
Macan dari Lembah Suliki begitu julukan yang datang kepadanya, sedangkan Ibrahim merupakan nama yang diberikan oleh Ibunya, dan dengan nama tersebut ia mulanya dikenal di kampung halamannya semasa kecil, hingga pada akhirnya kemudian dianugerahi gelar Datuk Sutan Malaka. Ia lebih sering disebut atau dikenal sebagai Tan Malaka (2 Juni 1897 – 21 Februari 1949). Tan Malaka adalah seorang pendidik, Marxis, pendiri Persatuan Perjuangan dan Partai Murba, pejuang gerilya, sekaligus mata-mata. Ia diakui sebagai salah satu tokoh perjuangan Indonesia dan telah dianugerahi gelar pahlawan nasional. Bahkan, Mohammad Yamin menjulukinya sebagai “Bapak Republik Indonesia.”
Sosok yang dieksekusi oleh bangsanya sendiri ini, selama pelariannya di Singapura, Tan Malaka menulis risalah yang menggambarkan carut marut bangsanya di bawah kesengsaraan pada era penjajahan. Dalam karyanya berjudul Massa Actie yang diterbitkan pada tahun 1926, Tan, menyerukan perlunya perjuangan kemerdekaan yang tidak hanya mengandalkan aksi revolusioner, tetapi juga transformasi pola pikir masyarakat. Tan mengungkapkan keresahan terhadap cara berpikir rakyat Indonesia yang menurutnya masih terbelenggu oleh mitos, mistisisme, dan mentalitas feodal.
Tan bahkan menggunakan istilah “kotoran kesaktian” untuk merujuk pada berbagai bentuk takhayul dan kepercayaan terhadap hal-hal gaib seperti jin, hantu, batu keramat, dan benda-benda magis lainnya. Baginya, kecenderungan masyarakat untuk memuja hal-hal mistik ini menjadi hambatan serius bagi perjuangan menuju kemerdekaan. Tan menilai bahwa kemerdekaan tidak hanya berarti terbebas dari kolonialisme Belanda, tetapi juga mencakup pembebasan logika berpikir dari jebakan irasionalitas.
Pandangan ini berakar pada kritik Tan terhadap masyarakat yang pasif dan tunduk pada sistem feodal. Mentalitas ini, menurut Tan, membuat masyarakat Indonesia mudah dimanipulasi oleh penguasa kolonial maupun feodal lokal. Budayawan Romo Mudji Sutrisno menggambarkan mentalitas feodal ini sebagai “mental budak,” yaitu pola pikir yang membuat seseorang takut untuk berpikir kritis, pasif, dan cenderung menyerah pada nasib. Mudji juga menyatakan bahwa mentalitas ini memudahkan masyarakat untuk mempercayai takhayul sehingga mereka menjadi rentan terhadap manipulasi oleh pihak-pihak yang lebih rasional dan cerdik.
Tan Malaka juga meyakini, bahwa ketergantungan pada mitos dan praktek mistis, sama halnya menunjukkan stagnasi pemikiran kritis, yang mana kalau kita bawakan pada konteks kekinian, pekerjaan berat ini kini coba diambil oleh Malaka Project, yang mana ini memperlihatkan kepada kita, bahwa ilmu pengetahuan dan rasionalitas sering kali dikalahkan oleh kebodohan yang diinstitusionalisasi, buktinya garam ruqyah banyak menelan korban yang sampai hari ini tetap eksis dan banyak dipercayai, yang sekarang ini coba diberantas oleh Ferry Irwandi, Founder Malaka Project. Sudah saatnya, bagi kita untuk menggeser paradigma: dari magis menuju logis, dari mitos menuju logos, agar kita benar-benar menjadi bangsa yang merdeka, tidak hanya spiritual, tetapi juga secara intelektual, hitung-hitung perpanjangan tangan Tan Malaka dalam membangkitkan kesadaran kritis di tengah masyarakat.
Berbicara kembali soal Tan Malaka, Tan ternyata mengelaborasi kritiknya terhadap pola pikir mistik dalam karya monumental nya Madilog (1943), yang merupakan singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Dalam bab pertama buku tersebut, ia membahas konsep “logika mistika,” yaitu pola pikir yang didasarkan pada kepercayaan irasional. Tan menggambarkan logika mistika sebagai hambatan besar dalam perjuangan bangsa untuk merdeka. Ia mengkritik pandangan masyarakat yang percaya bahwa doa semata cukup untuk mengatasi kelaparan dan penindasan, seperti yang telah kita ulas di atas. Sebagai contoh, Tan menulis bahwa seseorang yang lapar tidak akan kenyang hanya dengan menyebut kata “kenyang” berulang kali, meskipun dilakukan ribuan kali.
