Presiden di Bangkahulu
Kini berenang dalam laut
Kita hentikan di sini dulu
Kisah yang lain kita sebut
BENGKULU atau Bangkahulu, memang punya kisah sendiri dalam sejarah Tanah Air, setidaknya periode 1685-1824. Ketika Nusantara dikuasai Belanda lewat Vereenigde Oostinische Compagnie (VOC), Bengkulu malah dikuasai Inggris melalui British East Company (EIC). Keduanya saling berebut peran, dan beberapa kali berhadap-hadapan. Karena itulah pantun yang lazim digunakan dalam peralihan kaba (cerita rakyat) di pesisir barat Sumatera sebagaimana dikutip di atas, bukanlah kebetulan.
Untuk menengok Bengkulu masa lalu, kita perlu jeda sejenak dari kisah-kisah mainstream kolonialisme Belanda. Dari situ kita akan menjumpai sisi lain sejarah yang jarang disebut. Namun pantun di atas juga punya lanjutan:…Meski yang lain kita sebut/ Pokok kisah di situ juga. Artinya, meski kisah beralih ke Bengkulu—yang 140 tahun dikuasai Inggris—kisah tetap berkisar di seputar kolonialisme, imperialisme, hingga perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa.
Inggris menyebut daerah seluas 19.788,70 km persegi ini Bencoolen dari kata Cut Land (tanah patahan). Maksudnya patahan Sumatera yang rawan gempa. Sementara itu, Bangkahulu (Bangka Hulu), merujuk daerah hulu keresidenan Sumatera Selatan yang juga meliputi Pulau Bangka dekat muara Sungai Musi. Pada 18 November 1968, Bengkulu menjadi provinsi kita yang ke-26 (termuda setelah Timor-Timur kala itu). Ibu kotanya pun bernama Bengkulu, terletak di tengah kawasan yang memanjang dari utara ke selatan.
Posisi kota Bengkulu strategis bagi daerah-daerah sekitarnya seperti Muko-Muko dan Ketaun di utara, Manna dan Bintuhun di selatan, Curup dan Kapahiang di timur, serta Pulau Enggano di Samudera Hindia. Barangkali itulah salah satu pertimbangan Inggris mendirikan benteng besar di kota ini, Fort Marlborough namanya.
Bertahun-tahun lalu, Bengkulu tak gampang diakses melalui darat karena jalan Lintas Barat Sumatera nyaris diabaikan pemerintah. Jalur di perbatasan Sumbar-Bengkulu dibiarkan rusak parah. Kendaraan dari Bengkulu ke Padang atau sebaliknya, memilih jalan “melingkar” ke Lubuklinggau, lalu masuk Lintas Tengah. Kebetulan kampung-halaman saya di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, berbatasan langsung dengan Muko-Muko, Bengkulu. Tapi lantaran akses jalannya buruk, bertahun-tahun saya tak pernah menginjakkan kaki di kota Bengkulu. Paling jauh saya hanya sampai perbatasan Muko-Muko (waktu itu masih kecamatan) dan sekarang menjadi kabupaten otonom sebagai pemekaran Bengkulu Utara. Padahal sudah lama daerah ini mendekam di kepala saya. Misalnya tentang kota-kota kecilnya yang kaya hasil ladang, seperti Pinarek, Sungai Pinang dan Ipuh, daerah transmigran. Cerita paling menggoda tentu saja tentang Bung Karno yang diasingkan Belanda di Bengkulu tahun 1938-1942. Jadinya saya memendam rindu-dendam pada Bengkulu.
Menuju Bengkulu
Untunglah, pada suatu kali Lebaran kurang empat tahun lalu, perjalanan menjemput rindu saya ke Bengkulu akhirnya terwujud. Waktu itu saya mudik ke Pesisir Selatan. Saat kembali ke Jawa, saya dan keluarga memutuskan lewat Bengkulu. “Berkah mudik,” bisik saya. Ya, selama mudik di kampung, saya dapat kabar bahwa jalan Padang-Bengkulu sudah bagus, aspalnya mulus dan lebar.
“Kalau mau balik ke Jawa, enak langsung ke selatan,” kata Pak Cuan, kerabat kami yang jadi sopir truk sawit di perbatasan.
