
Karya sastra menempati posisi yang cukup signifikan dalam kehidupan, karena sebuah aspirasi dan kreatifitas bisa tersalurkan melalui sebuah karya sastra. Karya sastra disebut ada, berakar dari penciptaan pengarang. Tanpa kehadiran pengarang, maka karya sastra tidak aka ada, serta tidak dari satu hal pun yang dapat dibicarakan. Karya sastra merupakan harmonisasi dari imajinasi, perasaan, pengalaman, emosi, ego, bahkan riset yang mendalam.
Selain pengarang, karya sastra tidak lengkap tanpa kehadiran pembaca. Peran pembaca adalah menafsirkan makna atau arti yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Tanpa pembaca, karya sastra akan mati karena tidak memiliki arti dan nilai yang bisa ditanggapi apa yang ingin di sampaikan oleh pengarang. Sebuah karya dianggap sebagai karya sastra apabila mengikutsertakan tiga elemen, yaitu pengirim (pengarang), penerima (pembaca), dan pesan (makna/ arti dalam karya sastra).
Dalam karya sastra termuat nilai- nilai yang bisa di ambil salah satunya nilai-nilai budaya yang bersangkutan erat dengan kehidupan sosial baik pengarang maupun pembaca. Budaya berasal dari bahasa sanskerta ‘buddayah’ yang merupakan jamak dari kata buddi dan daya. Budi yang berarti budi atau akal atau akal pikiran. Dapat disimpulkan bahwa budaya adalah segala dan hasil dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia dari akal/pikiran/ budi secara sadar dan bertujuan untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik lagi.
Budaya apapun akan berubah atau berpindah ketika ada kontak dengan masyarakat luar. Kontak ini dapat memperkuat namun juga bisa melemahkann tergantung pada perbedaan dalam kondisi sosial masyarakat yang menyertainya. Budaya adalah sebuah hasil dari daya cipta, dorongan dan rasa, yang berarti setiap individu yang berinteraksi baik secara langsung/tidak kangsung memiliki pengaruh dalam informasi, pola struktur pemikiran atau pemikiran yang terkandung dalam otak manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sebuah karya sastra tersaji sebagai sebuah penggambaran mendalam bagaimana perspektif yang kemudian merealisasikannya. Tak jarang, sastra sastra bersinggung erat dengan kehidupan yang mencirikan bahwa hal tersebut disampaikan begitu jelas, seperti adanya ungkapan ‘jika pers bungkam, maka sastra yang berbicara’.
Dalam sebuah acara Festival Teater Mahasiswa Se-Sumatera Barat ( FTMSB ) yang telah dilaksanakan pada tanggal 4-8 Juli 2024 di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dengan menampilkan beberapa garapan naskah drama, diantaranya Wisran Hadi dengan naskah Nurani, Roh, Nyonya-Nyonya, Singa Podium. Naskah Putu Wijaya yang berjudul Gerr. Naskah Pinto Anugrah dengan judul Bak. Naskah, Iwan Simatupang yang berjudul RT Nol RW Nol. Naskah Motingggo Boesie dengan judul Malam Jahanam. Naskah Sarjan yang berjudul Patung dan Ayam. Naskah Legitimasi karya Syafril Prel T.
Drama merupakan salah satu genre sastra. Menurut Hasanuddin WS (2009:8) drama adalah suatu genre yang dituliskan dalam bentuk dialog dengan tujuan untuk dipentaskan sebagai suatu seni pertunjukan. Menurut Semi (1989: 145) drama adalah hanya menyangkut masalah- masalah manusia dan kemanusian semata. Hal itu disebabkan drama dilakonkan oleh manusia. Dalam pertunjukan teater tidak hanya sekedar visual saja, melainkan juga menyampaikan pesan-pesan atau nilai moral kepada penonton.
Dalam pementasan taater tersebut dapat ditemukan beberapa masalah sosial budaya yang diangkat oleh pengaranganya. Masalah budaya yang diceritakan oleh pengarang melalui beberapa naskah drama yang dipentaskan pada Festival Teater Mahasiswa Se-Sumatera mengangkat dari berbagai isu politik, ekonomi, moral masyarakat, sosial, dan lain sebagainya. Pementasan drama tersebut menjadi repsentasi untuk menunjukkan isu-isu atau masalah kebudayaan yang tampilkan melalui sebuah seni pertunjukan teater. Masalah budaya adalah sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keingian/harapan. Oleh sebab itu, pengarang merealisasikan ketidakpuasaannya dengan kaya sastra kebudayaan dan diturunkan kepada generasi ke generasi.