Dalam pandangan Tan, kemerdekaan tidak dapat dicapai hanya dengan berdoa atau menunggu keajaiban. Sebaliknya, ia menegaskan perlunya revolusi total yang dimulai dari pembebasan cara berpikir. Langkah pertama untuk mencapai hal ini adalah melalui pendidikan yang berbasis pada logika dan ilmu pengetahuan. Pendidikan, menurut Tan, harus menjadi sarana untuk mencerdaskan bangsa sekaligus membangkitkan kesadaran kelas. Tan percaya bahwa hanya dengan membangun masyarakat yang tercerahkan dan rasional, bangsa Indonesia dapat melawan penindasan kolonial dan feodal secara efektif.
Keyakinan ini tercermin dalam aktivitas Tan setelah menyelesaikan studinya di Belanda pada tahun 1919. Ia kembali ke Indonesia dan menjadi guru bagi anak-anak buruh di perkebunan Sanembah, Tanjung Morawa, Sumatra Timur, sebenarnya dengan profil sebagai lulusan negeri kincir angin ia bisa saja menempati banyak tempat dan posisi strategis, tapi itu tidak dirinya lakukan. Hari demi hari pun ia lalui sambil mengajar, Tan juga menulis propaganda untuk membangkitkan kesadaran kelas di kalangan buruh, namun, tak banyak yang tahu bahwasanya, disitu juga percikan api kiri Tan muncul, kenapa tidak? Ia dengan mata kepalanya sendiri melihat bahwa buruh seringkali ditipu soal upah karena tidak mengerti soal huruf dan juga angka, anak Rangkayo Sinah itupun semakin mendidih dibuatnya.
Ketika pindah ke Pulau Jawa pada tahun 1921, ia mendirikan Sekolah Sarekat Islam di Semarang sebagai alternatif terhadap pendidikan yang disediakan oleh pemerintah kolonial. Sekolah ini bertujuan untuk melahirkan generasi pribumi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki semangat kemerdekaan dan kepedulian terhadap nasib rakyat.
Dalam pengelolaannya, sekolah itu dikhususkan bagi anak-anak kalangan buruh, sekolah SI yang ia kelola tak hanya bertujuan membuat muridnya pintar, tetapi juga menghadirkan empati, pria kelahiran Pandam Gadang itupun menyusun kurikulum yang otentik, berbeda dari sekolah lainnya, ia menghadirkan 3 dasar pemikirannya dalam membidani kurikulum sekolah tersebut, di antaranya :
- Membekali senjata untuk pencari penghidupan
- Memberi hak bermain kepada murid-murid
- Menunjukan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kromo
Meski mayoritas muridnya berasal dari kalangan bawah, mereka justru diajarkan bahasa Belanda agar bisa turut melawannya. Selain itu, untuk menumbuhkan kepedulian terhadap rakyat pada murid juga rutin diajak ikut pertemuan anggota SI Semarang agar bisa merasakan secara langsung aspirasi “wong cilik”.
Dalam imajinasinya, Tan membayangkan pendidikan sebagai kekuatan transformatif yang dapat membebaskan bangsa dari belenggu feodalisme dan mistisisme. Ia berharap pendidikan dapat menciptakan individu-individu yang mampu berpikir kritis, bertindak rasional, dan memimpin perjuangan menuju kemerdekaan. Tan percaya bahwa bangsa yang cara berpikirnya terjebak dalam irasionalitas sulit untuk meraih kebebasan sejati. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa hanya dengan cara berpikir dan bekerja yang rasional, masyarakat dapat membebaskan diri dari takhayul, kelaparan, wabah penyakit, dan perbudakan.
Pandangan Tan ini sejalan dengan teori modernisasi yang menekankan pentingnya rasionalitas sebagai syarat utama untuk mencapai kemajuan sosial dan ekonomi. Yang mana dalam hal ini, Tan dapat dianggap sebagai pelopor pemikiran modern di Indonesia yang berusaha menggeser paradigma masyarakat dari mistisisme menuju rasionalitas.
Pemikiran Tan juga relevan dengan konsep hegemoni Antonio Gramsci, yang menyoroti bagaimana kekuasaan dapat bertahan melalui kontrol terhadap kesadaran masyarakat. Dengan menggugat logika mistika dan mentalitas feodal, Tan berupaya menghancurkan hegemoni kolonial dan feodal yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.
Melalui kritiknya terhadap pola pikir magis dan upayanya memajukan pendidikan, Tan Malaka menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat dicapai jika bangsa Indonesia mampu melepaskan diri dari belenggu irasionalitas. Dengan cara berpikir yang rasional dan kesadaran kelas yang tinggi, masyarakat dapat melawan penindasan dan membangun masa depan yang lebih adil dan merdeka. Tan menyimpulkan dalam Massa Actie bahwa hanya melalui logika dan tindakan rasional, manusia dapat mencapai kebenaran dan kebebasan yang sejati.

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post