Uwan Kodis, paman saya yang lain, pemilik truk pembawa ikan teri, ikut mengiyakan. Bila membawa ikan teri ke Jakarta, ia biasa lewat Lunang-Muko-Muko-Bengkulu hingga ke Krui di Lampung, terus ke Tanjungkarang.
Maka meluncurlah kami ke selatan sejauh 420 km, melalui perbatasan Sumbar-Bengkulu di Lunang Silaut. Perbatasan Sumbar-Bengkulu ditandai Gerbang Selamat Datang yang digantungi spanduk Kalender Even Bumi Rafflesia. Kemudian kami lalui ruas jalan berpagar tanaman pinang sampai ke tepi pantai. Sepanjang lebih 10 km jalan di tepian pantai lurus mulus, persis jalan tol yang sepi. Di kanan jalan terlihat bandar udara Muko-Muko yang sudah cukup lama beroperasi.
Kota Muko-Muko memanjang di jalan lintas, nyaris tanpa simpang, kecuali ke kantor bupatinya yang masih baru. Selepas itu, jalan berubah penuh kelokan, melewati kota-kota kecil yang pernah hidup dalam ingatanku—Pinarek, Sungai Pinang, Ipuh.
Pukul 00 tengah malam, kami masuki kota Bengkulu. Seperti biasa kami mencari masjid atau pompa bensin buat istirahat. Kami juga membawa tenda. Alangkah gembiranya kami begitu sampai di tengah kota bertemu masjid tua bersejarah, yakni Masjid Jamik Bengkulu. Masjid ini merupakan rancangan Soekarno ketika ia diasingkan Belanda ke sini. Inilah sambutan “Bung Karno” pertama bagi kami saat tiba di Bengkulu.
Bangunan utama Masjid Jamik sebenarnya tidak terlalu besar, tapi sayapnya lebar. Dindingnya juga rendah dengan tiang-tiang yang pendek, jadi tampak kokoh, seolah mengantisipasi gempa bumi yang kerap terjadi. Hampir seluruh bangunan bercat putih, kecuali sedikit warna hitam dan hijau-coklat pada pondasi. Dari halamannya yang rimbun pohon ketapang, Masjid Jamik tampak anggun dalam cahaya temaram.
Bung Karno dibantarkan di Bengkulu sebagai lanjutan dari pembuangannya di Ende, Flores. Waktu itu ia terserang malaria dan sejawatnya di Voolksraad (parlemen Hindia), MH Husni Thamrin, melayangkan protes kepada penguasa Belanda. Bung Karno kemudian dipindahkan dengan kapal dagang ke Bengkulu, ke tempat yang dijanjikan Belanda lebih baik. Padahal status Bung Karno tetap saja orang buangan. Namun toh selama di pengasingan, ia tetap berkarya. Masjid Jamik salah satu buktinya.
Hanya saja perjumpaan pertama kami dengan hasil karya Bung Karno berujung kecewa. Masjid itu ternyata dikunci! Bukan hanya ruang utamanya, juga kamar mandinya. Bagi musafir seperti kami, kamar mandi sangat berarti. Bersama kami ada sejumlah musafir lain yang juga dalam perjalanan arus balik. Semua kecewa. Saya putar haluan mencari masjid lain, tapi sami mawon (sama saja). Pompa bensin dalam kota juga pada tutup. Akhirnya kami kembali ke gerbang kota di mana sebuah pompa bensin buka 24 jam.
Rumah Fatmawati dan Pantai Panjang
Keesokan paginya kami memutari kota Bengkulu. Kota ini cukup hidup di Minggu pagi. Meski toko-toko yang berderet pada tutup, tapi kendaraan terlihat ramai di semua arah jalan. Saya teringat buku Sastri Sunarti Sweeny, Kelisanan dan Keberaksaraan (2013) yang menyebutkan bahwa Bengkulu merupakan kota pertama di Sumatera yang memiliki percetakan.
Menurut Sastri, misionaris Baptist Nathaniel Ward bersama William Robinson mendirikan percetakan Sumatera Mission Press tahun 1819. Mereka mendatangkan mesin cetak dari Kalkuta, India, atas permintaan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Akan tetapi kejayaan itu tidak bertahan lama. Padang, kota lain di barat Sumatera, segera mengambil alih pamor Bengkulu, melalui berbagai kebijakan Belanda yang sejak awal memang punya riwayat rivalitas dengan Inggris.
