Pesisir Selatan, Marewai— Mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan banyak cerita sejarah di masa lampau merupakan aktivitas menyenangkan, disamping mendapatkan banyak pengetahuan, biasanya daerah yang memiliki historis panjang selalu menyajikan keindahan alam yang indah. Nah, kali ini saya berkunjung ke Langgai. Salah satu nagari yang berada di Hulu Surantih, Kec. Sutera, Pesisir Selatan. Langgai juga dikenal sebagai hulu dari Kecamatan Sutera, dimana daerah ini bersebelahan langsung dengan Kab. Solok. Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Langgai ini mendapat artian sebagai belat penangkap ikan, kalau orang Pesisir Selatan menyembutnya sebagai “Luka”. Terbuat dari bilah bambu yang dijalin ijuk atau rotan, bisa berbentuk bundar ataupun kotak. Digunakan sebagai penangkap ikan ataupun menangkap belut. Kalau di Langgai biasanya digunakan sebagai penangkap ikan Mungkuih-mungkus, ikan kecil pemakan lumut yang banyak ditemui pada hulu-hulu sungai. Selain terkenal di Balai Selasa, Hulu sungai Palangai, ikan ini juga terkenal dikalangan masyarakat Surantiah dari hulu Langgai. Namun yang membedakan, masyarakat Langgai tidak membawa ikan tersebut ke pasar untuk dijual.
Kami memulai perjalanan menuju Langgai dari Pasar Surantih, waktu tempuh kira-kira 2-3 jam, tergantung kecakapan pengendaranya. Langgai masuk dalam Kenagarian Gantiang Mudiak Utara, Surantih. Setelah melewati kampung Kayu Gadang, kita disuguhkan susunan bukit yang indah, ditambah suara aliran air dari hulu Langgai menjadi tempat sebagian masyarkat mandi ataupun melakukan aktivitas lainnya. Selain ingin menikmati keindahan alam di sana, tujuan kami juga ingin mencari tahu beberapa kebenaran cerita yang beredar tentang Silek Langgai dan lainnya.
Keindahan alam itu makin terasa setelah melalui kampung Ampalu. Di jembatan panjang batas antara Ampalu dan Kayu Aro, kami disuguhkan kembali dengan kesejukan alamnya, air yang berdesir dari bawa jembatan menambah tenang pikiran. Kami lihat dari jembatan Kayu Aro kampung Singkulan yang lengang seperti tak berhuni, jalur legenda Bujang Jibun menuju bukit Batu Balai, Lubuak Batu. Di sana jawara Bujang Jibun sering seweliran sepulang dari rumah ibunya di Kayu Aro. Aku jadi ingat bagaimana Bujang Jibun dulunya menyisiri lembah dan sungai hulu Langgai, memutar jalan ke bukit lainnya.
Hampir sepanjang jalan dari jembatan Kayu Aro ke mudik, kami berpapasan dengan aliran sungai hulu Langgai; jernih dan mengalir tenang. Orang-orang yang masih terlihat asing, menatap seperti ingin bertanya, “mau ke mana?” tapi masih malu-malu. Anak-anak meneriaki kami dengan sapaan yang samar: antara malu dan berani. Tapi hal itu menambah nuasa murni desa-desa yang jauh dari riuh suara kendaraan. Kicau burung bersahutan, ngalau yang menyimpan halimun, bergerak pelan tapi tak kunjung hilang. Menyelimuti bebukitan yang berbaris bagai gedung-gedung perkotaan.
Di Batu Bala kami berhenti, beristirahat sembari memandang hamparan sawah yang berada di bawah lembah. Tentu masyarakat di sana masih bercocok tanam di sawah, walau lebih dominan mereka bekerja sebagai peladang gambir. Gambir telah menjadi primadona di kampung mudiak, menjadi lumbung perekonomian masyarakatnya. Sudah tidak etis rasanya jika masih ada yang memakai bahasa “terisolir” bagi kampung-kampung yang ada di mudiak. Mereka bukan lagi orang-orang yang buta huruf, maksdunya, anak-anak mudiak sudah banyak sukses di luar. Tidak tabu lagi membahas dunia perkuliahan di kalangan anak muda mudiak, termasuk kampung Langgai. Mereka sudah melek pendidikan, ya, meski itu semua masih terasa mitos belaka dengan kondisi infrastrukur dan fasilitas umum yang mereka terima.
Dari Batu Bala kami melanjutkan perjalanan ke Langgai, memang agak lama rasanya kalau baru datang ke desa tersebut. Tapi kami tidak mengeluh, sebab banyak hal-hal baru yang kami temui di jalan; ibu-ibu yang kuat memikul daun gambir, anak-anak muda turun gunung dengan beban yang menggunung di pundak, bocah-bocah berlarian di jalan tanpa takut tertabrak kendaraan. Benar-benar sejuk, kami temui terus menerus aliran sungai hulu sungai yang jernih, mendesir seperti suara doa-doa baik.
Sekitar 40 menit dari batas Batu Bala, akhirnya kami memasuki kampung Langgai. Langsung disuguhkan dengan gonjong surau beraksitektur lama, sapaan bersahaja dari bapak-bapak pulang dari ladang. Ditambah tatapan sinis pemuda tanggung saat kami tertawa dari atas kendaraan, padahal kami tidak sedang menertawakan mereka ataupun kampungnya.
Setiba di kampung Langgai, aku ingat orang paling terkenal di sana, masyarakat menyebutnya “Ayek Langgai (Alm)”. Seperti bersahajanya beliau, begitu pula masyarakat di sana. Kami bisa singgah dimana saja, bertegur sapa dan bercerita banyak hal. Mereka kabarkan hal-hal menarik tentang kampungnya, tradisi-tradisi yang pelan-pelan dikikis zaman, pun janji-janji dari banyak manusia. Dari sikapnya yang sopan, selalu terselip rasa waspada.
Kami lihat rumah paling ujung dari jalan mudiak Surantiah dengan gaya arsitektur lama. Rumah-rumah panggung dengan bahan kayu berdiri kokoh, walau yang tinggal hanya hitungan jari. Bagi saya, Langgai adalah sebuah peradaban yang elok, baik dan menyenangkan. Masyarakatnya ramah, meski menatap curiga, namun matanya bisa dipercaya. Tetapi sayangnya hari itu kami tidak sempat bertemu dengan guru silat Langgai yang terkenal itu. Masyarakat Langgai menyarankan kami datang lagi ke sana pada hari Jumat, karena hari jumat adalah hari dimana semua peladang turun gunung. Pantas saja para lelaki terlihat sepi sejak kami masuk kampung Langgai, kebetulan kami ke sana pada hari Kamis.
Untuk kalian yang ingin bertandang ke kampung Langgai, usahakan hari jumat. Karena hari jumat adalah hari dimana masyarakat (terutama pria) Langgai turun gunung alias kembali ke kampung dari aktivtas di ladang. Biasanya hari itu akan ramai dengan kegiatan jual beli gambir, kegiatan yang berhubungan dengan hasil ladang. Jangan takut untuk jalan-jalan ke sana, masyarakat Langgai tidak seperti yang diceritakan orang-orang di luar. Yang tertinggal dari Kampung Langgai adalah sarana dan prasarananya. Bukan masyarakatnya. Mantap!
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post