
Di dalam gedung Long See Tong yang menghadap langsung jalanan utama Kampung Pondok dengan ditemani Gambang yang terus dibunyikan dan suara merdu seorang gadis muda menyenandungkan lagu Kampuang nan Jauah di Mato, saya menunggu Albert (45), Ketua Gambang Long See Tong, tiba sesuai janji pertemuan selaiknya murid Budha menunggu kelas dimulai.
Sejujurnya sejak masih kanak-kanak saya bukanlah murid yang patuh. Saya bosan terlalu lama menunggu. Apalagi di hari itu (11/02/2023), ada kumpul tahunan suku Lee dan Kwee yang pulang dari perantauan sehabis Imlek. Tapi karena ini pertemuan pertama saya berusaha setabah mungkin menikmati ketukan Gambang, nyanyian seorang gadis muda, lansia-lansia bersesakan saling bertukar kenangan.
Sejak duduk di sudut ruangan Long See Tong yang besar, selama itu pula saya heran setengah mati. Sebab tidak ada satu pun di antara peranakan ini yang berbicara bahasa tanah moyang mereka atau paling tidak berbahasa Indonesia baik dan benar sesuai KBBI. Dari anak-anak sampai lansia kira-kira berumur 60-an mereka semua berbahasa sebagaimana kita: Minangkabau atau serendah-rendahnya iman kebudayaan, mereka berbicara beberapa kosakata Minang yang dipaksakan Indonesia.

Sebagai perkumpulan suku terbesar di Kota Padang dan suku pewaris musik Gambang mulanya tujuan saya mendatangi Long See Tong hanyalah untuk menggali sejarah Gambang di Kota Padang. Tapi momen itu membuka mata saya, sehingga saya putuskan ketika bertemu Albert nanti, saya akan menggali bahasa yang mereka gunakan sehari-hari saja.
Sebelum Albert tiba, untuk menambah keyakinan saya bahwa orang Cina Pondok benar-benar menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa sehari-hari, saya memutuskan untuk bertanya pada Fania (19) lewat WhatsApp, seorang mahasiswi Universitas Andalas bermarga Kwee. Fania menyebut bahwa memang begitu adanya. Di dalam lingkungan keluarganya, ia pun menggunakan bahasa Minang, hanya di kampus ia berbahasa Indonesia.
Saya juga menelvon Tjoa Sin Hui (31), seorang kenalan sekaligus Kepala Keluarga Tjoa untuk memverifikasi hal tersebut, ia menyebut bahwa keruntuhan Orde Lama dan munculnya Soeharto menjadi penyebab orang Cina Padang meninggalkan bahasa moyang mereka sebagai bahasa sehari-hari.
“Periode penggunaan bahasa Minang sebagai bahasa keseharian dimulai sejak jatuhnya orde lama. Sejak itu bahasa moyang mulai tidak lagi kami pakai sebagai bahasa sehari-hari antar keluarga, diganti bahasa Minang.” Ujarnya.
Dari kejauhan saya melihat Albert tergopoh menaiki beberapa anak tangga dan ketika melihat saya duduk seorang diri di sudut ruangan, ia lambaikan tangan, entah sebagai permintaan maaf karena terlambat datang atau hanya sapaan. Saya tidak terlalu memikirkannya, lagi pula ada sesuatu hal penting yang saya butuhkan darinya: Sejarah Bahasa Orang Pondok.
Albert menghampiri saya dengan membawa sebuah jeruk berukuran agak besar berwarna orange, katanya sebagai permintaan maaf. Dengan segan tanggung khas orang Minang saya terima jeruk itu.
Ketika saya bertanya tentang bahasa komunitas Cina Pondok padanya, ia agak tergagap untuk menjawab. Albert menyebut ia tidak terlalu tahu soal sejak kapan orang Cina Pondok menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa sehari-hari. Sejauh ingatannya sejak kakeknya masih hidup, mereka telah menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa keseharian.
Saya bisa mengerti karena apa ia agak tergagap, memang sejak pertama kali saya menghubunginya dan meminta waktu untuk bersua, kami berencana akan mengobrol soal Gambang. Tapi ketika bertemu saya justru mencecarnya soal bahasa.
