
TEORI TENTANG JODOH (YANG TERTUNDA)
Cicilia Oday
IDRUS SADAR dirinya sudah cukup uzur untuk berhalusinasi. Namun siapa bilang hanya anak-anak yang boleh berhalusinasi? Meskipun begitu ia yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika ia mendengar serangakaian aktivitas di loteng rumahnya. Jika selama ini loteng rumah hanya dihuni oleh kucing liar, cicak, ngengat, rayap hingga tikus-tikus yang kemampuan memanjatnya dapat mengintimidasi para kucing, barangkali tidak demikian dengan loteng rumah Idrus. Suatu kali ia mendengar dentuman berulang seperti seseorang sedang mengetukkan palu di tembok. Kali berikut ia mendengar suara mirip kucuran air keran, denting sendok beradu dengan piring, derit kursi saat menggesek ubin. Namun tiada yang paling sering didengarnya melebihi suara langkah-langkah kaki berpantofel dan berhak tinggi. Seolah ada yang sedang menempati loteng rumahnya. Semua ini membuat Idrus bingung alih-alih ketakutan.
Ia pernah melihat loteng rumahnya. Tempat ayahnya biasa menyimpan perkakas dan kaleng-kaleng bekas cat untuk menadahi rembesan air hujan. Kini ayahnya telah tiada tapi perkakas dan barang-barang rongsokan itu masih bermukim di sana. Selebihnya hanya terdapat jalur instalasi listrik, sarang laba-laba, tai kucing, lapisan debu yang tebal, sarang burung, nyamuk, kegelapan yang menyesakkan. Jelas bukan tempat yang layak ditinggali oleh seorang penyusup sekalipun. Katakanlah di sana terdapat palu, paku dan perangkat makan yang sudah karatan dalam kotak perkakas; namun jelas sekali di sana tak ada tembok, lantai ubin, kursi apalagi keran air.
Suatu malam ketika Idrus baru saja meluruskan tubuh di tempat tidur, terdengar suara dengkuran dari atas loteng. Idrus bergeming menyimak suara itu seolah khawatir jika siapa pun yang berada di loteng rumahnya dapat mendengar derit ranjang saat ia bergerak—seolah ialah penyusup, dan bukan sebaliknya. Lama sekali sampai akhirnya Idrus bisa tertidur. Keesokan hari ia meminjam tangga lipat tetangga. Dibantu si tetangga yang bersedia memegangi pijakan tangga, Idrus mengangkat lempengan triplek yang menutupi celah persegi, satu-satunya akses ke loteng. Setengah tubuhnya menghilang ke balik loteng dan ia menyorotkan senter ke sekeliling. Keraguannya terbukti; tidak ada apa-apa atau siapa-siapa pun di sana. Akhirnya ia bercerita tentang keanehan yang didengarnya dari loteng itu pada si tetangga. Tetangganya yang berhasil diyakinkan bahwa Idrus tidak sedang berhalusinasi, lantas membuat kesimpulan tentang hantu penunggu loteng.
“Mungkinkah hantu sampai bisa berminggu-minggu?” kata Idrus ragu-ragu, mengelus-elus dagu seperti seorang detektif atau seseorang yang terbiasa berpikir sambil mengelus dagu. “Dan kenapa baru sekarang? Bukankah tidak ada orang yang pernah mati di loteng rumahku?”
“Bisa saja itu anggota keluargamu yang tidak ingin kamu terganggu secara langsung, makanya memilih gentayangan di loteng,” tetangganya berteori, lantas menambahkan, “Bukankah semasa hidup bapakmu juga suka mengetukkan palu ke tembok?”
“Beliau meninggal lima belas tahun lalu. Bukankah seharusnya sekarang arwahnya sudah betah di surga atau sedang dipersiapkan untuk lahir kembali?”
Kebetulan si tetangga tidak mempercayai surga apalagi reinkarnasi. Ia tetap yakin penyebab suara-suara misterius di loteng Idrus adalah arwah ayahnya sendiri. Penasaran, si tetangga lantas menawarkan diri untuk menemani Idrus malam itu. “Sekalian mau membuktikan apakah benar kamu tidak sedang berhalusinasi, hihi.”