Saya juga terkenang Maria Amin, pengarang perempuan asal Bengkulu yang prosa-prosa metaforisnya sangat tajam mengkritisi fasisme Jepang. Sutan Takdir Alisjahbana juga lama tinggal di Bengkulu, termasuk di Ketaun. Namun sayangnya jejak kesasteraan ini tidak membekas di bumi Rafflesia sehingga kesusasteraan modern di daerah ini relatif kurang berkembang dibanding daerah lain.
Kami menuju Pantai Panjang, tak jauh dari pusat kota. Saat melewati Jalan Fatmawati, tampaklah sebuah rumah panggung sederhana dengan papan nama: Rumah Fatmawati Soekarno. Ada patung separoh badan dengan wajah bulat berkerudung. Itulah sosok Fatimah atau Fatmawati, gadis Bengkulu yang sempat jadi anak asuh Ibu Inggit Garnasih dan Soekarno. Toh kemudian Fatmawati dinikahi Soekarno, dan Bu Inggit memutuskan pulang ke Bandung, surut dari gerbang.
Kami berhenti di depan rumah kayu berwarna coklat terang itu. Pintu dan jendelanya menghadap jalan yang mepet ke halaman. Tapi di pekarangan yang sempit itu bunga-bunga tumbuh mekar. Bahkan di bawah plafon depan terdapat ukiran bunga Rafflesia Arnoldi. Jelaslah rumah ini sudah direnovasi. Kami menyaksikan semuanya di balik pagar karena gerbang masih terkunci. Maklum masih terlalu pagi.
Di rumah inilah Fatmawati lahir dan menjalani masa remajanya. Ibunya bernama Siti Chadijah dan ayahnya, Hasan Din, tokoh Muhamadiyah yang mengajar di Sekolah Rakyat. Dari sini, Fatmawati sering diajak ayahnya berkunjung ke rumah pengasingan Bung Karno di Anggut Atas. Din sendiri merupakan keturunan Sultan Indrapura ke-6.
Kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Panjang. Sesuai namanya, pantai ini memang sangat panjang, sekitar 7 km dan menyatu dengan Pantai Pasir Putih di selatan. Pohon-pohon cemara tua menaungi lokasi. Di bawahnya terdapat wahana mainan anak, mulai ayunan, jungkit-jungkit, panjat jaring, sampai rumah pohon. Sambil menunggui anak-anak bermain, orang tua bisa bersantai di pondok-pondok menghadap laut.
“Bung Karno dan Ibu Inggit dulu juga sering main ke sini,” kata Pak Bujang, pemilik sebuah warung di Pantai Panjang, membuka kisah. Entah iya entah tidak, saya tak ambil pusing. Angin pagi yang berhembus sejuk cukuplah buat saya nikmati.
Sementara di tepi laut, hamparan pasir terlihat amat luas karena air surut. Pagi Minggu yang cerah itu dimanfaatkan warga berolahraga atau sekedar jalan-jalan. Selain lari pagi, banyak juga penggowes memacu sepedanya di jalur pantai. Para nelayan mulai menarik pukat mencari ikan. Saya mengajak dua bocah saya bermain air dan pasir, berkejaran dengan ombak Samudera Indonesia. Mereka bergerak bebas seolah lupa penat perjalanan.
Rumah Pengasingan Bung Karno
Puas bermain air dan pasir, kami bersihkan diri di kamar mandi umum, lalu meluncur ke rumah pengasingan Bung Karno di Kelurahan Anggut Atas. Rumah ini berpekarangan luas, sehingga dari gerbang pagar, rumah bersejarah itu tampak kecil. Di sisi kirinya berdiri sebuah hotel. Syukurlah bangunannya disesuaikan dengan lokasi cagar budaya. Arsitekturnya antik dan tak mencolok, alih-alih menguatkan kesan tempo doeloe.
Di bawah deretan pohon palem, para pengunjung berteduh dari terik matahari. Tukang foto keliling menawarkan jasanya. Ini menarik perhatian saya. Bayangkan, pada era digital saat ini masih ada orang-orang yang setia dengan profesinya itu. Boleh jadi mereka mewarisi kesabaran Soekarno.
