleh kasih saran, kita jangan terlalu fanatik dan terlalu memuja, serta jangan terlalu berharap pada calon presiden tersebut, sebab bagaimanapun kita dan para calon presiden itu sama-sama manusia. Jadi, bersikaplah biasa saja, sebab salah satu patah hati yang sulit disembuhkan itu berharap lebih kepada manusia, Bu.”
“Eh dasar anak kemarin sore, malah sok menggurui saya, ya. Saya ini adalah guru yang sudah lama mengabdi untuk negara. Saya sampai hari ini masih rela digaji murah, sebab belum diangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS), hal itu saya lakukan demi negara dan bangsa. Kamu tahu calon presiden yang Ibu pilih akan memberikan uang tambahan, dia akan bangun rumah untuk ke setiap guru.”
“Amin, semoga saja itu tidak bohong, ya, Bu.”
“Oh, sudah pasti itu bukan hanya sekedar janji, pasti akan ditepati.”
“Memangnya kapan akan dikasih uang tambahan sama calon presiden yang akan Ibu pilih tersebut?
“Kalau Ibu lihat di media sosial yang viral, katanya bulan Oktober.”
“Ha, bulan Oktober?” Linda merasa heran. “Bukankah pada bulan Oktober baru pelantikan, ya, Bu? Itu sudah pasti bohong, sebab mana mungkin bulan Oktober bisa memberikan uang tambahan pada setiap guru, bahkan ingin membangun rumah pula, itu tidak masuk akal, Bu.”
“Hei, jaga lisan, kamu, ya. Itu idola Ibu, mana mungkin bohong. Tidak usah deh itu yang kamu pikirkan, dan kamu urus, urus aja hidup kamu yang belum beres dalam menyelesaikan perkuliahan itu.”
“Lah, kok jadi bawa-bawa perkuliahan saya sih, Bu? Lagian sebentar lagi saya akan wisuda. Ini baru saya baru siap sidang skripsi, dan masih ada beberapa revisi setelah sidang, setelah itu baru wisuda. Kemungkinan saya wisuda bulan Maret tahun ini, Bu.”
“Nah, lebih baik itu saja yang kamu urus, belum lulus udah sok menggurui saya.”
“Ya deh, maaf. Saya bukan bermaksud menggurui Ibu, cuman kita sesama manusia harus saling menggiatkan, Bu.”
“Eh eh, kok jadi ribut? Sudah hentikan, besok saja lanjut debatnya. Saya mau bernyanyi dan menari dulu. Ini lagu yang berjudul Oke Gas dan Beli Gas luar biasa membuat saya senang dan terbang, jangan diganggu dengan perdebatan kalian berdua,” ucap Ibu Rika yang coba melerai perdebatan antara Linda dan Bu Ani.
“Saya tidak berdebat kok, Bu, cuman berdiskusi saja. Ya sudah saya pamit dulu, Bu.” ucap Linda.
***
Setelah beberapa bulan pelantikan presiden yang baru, ternyata janji yang pernah disampaikan oleh presiden hanya omong kosong. Belum ada kabar kenaikan gaji guru di bulan Oktober. Hari berganti bulan, bahkan tahun sudah berganti, yang didapatkan hanya omong kosong. Bahkan kondisi semakin memanas, sebab beberapa guru honorer melakukan aksi demonstrasi depan Gedung Pemerintahan di Kota Suka Mundur ini untuk menuntut janji yang pernah disampaikan oleh presiden. Bahkan ada tuntutan ingin segera diangkat jadi Pegawai Negeri Sipil, meski tidak lulus seleksi.
“Kami selaku guru honorer ingin menuntut janji Pak Presiden yang ingin menambah gaji dari bulan Oktober,” ucap secara lantang dari salah satu guru honorer di Depan Gedung.
Berbagai tuntutan telah disampaikan oleh para guru honorer tersebut. Mulai dari kenaikan gaji, bahkan ada yang menuntut segera diangkat jadi Pegawai Negeri Sipil, meski gagal lolos seleksi.
“Kalau tidak bisa memberikan uang tambahan, setidaknya angkat kami jadi Pegawai Negeri Sipil tanpa tes, sebab Ini tidak adil, kami sudah puluhan tahun mengabdi, tetapi tidak lulus. Sedangkan yang baru bekerja justru lulus. Ini sangat tidak adil,” ucap Bu Ani secara lantang.
“Ini sudah jelas tindakan nepotisme, hapuskan praktik orang dalam, sebab ada yang baru jadi guru honorer langsung lulus jadi Pegawai Negeri Sipil,” seruan lain dari salah satu guru yang demo dengan penuh semangat.