Belum lima menit sejak ucapan ini, mereka dikagetkan oleh suara hentakan kaki dari loteng. Idrus dan tetangganya saling berpandangan. Tetangganya tampak panik sedangkan Idrus hanya menghela napas sambil memutar bola mata seolah berkata: sudah kubilang, kan?
Tetangganya tidak lagi berani ditinggal sendirian. Ia terus membuntuti Idrus ke mana pun bahkan ketika lelaki itu masuk ke kamar kecil untuk buang hajat. ia bisa mati berdiri mendengar suara aneh dari loteng bila ia sendirian. Akhirnya Idrus menyalakan TV untuk membuat tetangganya rileks. Saat itulah terdengar suara seseorang berdeham dari loteng.
Punggung tetangganya langsung tegak. “Kamu dengar?” bisiknya. Idrus mengangkat remote, mengecilkan volume TV. Namun suara dehaman tadi tidak berulang. “Kamu yakin suara itu dari loteng, bukan dari rumah sebelah?”
Idrus menggeleng. “Suara tetangga tidak kedengaran sampai sini.”
“Ya. Tepat di atas kita,” bisik si tetangga lagi tanpa berani menoleh ke atas. Meskipun begitu, saban kali mereka memberanikan diri mendongak, yang tampak hanyalah sebidang langit-langit biasa. “Ternyata benar kamu tidak sedang berhalusinasi. Kamu masih yakin pelakunya bukan hantu?”
Idrus menggigit bibir sambil berpikir. “Dan kamu masih yakin itu arwah bapakku?”
Selama beberapa saat keduanya berpandangan seolah sedang mendiskusikan sesuatu tanpa suara. Akhirnya tetangganya menggeleng. Keduanya menggeleng. Sebab mereka sama-sama mendengar cukup jelas suara dehaman tadi adalah suara perempuan.
***
DONATELLA YAKIN ada yang salah dengan kepalanya. Ia pasti membayangkan seseorang tinggal di ruang bawah tanah di rumahnya. Namun semakin hari suara-suara yang terdengar dari bawah tanah terdengar semakin jelas, membuatnya meragukan bahwa itu hanya khayalan. Meskipun begitu, tak berani ia bertanya pada suami dan para asisten rumah tangga, apakah mereka juga mendengar suara-suara dari bawah tanah; jawabannya pasti tidak, sebab jika ya, bagaimana mungkin mereka bersikap tenang-tenang saja dan tak pernah mengomongkan masalah itu?
Alasan selama ini ia tak mempermasalahkan apa yang didengarnya adalah karena suara-suara itu pada dasarnya tidak mengganggu. Di malam hari ia mendengar derit tempat tidur dari bawah lantai kamar ketika ia juga baru saja membaringkan tubuh di ranjang pegas bergaya victoria. Semakin larut, ia mendengar dengkuran misterius—sebelum suara itu tersamar oleh dengkuran suaminya sendiri. Ketika ia berdiri di bawah shower, dari bawah lantai juga terdengar suara guyuran air. Ia tidak berpikir bahwa suara-suara itu atau siapa pun yang berada di bawah sana, sedang mengimitasi aktivitasnya; sebab tak jarang saat ia tidak melakukan apa-apa atau sekadar berkutat membaca, ia akan mendengar suara benda terjatuh atau digeser atau digeret, membuatnya merasa ada yang sedang menjatuhkan kaleng, menggeser tangga lipat atau menggeret korek api selagi ia membaca di atas sini. Donatella mencubit dan menampar pipinya saban kali suara-suara itu terdengar, demi mengetes kesadaran dan kewarasannya sendiri. Kulitnya yang mulus terawat jadi merah dan perih tapi suara-suara dari bawah lantai tetap berlangsung.