Adanya aspek-aspek atau masalah budaya dalam naskah drama “Nyonya- Nyonya” karya Wisran Hadi berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan agama sebagai gambaran kondisi saat ini dalam masyarakat. Kondisi masyarakat dimaksudkan adalah bagaimana tampak dalam naskah “Nyonya-Nyonya” yang dipentaskan pada Jumat, 5 Juli 2024 karya Wisran Hadi yang dianalisis dengan pendekatan sosiologi sastra. Mengapa pendekatan yang digunakan? Karena pendekatan sosiologi sastra berkaitan dengan sosial, mirip dengan teori nimesis dalam kerangka teori Abrams yang mengatakan bahwa karya sastra adalah tiruan masyarakatnya. Dalam pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dianggap sebagai hasil atau produk milik masyarakat. Model analisis yang dapat dilakukan dalam pendekatan ini salah satunya dengan menganalisis masalah- masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menyaitkannya dengan kejadian nyata yang pernah terjadi sebelumnya. Masalah- masalah budaya dapat diartikan berbagai aspek kehidupan manusia yang ada didunia. Karena pada hakikatnya manusia di dunia selalu berinteraksi dengan antar sesama yang kemudian melahirkan sebuah
secara nyata yang dialami hampir banyak orang akan memiliki sikap serakah dan turunnya iman, dari hal itu akan didapati nantinya dalam kehidupan masyarakat penurunan nilai moral/etika/ adab. Dalam hal ini pengarang, mencoba menjelaskan penurunan moral akibat keserakahan karena kepentingan materi. Ada tawar- menawar, rugi-untung, dan tidak lepas dari uang dari tindakan tokoh. Naskah drama “Nyonya-Nyonya” sangat kental dengan budaya Minangkabau dilihat dari dialog antar tokoh keponakan yang memperebutkan pusaka warisan milik datuknya dari tangan. Masalah budaya secara sentral dapat dianalis dari tindakan tokoh Nyonya yang pada awalnya ia bertegas akan menjaga nama baiknya dan mempertahankannya sehingga yang dapat dirumuskan dalam naskah drama ini adalah bagaimana cara menjaga nama baik bagi kaum perempuan dalam budaya adat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal.
Dikembalikan kepada perebutan harta pusaka oleh kemenakan dari suami Nyonya yang dimana dalam adat Minangkabau harta pusaka adalah segala bentuk kekayaan dalam materi yang diwariskan kepada kemenakan. Namun dalam naskah drama ini diceritakan bahwa tokoh Nyonya yang tidak mau berbagi hal warisan tersebut. Harta pusaka dalam budaya adat Minangkabau disebut juga sebagai pemersatu dalam kelurga, tetapi juga sebagai biang keladi karena dapat menimbulkan perselisihan dan persengketan dalan keluarga di Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, tidak pernah mengabaikan yang namanya perikemanusiaan, hingga adat asli tidak terpengaruh oleh alam kebendaan (materi), namun keresahan pengarang di ungkapkan dengan menjelaskan masalah perebutan harta pusaka dalam keluarga, direalisasikan dengan sikap materialistis tokoh Nyonya yang tak mampu menjaga nama baiknya, mudah tergiur dengan tawaran Tuan sampai menjual harga diri dan kehormatannnya sebagai perempuan. Hingga menjual satu per satu persegi tanah pekarangan rumah dan isinya untuk kepentingan materinya. Dampak terhadap keluarga Nyonya akibat penjualan harta pusaka tersebut adalah terjadinya perselisihan dengan kemenakan (keponakan) yang merasa bahwa harta pusaka tersebut adalah haknya atau sama halnya bersikap materialistis.
Harta pusaka dalam adat Minangkabau tidak boleh dijual kecuali dengan beberapa alasan. Akan tetapi, naskah drama ini tergambar jelas bahwa terjadi penyimpangan adat dan agama. Perilaku materialistis dari Nyonya dan keponakannya merupakan sebuah ganda bayangan seperti apa yang terjadi masyarakat saat ini. Banyak cara dilakukan baik itu menjual harga diri, membunuh, korupsi hanya semata-mata hanya untuk mendapatkan uang demi kepentingan pribadinya. Tanpa disadari bahwa telah menurunkan nilai moral yang ada dalam dirinya dengan merendahkan kehormatan dan harga diri terutama dari kalangan wanita. Dari segi ekonomi, sikap tersebut timbul akibat persaingan pekerjaan yang ada sehingga memicu pemikiran-pemikiran negatif untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat tanpa harus bekerja keras. Sikap tersebut cenderung lebih banyak kepada masyarakat dari kalangan elit, seperti pengusaha, pejabat, aparat negara yang merasa bahwa hidupnya masih kurang dan ingin mendapatkan yang lebih lagi. Dari segi agama, hal tersebut bisa terjadi karena lemahnya iman sehingga mudah tergiur dalam suatu keadaan atau kondisi. Dalam hal ini tentu, adanya anggapan bahwa etika/adab kurang penting. Dari segi budaya, dapat dilihat dari melarang bersifat materi di dalam masyarakat terutama harta pusaka.
