
Karya seni bertajuk Gala Resonant karya Muhammad Giffary dan dibantu oleh Rama Anggara dalam perancangan instalasi elektronik, berhasil menggabungkan tradisi Minangkabau dengan teknologi elektroakustik modern. Mengangkat alat musik tradisional pupuik gadang sebagai elemen utama, Giffary menciptakan sebuah pertunjukan yang memadukan bunyi eksperimental dan instalasi visual yang penuh makna filosofis. Karya ini dipamerkan pada Kamis (9/1/2025) di Studio Kayu Seni Kriya Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, menghadirkan pengalaman seni yang kaya akan interpretasi dan pesan sosial.
Sebagai tugas akhir untuk meraih gelar sarjana, Gala Resonant berakar pada kesenian tradisional Minangkabau, khususnya alat musik tiup pupuik gadang yang terbuat dari batang padi dan daun kelapa. Giffary menghadirkan bebunyian khas alat musik ini melalui pendekatan elektroakustik eksperimental yang mengolah spektrum frekuensi bunyi secara mendalam. Proses ini menciptakan suara-suara multitafsir yang merepresentasikan bebunyian alam dan aktivitas sosial.
Tidak hanya fokus pada musik, Gala Resonant juga memperkenalkan instalasi visual bernama “Kulilik”. Instalasi ini berbentuk susunan sapu lidi yang disusun menyerupai payuang panji—simbol kepemimpinan dalam budaya Minangkabau—dengan tambahan selang, kabel, dan lampu warna-warni. Elemen-elemen ini melambangkan harmoni dan keterhubungan dalam masyarakat, menciptakan narasi visual yang memperkaya pengalaman penonton.

Menggambarkan Perjalanan Zaman
Pertunjukan Gala Resonant membawa penonton ke dalam perjalanan yang menggambarkan dinamika perubahan zaman. Bunyi-bunyi tradisional pupuik gadang di awal pertunjukan menciptakan suasana masa lalu yang damai. Namun, lambat laun suara-suara ini bercampur dengan bunyi klakson kendaraan, kereta, dan elemen modern lainnya yang merepresentasikan industrialisasi.
Pada puncaknya, suara-suara yang tidak menentu muncul, menggambarkan disrupsi zaman modern yang sering kali menyebabkan hilangnya identitas tradisional.
“Karya ini mengajak kita untuk merenungkan kembali bagaimana tradisi terus memberikan pengaruh dalam setiap lapisan kehidupan, meskipun kerap tergerus oleh arus modernisasi,” ungkap Giffary dalam wawancaranya.
Simbolisme Warna dan Harmoni
Selain bunyi dan bentuk, Giffary juga menonjolkan simbolisme melalui warna pada instalasi Kulilik. Warna-warna seperti oren, biru, hijau, putih, dan hitam masing-masing memiliki makna: oren melambangkan perlindungan, biru dan hijau merepresentasikan ketenangan, putih menunjukkan keuletan, dan hitam menggambarkan ketangguhan. Harmoni warna ini mencerminkan keberagaman dalam kebersamaan yang menjadi inti dari gotong royong dalam budaya Minangkabau.
Tantangan dalam Karya Eksperimental
Meskipun kaya akan simbolisme dan makna, karya ini tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh semua kalangan. Pendekatan elektroakustik eksperimental dan simbolisme yang kompleks membutuhkan pemahaman mendalam dari audiens.
“Saya berharap karya ini dapat menjadi inspirasi bagi seniman lain untuk terus mengeksplorasi seni tradisional dan menjembatani dengan inovasi modern,” tambah Giffary.
Gala Resonant membuktikan bahwa seni dapat menjadi ruang dialog antara masa lalu dan masa kini, menciptakan karya yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga sarat akan makna filosofis. Karya ini menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua elemen yang dapat berpadu untuk menghasilkan pembaruan seni yang autentik.

Muhamad Irfan lahir di Sunua Barat, 26 September 1995. Alumnus Sastra Indonesia Unand.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post