Tiket masuk ke bangunan heritage yang diresmikan Fuad Hasan tahun 1985 itu adalah Rp 3000/orang. Benda-benda memorabilia Bung Karno dan Bu Inggit menyambut sejak dari beranda. Mulai sepeda kumbang, kursi, meja kerja, meja rias, buku-buku hingga tempat tidur. Foto-foto di dinding juga ikut bercerita. Misalnya saat Bung Karno dan Bu Inggit menerima kunjungan pemain sandiwara Monte Carlo.
Menjelang siang, kami tinggalkan rumah kenangan itu, melewati Tugu Hamilton yang dibuat tahun 1793. Tugu kecil itu terletak di perempatan kecil, tapi menandai kekuasaan seorang kapten militer Inggris bernama lengkap Robert Hamilton. Dari sini, kami berbelok ke alun-alun tempat kantor Gubernur Bengkulu dengan gaya Indisch berdiri anggun. Bangunan warna putih itu lengang dan bendera merah putih berkibar dalam sunyi.
Gerbang pagar kantor gubernur dengan arsitektur ala Tabot menarik perhatian kami. Ya, berundak dan bertingkat persis wadah tabot, wadah untuk ritual peringatan Husein, cucu Rasulullah yang terbunuh di Padang Karbala. Di tengah kota juga ada Monumen Tabot. Ritual Tabot memang menjadi agenda wisata-budaya di Bengkulu, sebagaimana di Pariaman, Sumatera Barat, yang berubah nama menjadi Tabuik. Tradisi ini dibawa orang Kerala, India, yang dulu merupakan bagian pasukan Inggris.
Benteng Marlborough
Benteng Marlborough tak jauh dari alun-alun. Sekali lagi kami melewati monumen peninggalan kolonial berbentuk kubah. Itulah Monumen Thomas Parr, Residen Inggris yang terbunuh pada tahun 1807. Akhirnya sampailah kami di Fort Marlborough, benteng Inggris terbesar kedua di Asia, setelah benteng Madras, India.
Bangunan hitam batu granit dibiarkan tanpa polesan, tak seperti benteng Belanda yang dilapisi semen halus dan dicat terang. Benteng berbentuk kura-kura itu terdiri dari dua bagian, terpisah oleh parit dan dihubungkan jembatan. Prasasti perak dan logam terdapat di gerbang, bersanding dengan makam petinggi Inggris yang wafat dalam tugas.
Deretan meriam tertata menghadap laut. Ini meriam terbanyak yang saya lihat di sebuah benteng kolonial. Setidaknya jika saya bandingkan dengan Fort Rotterdam Makassar, Vanderbugh Yogya atau Victoria Ambon. Sebagian ruangan difungsikan sebagai pusat informasi sejarah Bengkulu. Mulai masa kolonial Inggris, Belanda, Jepang, masa awal kemerdekaan hingga sekarang. Terdapat pula patung perunggu Raffles, gubernur Inggris paling terkenal, meski belakangan ada sejahrawan meragukan peran besarnya—termasuk dalam menyusun History of Java.
Di sebuah ruangan saya kembali bertemu Soekarno. Kali ini berbentuk patung bersama residen Belanda, C.E. Maier. Peristiwa itu memang terjadi pasca Traktat London (1824) ketika Belanda menguasai Bengkulu dan Inggris pindah ke Tumasik (Singapura).
Diaroma itu menceritakan saat Bung Karno dipanggil sang residen ke benteng. Sebagai seniman, Bung Karno diminta membuat tugu peringatan serangan Hitler ke Belanda, pada Mei 1940. Bung Karno hanya menumpukkan tiga buah batu di atas meja, lalu berkata, ”Beginilah rasanya jika kemerdekaan dirampas. Untuk apa Anda meminta saya membuat tugu peringatan sedang kemerdekaan bangsa saya juga anda rampas?”
Perkataan yang dicuplik pada teks di dinding itu sungguh mengena. Seolah menghidupkan jejak Sang Proklamator di selembar kain basurek—kain khas Bumi Rafflesia. **
Penulis, Raudal Tanjung Banua, Sastrawan Indonesia dan Penikmat perjalanan, tinggal di Yogyakarta.
— marewai.com
Discussion about this post