Naskah drama “Nurani” karya Wisran Hadi kembali mengulik masalah budaya yang terjadi di masyarakat yaitu kesetaraan gender. Persoalan yang di gambaran adalah menyangkut kodrat dan fitrah wanita. Melalui tokoh nurani sebagai simbol dari hati/ batin manusia. Dalam hal ini, tokoh nurani diberikan nyawa sebagain tokoh yang hidup, dengan tugas untuk menjaga kehormatan, harkat dan martabat perempuan, namun menjadi senjata bagi nurani dan mengakibatkan ia terbunuh dalam peristiwa pemberontakan wanita, sehingga menyebabkan ia bersikeras untuk melawan kodratnya sebagai wanita. Bahwa wanita tidak akan bisa menggantikan posisi dan kedudukan laki-laki dan mempertanyakan kedudukan, hak, dan kewajibanwanita. Naskah drama “Nurani” dapat dianalisis dengan teori feminisme untuk menemukan masalah-masalah budaya. Teori feminisme adalah sebuah ideologi yang memberdayakan perempuan. Pencetus teori ini adalah pahlawan perempuan nasional yaitu R.A Kartini.
Dalam teori mengacu pada kesetaraan laki- laki dan perempuan untuk mengakses dari berbagai bidang, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan, posisi, kedudukan. Bukan untuk menuntut yang sama, melainkan agar tidak terjadi ketimpangan gender. Supaya kekeliruan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, kasur, sumur, dapur, bahwa perempuan selalu menagis, tidak bisa bekerja itu tidak ada lagi. Masalah budaya ini ketidaksetaraan gender dalam naskah ini muncul karena adanya anggapan-anggapan tentang perempuan sepertinyang disebutka diatas. Dalam naskah drama “Nurani” karya Wisran Hadi ini melalui tokoh nurani adalah sebuah bayangan bahwa ia adalah seseorang yang ingin memperjuangkan hak perempuan sehinggaia sendiri menjadi korban dan menyebabkan ia melakukan penolakan akan hakikat dan fitrahnya sebagai perempuan. Selain itu, untuk melengkapi pernyataan adanya tuntunan kesetaraan gender dalam naskah ini, terdapat tiga elemen sebagai simbolnya berlawanan, diantaranya yaitu adat, ilmu, dan agama. Adat dan agama adalah dua hal yang sulit dan atau/ bahkan hamper tidak seiringan sehingg terkadang dapat menimbulkan sebuah perselisihan dan perdebatan.
Selain itu, dalam naskah ini memiliki elemen budaya Minangkabau yang diamati bahwa perempuan di Minangkabau harus memiliki peran ganda, baik sebagai ibu rumah tangga maupun bekerja setara dengan laki-laki. Hal tersebut muncul akibat adanya pergeseran nilai budaya dan pola pikir beriringan dengan kemajuan zaman, rasa bangga yang semakin memudar dan perlahan-lahan hilang. Dari tindakan antar tokoh dengan berbagi konflik pertengkaran akibat perebutan kedudukan bahwa posisi suami antar tokoh dapat digantikan oleh istrinya. Jika laki- laki bisa menduduki kedudukan tersebut, maka perempuan juga layak untuk mendapatkan posisi tersebut.
Naskah drama “Malam Jahanam” karya Moutinggo Bousye yang dipentaskan pada Sabtu, 6 Juli 2024 yang mengangkat kembali masalah budaya yang mengakibatkan pergeseran sistem nilai/tata nilai moral, sikap mental, pola pikir, dan tingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak memuaskan secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia disebut dengan makhluk berbudaya. Mengapa? Karena seseorang yang memiliki etika/adab/ harga diri yang harus dijunjung tinggi. Karena nilai tersebut sangat memengaruhi pada karakter dalam diri seseorang, tetapi juga berimbas kepada orang lain. Seseorang bisa dikatakan berbudaya ketika ia memiliki rasa malu dalam dirinya, harga diri, kepedulia sosial, serta mampu memegang teguh prinsip baik dalam hidupnya.
