Sikabau adalah sebuah Kenagarian yang terletak tidak jauh dari Sungai Batanghari; sungai terpanjang yang melintas dari Sumatera Barat hingga ke Provinsi Jambi. Sungai besar yang konon menjadi pintu gerbang masuknya berbagai kebudayaan ke wilayah pedalaman Sumatera, khususnya bagi masyarakat yang berada di hulu dan sepanjang aliran sungai tersebut. Kenagarian Sikabau secara administratif masih berada di dalam wilayah Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, sebuah kabupaten baru yang terletak di bagian paling ujung sebelah selatan provinsi Sumatera Barat, dan berbatasan langsung dengan provinsi Jambi.
Dahulu, di Sikabau hampir seluruh penduduknya sehari-hari bekerja sebagai petani, terutama untuk tanaman padi. Sedang di hari lainnya—terutama pada libur musim tanam, atau biasa di sebut dengan Bulan Malope, maka sebagian dari mereka akan berbondong-bondong menyandang dulang untuk mencari emas ke dalam hutan, sementara beberapa lainnya, yang mempunyai nyali dan pemahaman tentang cara memanen madu yang ada pada pohon Sialang lebih memilih mempersiapkan lantak-lantak mereka terlebih dahulu dari rumah.
Pada kisaran tahun 1970 ke atas, di Sikabau tak ada petani yang menjual padi mereka. Berbeda dengan sekarang yang sesaat setelah siap panen langsung saja ditimbang untuk ditukar dengan uang. Jadi, pada masa itu, jika seseorang sudah tak ada lagi punya beras yang bisa untuk di Tanak; atau keperluan apapun yang menyebabkannya kekurangan beras, maka orang itu boleh saja meminjamnya pada siapa pun yang punya banyak beras, dan tentu nantinya harus diganti dengan beras pula, dan bukan uang—tentu saja ini terjadi berpuluh tahun yang lampau, saat anak-anak masih bisa ditakut-takuti dengan Hantu Balau dan dongeng Inyiek Garagasi.
Padi telah lama menjadi salah satu bahan makanan pokok di Nagari Sikabau, sedang di masa paceklik mereka akan mengolah umbi gadung sebagai gantinya, dan oleh sebab itu, penduduk di sana sangat menghormati padi lazimnya penghormatan seorang anak kepada sang ibu, dan semua itu masih dengan jelas terekam dalam ingatan kolektif dari salah satu tradisi yang dulu ada di sana, salah satunya, yaitu tradisi Bakaru Boniah, sebuah tradisi berupa ritual khusus yang dilakukan sebelum menyemai bibit-bibit padi ke dalam sawah.
Bakaru Boniah biasanya mereka lakukan pada bulan ketiga dalam kalender Hijriyah, dengan masing-masing petani akan membawa secanting padi yang telah dituai langsung oleh dukun padi saat pertama kali memanen dulu dan di bawa ke rumah untuk kemudian dimasukkan ke dalam rangkiang dengan cara digendong serupa seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, untuk kemudian dibawa ke kuburan (Tompat) Datuk Gadang Tuanku Rajo Dauli sebagai bentuk penghormatan untuk beliau selaku raja yang dikeramatkan. Datuk Gadang Tuanku Rajo Dauli adalah satu di antara tiga penguasa adat dulunya di daerah Rantau Batanghari, atau yang biasa disebut dengan sebutan Cati nan Batigo.
Dalam tradisi Bakaru Boniah, semua kesenian nagari akan ditampilkan di halaman Tompat Datuak Gadang Tuanku Rajo Dauli tersebut; mulai tari piring, Silat Sonsong, Silat Pangian, dan Canang (Talempong pacik). Padi-padi tadi (yang dibawa oleh petani) akan didoakan oleh para tetua adat dan empat dukun nagari. Lalu, setelah padi tadi diuras oleh tetua adat dan empat dukun nagari, dan setelah itu, padi-padi tadi dibawa lagi pulang ke rumah masing-masing untuk kemudian di semai pada hari yang sudah ditentukan.
Saat padi tadi sudah tumbuh dan mulai berbulir, maka selanjutnya masyarakat Sikabau akan mengadakan acara Bakaru Tompat Tuak Bisu. Sedang Datuak Bisu dalam Tambo yang ada dalam masyarakat Kenagarian Sikabau adalah seseorang yang dianugerahi kekeramatan/kemampuan dalam mengusir segala macam penyakit padi, terutama hama wereng. Di acara ini, para petani yang akan menjadikan sawah (bertani) akan dibekali sebuah kain putih seukuran telapak tangan yang sudah dimantrai oleh tetua adat untuk dipasangkan pada masing-masing petak sawah mereka. Sebagai pagar pelindung dari berbagai penyakit padi.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post