Berjam-jam aksi demonstrasi itu dilakukan di depan gedung, namun tidak menghasilkan apa-apa, tidak ada tanggapan. Akhirnya para guru tersebut pulang dengan tangan kosong.
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para guru honorer tersebut sampai viral di media sosial. Linda yang sedang berbaring lelah di kamar sambil menatap ponsel pintar, seketika langsung duduk di atas tempat tidur saat lihat video guru honorer yang demo, “Ha, ini Ibu Ani, ‘kan?” Linda kemudian membaca satu per satu komentar dalam media sosial tersebut. Banyak komentar prihatin dengan nasib guru, sebagian orang ada yang mengkritik pemerintah mengenai kepedulian terhadap guru, sebagian lagi memberikan semangat pada para guru honorer tersebut.
Linda ikut merasa prihatin dengan kondisi yang dialami oleh para guru honorer tersebut. Lalu Linda menatap foto wisudanya dengan selempang yang bertuliskan Sarjana Pendidikan. Linda di foto tersebut terlihat sangat bangga, namun sekarang sebaliknya, ada perasaan menyesal dalam diri.
“Memang saya merasa prihatin dan sedih melihat nasib guru honorer yang demo tersebut. Namun, kalau dipikir-pikir lebih menyedihkan nasib saya, sebab sudah berbulan-bulan saya lulus dari kampus belum mendapat pekerjaan. Untuk jadi guru honorer saja dengan gaji rendah mesti harus ada orang dalam. Sudah beberapa kali mengajukan diri sebagai guru honorer, tetap saja ditolak, entah apa yang salah, dari nilai dalam ijazah lumayan, dari segi prestasi non akademik juga lumayan, tapi tetap saja ditolak jadi guru honorer. Memang susah kalau hidup di Negara Kesatuan Hindiadesh ini, untuk dapat pekerjaan saja mesti harus ada orang dalam.”
Linda kembali menatap ponsel pintarnya untuk membaca apa saja tuntutan dari guru honorer tersebut. Dia membaca beberapa guru menuduh ada tindakan nepotisme dalam proses seleksi jadi Pegawai Negeri Sipil, dan beberapa guru ada yang ingin diangkat segara jadi Pegawai Negeri sipil dengan alasan sudah lama mengabdi.
“Hidup semakin hari, semakin membingungkan, ya. Di sini para guru honorer menuduh ada tindakan nepotisme dalam proses seleksi menjadi Pegawai Negeri Sipil. Padahal beberapa orang yang bisa jadi guru honorer tersebut juga karena ada orang dalam. Jika beberapa guru melakukan demo untuk menuntut keadilan, karena ada dugaan nepotisme seleksi Pegawai Negeri Sipil, dan berharap segera diangkat tanpa seleksi dengan alasan sudah lama mengabdi jadi guru honorer, saya rasa itu juga tidak adil, sebab tidak semua orang beruntung punya kesempatan menjadi guru honorer.”
Waktu terus berjalan, hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Linda belum juga mendapat pekerjaan setelah wisuda, sebab mendapatkan pekerjaan sulit kalau tidak ada orang dalam. Begitu juga Ibu Ani masih tetap jadi guru honorer tanpa pernah dapat gaji tambahan, namun hidup harus tetap dijalankan.
Pariaman, Januari 2025
Profil Penulis
Indra Junaidi, lahir di Pariaman pada tanggal 01 Juni 1998. Ia adalah lulusan dari Universitas Negeri Padang (UNP) Departemen Pendidikan Nonformal (PNF), tergabung dalam organisasi Unit Kegiatan Kesenian (UKKes) UNP bidang sastra. Beberapa kali menjuarai lomba kepenulisan sastra dan ilmiah, salah satunya pada tahun 2017 karya puisinya meraih juara satu dalam lomba cipta puisi yang diadakan di Malang oleh komunitas Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN). Tulisannya pernah diterbitkan dalam berbagai media massa yaitu Koran Utusan Borneo (Sabah, Malaysia), Padang Ekspres, Haluan, Radar Madura, Malang Post, Medan Pos, Riau Pos, Minggu Pagi dan lain-lain. Buku yang sudah terbit: Arloji Hujan (2019), Sabda Langkah! (2020), Ruang yang Tidak Tersentuh (2021).
Media Sosial:
- Facebook : Indra Junaidi
- Instagram : @indrajnd16
- Wattpad : @TongkatSastra
- Email : [email protected]
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post