Dalam naskah drama “Malam Jahanam” karya Moutinggo Bousye ini penggambaran nilai budaya untuk menemukan titik dari masalah budaya ada pada took sentral cerita yaitu Mat Kontan. Oleh sebab itu, masalah budaya dalam naskah drama ini dapat dianalisis dengan pendekatan intrinsik yang berkaitan dengan metode analisis faktor internal (dalam) dari cerita salah satunya adalah penokohan. Bayangan tindakan antar tokoh Solaiman dan Mat Kontan yang mempertegas untuk tidak mencampuri urusan orang lain dan fokus pada urusan masing-masing. Selain itu, dalam naskah ini juga secraa komplek menjelaskan masalah budayanya yaitu semakin memudarnya nilai budaya yang terdapat pada diri seseorang seperti hialngnya harga diri seorang perempuan dari tokoh Paijah yang berselingkuh dengan Sulaiman. Berbeda dengan Sulaiman dan Mat Kontan yang mempertahankan harga dirinya sebagai sesama laki-laki dengan cara mengakui kesalahan yang telah dilakukan. Konteks masalah budaya dalam naskah ini dapat dihubungkan dengan etika dan adat sebagai proses krisis-krisis kemasyarakatan.
Terakhir, masalah budaya yang akan dikulik dalam naskah drama “Roh” karya Wisran Hadi dengan acuan pada nilai religi. Bersinggungan dengan masalah agama, tokoh ibu suri berperan sebagai orang yang beragama, yang memercayai ajaran guru agamanya. Tetapi ia terpaksa meminta bantuan kepada Manda, namun tidak sesuai dengan eskpetasi. Arwah yang dating bukanlah arwah Suri melainkan arwah yang lain. Kepercayaan akan hal tersebut pada zaman dahulu sudah lumrah. Karena itu, probelamtika budaya ini disebabkan oleh pengaruh sistem kepercayaan animisme tersebut.
Namun, kental dengan budaya animisme yaitu suatu kepercayaan terhadap arwah/ makhluk halus bisa menyembuhkan atau mendatangkan sesuatu. Tampak bahwa tokoh ibu suri mendatangi tokoh Manda yang merupakan perantara untuk menghadirkan Suri dan memanggil arwah/ roh-roh untuk mengobati Suri. Salah satu solusi dari kesembuhan Suri dalam naskah drama ini adalah dengan cara merantau. Secara tidak langsung, naskah drama ini kembali mengungkit masalah kebudayaan yang berkenaan dengan tradisi adat budaya Minangkabau yaitu kewajiban merantau bagi kaum laki-laki dewasa. Orang Minangkabau dikenal dengan kemampuan berdagang dan jual beli. Karena itu, dalam naskah drama ini kompleks membahas mengenai budaya. Berkaitan juga dengan sosial kemasyarakatan budaya dan adat istiadat Minangkabau yang menjadi merantau. Penampilan dari pertunjukan teater merupakan garapan naskah drama dari pengarang yang sebagai bentuk cerminan bagi masyarakatnya. Drama merupakan salah satu genre dari karya sastra yang bersifat nimesis (cerminan) kehidupan yang terjadi di masyarakatnya. Karya sastra tidak jauh-jauh dari yang namanya budaya. Dari penampilan taater ditemukan masalah-masalah sosial budaya yang merupakan keresahan dari penulis terhadapa apa yang terjadi masyarakat. Terdapat 4 naskah dari 3 malam menyaksikan penampilan tersbut diantaranya, 3 naskah drama karya Wisran Hadi berjudul “Nyonya-Nyonya”, “Nurani” dan “Roh” yang sama-sama mengangkat masalah budaya yang identic dengan kebudayaan Minangkabau sesuai dengan latar belakang pengarangnya. Kemudian, naskah dari Iwan Simatupang yang berjudul “Malam Jahanam”. Dari pertunjukan teater tersebut penonton dapat memahami pesan-pesan, nilai-nilai di dalamnya walaupun bersifat asbtrak.
Referensi
M. Ismail Nst, dkk. 2012. Materialistis Naskah Dalam Naskah Drama Nyonya- Nyonya Karya Wisran Hadi: Kajian Sosiologi Sastra.
Muhaemin Muhammad, dkk. 2022. Nilai Budaya Pesisir Pertunjukan Malam Jahanam Moutinggo Boesye Adaptasi Budaya Makassar. Vol 1. No 3.
Nurhidayati, Risanti, Vira Fesya Razan. 2023. Representasi Nilai Kebudayaa Minang Dalam Naskha Drama Roh Karya Wisran Hadi. Vol 1. No 2.

Maryatul Kuptiah, lahir di Riau pada 13 Desember 2004. Sekarang sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Hobi menulis puisi, puisi dan cerpen. Bergiat di UKM Labor Penulisan Kreatif, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Instagram: @xo.iaa
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post