Suatu kali ia membungkuk dan mengetuk permukaan lantai yang dingin dan keras. Suara ketukannya hanya terdengar di permukaan, tidak memantul ke bawah seperti yang ia harapkan. Siapa pun yang berada di bawah sana tak akan bisa mendengar suara ketukan itu. Namun segenap akal sehatnya menolak bahwa ada sesuatu atau seseorang di bawah sana. Rumah itu tak memiliki ruang bawah tanah seperti rumah-rumah kelas atas lainnya. Seluruh penghuni rumah hanya menempati ruang-ruang yang mereka bagi bersama di rumah induk.
“Sayang, apa yang kau lakukan di situ?” suara Robert mengagetkannya sehingga ia buru-buru menegakkan punggung. Jika ia bercerita tentang suara-suara itu, suaminya pasti akan menertawainya dan menyalahkan waktu senggangnya yang tidak produktif.
“Oh, aku enggak tahu kamu sudah pulang,” Donatella berusaha terdengar santai tapi suaranya menyiratkan kegugupan dan rasa kaget. “Bagaimana kampus?”
“Melelahkan. Hari ini mengajar sembilan jam dan membaca sepuluh esai mahasiswa pasca sarjana.”
Robert di mengajar jurusan Sejarah sebuah universitas ternama. Sejak berusia tiga puluh enam, ia telah menyabet gelar profesor. Kini suaminya menginjak usia paruh baya sedangkan Donatella sendiri baru berusia tiga puluh delapan. “Pat sudah menggantung pigura artikel terbaruku?” Pat si tukang kebun telah mengetuk tembok ruang belajar suaminya sekurangnya lima kali dalam minggu itu. Robert terobsesi pada karya-karya tulisnya sendiri. Setiap kali ada yang terbit di koran atau majalah, artikel itu akan segera dibingkai dan digantung di ruang belajarnya. Bertahun-tahun menulis di media membuat tembok ruang belajarnya mulai terlihat seperti ruang pameran yang hampir penuh. Itu belum termasuk tulisan-tulisannya yang terbit di media daring.
Saat makan malam, Donatella tak dapat mengenyahkan pikiran tentang suara-suara dari bawah lantai. Baru sore tadi ia mendengar ada yang batuk dan bersin, suara daun pintu dibanting, disusul suara-suara seperti berasal dari saluran televisi dalam bahasa yang belum pernah ia dengar, hingga ia berdeham begitu keras untuk membuyarkan suara-suara itu. Robert menyentuh punggung tangannya dan tersenyum saat Donatella menoleh dan mengerjap dengan kaget.
“Bagaimana kalau mulai bulan depan kamu mengajar di sekolah menengah?”
Donatella mengangkat kedua alis. Lalu ia menggeleng.
“Ayolah. Sudah terlalu lama kamu berdiam diri saja di rumah. Siapa bilang tidak ada aktivitas adalah cara mengatasi dukamu?”
Donatella menatap sang suami dengan pandangan menusuk, “Memangnya kamu tidak berduka? Ini dukaku seorang?”
“Aku juga berduka, tapi hidup harus berlanjut. Aku punya tanggung jawab di kampus dan aku harus mencari uang untuk kita.”
“Bekerja untuk kita?” Donatella mencengkeram sarbet di sisi piringnya. “Kamu selalu membuatnya terdengar seolah aku anak di bawah umur yang perlu dinafkahi. Aku punya uang siampanan dari warisan dan pekerjaan lamaku. Mulai sekarang kamu boleh hanya bekerja untuk dirimu sendiri.”
Robert mengangkat sarbet dan mengusap bibir. “Kenapa kamu harus membuatnya jadi rumit begini?”