“Tapi jangan risau, saya punya seorang kenalan yang bisa menjawab pertanyaan sanak.” Ucapnya.
Dengan keramahan ia membawa saya ke tempat duduk seorang tua. Sesampainya di sana saya menjabat tangan orang tua itu dan mengenalkan nama. Ia pun menyebut namanya, Lie Eng Hin (64). Albert membantu saya untuk membuka percapakan dengan Lie Eng Hin tentang niat saya mewawancarainya soal bahasa orang Pondok sebelum berlalu pergi mengatur para pemain Gambang dari keluarga Lee-Kwee bermain.
Lie Eng Hin menceritakan pada saya bahwa sejak dahulu komunitas Cina Pondok memang berbahasa Minang dalam keseharian. Mereka sama sekali tidak mengerti bahasa moyang mereka dari daratan Tiongkok sana.
“Coba kamu lihat papan yang tergantung di sana. Ada kosakata Cina kan? Kami memesannya dari Batam, kata mereka itu merupakan kalimat bijak Konghucu. Papan itu sudah sepuluh tahun terpajang di Long See Tong tapi di antara kami semua tidak ada yang tahu artinya.”
Lie Eng Hin menyebut bahwa tradisi komunitas Cina Pondok sudah seperti saudara sepersusuan dengan orang Minangkabau. Bahwa sejauh apapun mereka merantau, bahasa Minang akan tetap menjadi bahasa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
“Adik saya sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya, tapi ketika ia marah pada anaknya, tetap saja menggunakan bahasa Minang. Bahkan ada seorang pengusaha besar dari keluarga Lee yang telah menetap lama di Belanda, tapi ketika kami berkumpul lagi di Padang, carutnya masih bersih juga.” Katanya sambil tertawa terbahak dan menampilkan beberapa giginya yang mulai hilang.
Ketika saya tanya padanya, apakah ada upaya untuk belajar kembali bahasa moyang mereka, Lie Eng Hin menjawab bahwa upaya itu pernah dilakukan dahulu pada masa Gusdur tapi tidak banyak yang ikut berpartisipasi.
“Kami sudah keenakan berbahasa Minang. Apalagi saat menceramahi anak-anak kami.” Ucapnya sambil menambah tawa.
Sebagaimana bahasa Minang umumnya yang setiap nagari punya kosakata dan dialek beragam, Lie Eng Hin menyebut bahwa bahasa Minang Pondok juga punya dialek khas dan beberapa kosakata yang berbeda.
“Coba kamu dengar orang-orang ini berbicara, bukankah iramanya agak mirip film-film kungfu klasik? Sementara dari kosakata hanya beberapa saja yang berbeda selebihnya sama. Kosakata itupun masih bisa dimengerti oleh orang Minang kebanyakan.”
Bahasa orang Pondok adalah tali penghubung orang Cina dengan Minangkabau, ujar Lie Eng Hin, bahwa sejauh apapun tanah rantau ditempuh, ke sini juga badan dipulangkan.
“Kalau saya ibaratkan, hubungan kami dengan Minangkabau sudah seperti saudara sepersusuan yang saling terhubung satu sama lain lewat bahasa.” Tuturnya.
Saya pun menunjukan pada Lie Eng Hin bahwa Setara Institute menyebut bahwa Padang sebagai kota intoleran dan komunitas-komunitas Cina merasa terdiskriminasi. Lie Eng Hin menjawab dengan agak emosional bahwa para peneliti itu tidak tahu apa-apa.
“Orang-orang Jakarta yang kerjanya hanya meneropong dari biduk tidak akan tahu kebenaran kalau mereka belum ke sini. Karena suku kita sama-sama punya mental pedagang, kalau diibaratkan isu intoleran itu sebagai barang, ia pasti barang yang tidak akan orang Minang dan Cina Padang perjual-belikan” Tutup Lie Eng Hin.
- Telah Tayang! Single kedua Andip berjudul ‘Aku Paham Itulah Jarak’ - 23 April 2025
- KRITIK SENI PERTUNJUKAN RAPA’I DABOH OLEH Acara HUT Bhayangkara di Banda Aceh - 23 April 2025
- Gairah Literasi dan Dunia Baca Anak Muda | Muhammad Nasir - 20 April 2025
Discussion about this post