Donatella meneguk air dalam gelas dan beranjak meninggalkan meja makan. Ayam panggang lada hitam, buncis, wortel, dan kacang merah di atas piringnya belum berkurang. Di tempat tidur, ia merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari sudut mata. Ia tak berani menghitung berapa lama waktu telah berlalu sejak Luke pergi dari hidup mereka. Ia tidak peduli sudah berapa lama ia berdiam diri saja di rumah, tak ingin melanjutkan hidupnya lagi. Tak ada waktu yang terlalu lama untuk berduka; tidak bagi seorang ibu yang ditinggal mati anak satu-satunya. Sebelum dinikahi Robert, Donatella hanya memiliki Luka. Luke adalah dunianya; ia adalah dunia sang anak. Karena itu tidak berlebihan menganggap separuh jiwanya telah terkubur bersama jasad Luke pada hari anak itu dimakamkan. Segalanya tak akan pernah sama lagi. Itulah yang tak dipahami suaminya.
Di sisi lain, ia tahu Robert menginginkan yang terbaik untuk dirinya. Sebab bagaimana jika suara-suara yang didengarnya dari bawah lantai ada hubungan dengan rasa kehilangan yang tengah ia alami? Bagaimana jika depresi membuatnya mulai mendengar suara-suara yang sesungguhnya tak ada? Namun ia tak percaya suara-suara itu adalah arwah Luke. Pertama, meskipun suara bantuk dan dengkuran yang kerap terdengar adalah suara laki-laki, suara itu sangat berbeda dari suara Luke. Kedua, ia tidak percaya hantu.
Malam itu di tempat tidur, ragu-ragu Donatella membalikkan badan menghadap Robert yang mulai mendengkur. “Hei,” bisiknya, membuat pelupuk mata lelaki itu berkedut, sebelum membuka dengan enggan. “Kamu yakin di rumah ini tak ada ruang bawah tanah? Bagaimana kalau ternyata di bawah sana … ada penyusup?”
Robert tidak langsung memahami ucapan istrinya. “Ya, Baby?”
Donatella menimbang-nimbang cara untuk mengungkapkan situasi itu kepada suaminya, tapi setelah sekian detik, ia memutuskan menundanya sampai besok hari.
***
KENYATAAN SUARA yang kerap didengarnya dari loteng adalah suara perempuan membuat Idrus semakin penasaran. Ia penasaran apakah si pemilik suara adalah makhluk hidup dengan fisik yang kasat mata seperti dirinya atau hanya arwah yang tak ingin membiarkan Idrus hidup tenang. Apakah ia juga memiliki nama? Kenapa ia ada di loteng rumah Idrus, melakukan segenap aktivitas yang mengisyaratkan kehidupan sehari-hari? Atas saran tetangga yang pernah meminjaminya tangga lipat, Idrus memanggil orang pintar untuk ‘melihat’ apa yang sebenarnya terjadi di balik langit-langit rumahnya itu.
“Benar. Ada perempuan … tapi bukan hantu… ” kata si orang pintar setelah bertapa selama nyaris satu jam di loteng Idrus. “ … yang sepertinya prihatin kamu sudah membujang begitu lama.”
Idrus tak bisa mempercayai telinganya sendiri. Tapi sedikit banyak inilah alasan ia memanggil orang pintar itu: seandainya suara yang didengarnya dari atas sana hanya suara laki-laki, bodoh amat, ia tidak mau tahu. Hanya karena belakangan ia mendengar suara perempuan, rasa ingin tahunya pun tergugah. Siapa sangka orang pintar itu memberikan jawaban seperti yang diam-diam Idrus harapkan.
“Baiklah,” kata si orang pintar setelah menghela napas, “saya akan menyiramkan air mantra biar suara-suara itu enggak kedengaran lagi.”
Idrus buru-buru menggeleng. “Aku enggak keberatan mendengar suara perempuan itu.”
Rasa penasaran Idrus kian menjadi. Malam demi malam ketika ia sulit tertidur, ia lewatkan dengan menatap langit-langit kamar, bergumam, Siapakah dirimu? Apakah kamu jodohku yang masih tertunda? Tentu saja tak ada jawaban dari atas sana. Tapi Idrus tak hendak menyerah. Aku yakin kamu jodohku. Aku yakin pada suatu masa, kita ditakdirkan bertemu. Jika bukan karena kamu jodohku, kenapa kamu prihatin aku masih membujang? Kenapa kamu peduli?
Ia mulai sibuk mereka-reka wajah si pemilik suara. Wajahnya adalah perpaduan Cornelia Agatha dan Maudy Koesnaedy—sebab ia sendiri sering disebut mirip Rano Karno. Idrus tak sabar menunggu masa depan ketika akhirnya ia dan jodohnya bersua. Tetapi kapan tepatnya masa depan itu? Apa tolak ukurnya? Berapa lamakah suatu jarak waktu merentang hingga pantas disebut masa depan? Apakah lima tahun, satu dasawarsa, satu dekade? Idrus rela menunggu satu abad sekalipun.
Ia terus mengingat ucapan si orang pintar sebelum meninggalkan rumahnya. “Coba deh kamu keluar, cari pekerjaan sungguhan, perbaiki diri, maka kujamin suatu hari perempuan itu akan nongol di depan hidungmu—bukan cuma suaranya doang—dan siap menjadi istrimu.”
Maka Idrus keluar ke halaman, tapi ia bingung seperti apa pekerjaan sungguhan itu, dan kenapa pula ia harus memperbaiki diri?—apakah ia seperti barang rusak yang harus diperbaiki? Bagaimanapun, ia seorang pria di usia empat puluhan, menempati rumah peninggalan orangtua, bisa masak, rajin beternak bebek, rajin ke kebun, maka seharusnya seorang istri datang begitu saja, seperti tukang sol sepatu yang tak pernah dinanti tapi tahu-tahu lewat depan rumah, demikian teori Idrus tentang jodoh.
***
DERU MESIN jack hammer menggema hingga ruas jalan. Kaca-kaca jendela dan daun-daun pintu ikut bergetar. Seluruh jengkal ubin di ruangan depan telah hancur lebur oleh tuas besi bergerigi yang lancip dan tiada ampun. Pat si tukang kebun beralih ke ruangan berikutnya. Atas saran Donatella, lantai kamar utama juga tak boleh luput dari penghancuran sebab di sanalah ia paling sering mendengar suara misterius setiap malam.
“Sayang, kamu yakin lantai parket di dapur juga harus diangkat?” Robert bertanya. Keduanya mematut diri di tengah halaman di antara perabotan-perabotan yang diungsikan. Sesekali mereka harus mengangguk dan melambai pada tetangga yang penasaran.
“Yakin seyakin yakinnya,” Donatella mengangguk dengan kedua mata terpejam.
“Tapi lantai itu baru dipasang akhir tahun lalu.”
Donatella membuka mata dan menatap suaminya dengan tegas. “Aku paling sering mendengar suara daun pintu dan televisi entah punya siapa di bawah lantai parket itu.”
Robert mengangkat satu tangan dan memijat pelipisnya, menolak berdebat lebih jauh. Sedikit banyak ia mengkhawatirkan bila perdebatan itu terdengar oleh para tetangga. Mereka akan menuduh istrinya sakit jiwa. Beruntung Donatella hanya mendengar suara-suara dari bawah lantai. Seandainya suara-suara itu terdengar dari dalam tembok, maka mereka juga terpaksa mesti merobohkan seluruh tembok rumah. Istrinya akan merasa puas setelah terbukti tidak ada apa-apa dan siapa-siapa di balik ubin keramik itu selain semen dan batu-batu. Lalu ia akan segera menyesali permintaannya yang gegabah dan memaki jack hammer—dan barangkali juga Pat si tukang kebun—yang tak punya perasaan. Atau ia tidak akan merasakan apapun. Robert berdoa semoga istrinya tidak meminta seseorang menggali seluruh lantai untuk melihat apa yang ada di dalam tanah.
Biodata Singkat Penulis
Cicilia Oday, lahir dan berasal dari Kotamobagu, Sulawesi Utara. Menulis cerpen di media sejak 2010. Telah menerbitkan dua novel yakni Keluarga Lego (Penerbit Kakatua, 2021) dan Duri dan Kutuk (Gramedia, 2024).
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post