
Mozambik, sebuah negara yang terkenal dengan kawanan banteng liarnya. Gambar-gambar bergerak yang diambil dari udara, dulu kerap mewarnai televisi kita apabila berkenaan dengan negara ini. Ribuan banteng lari berserak ke segala arah, itulah ciri khas Mozambik. Di Sumbar, ternyata pemandangan serupa juga bisa ditemui. Dibalik perjalanan menempuh infrastruktur serba runyam, surga yang dihuni manusia dan ribuan kerbau, bangau, ketam hingga buaya itu bernama Maligi.
Muhammad Fadhli———- Pasaman Barat
Nama Mozambik tiba-tiba menyeletuk dari mulut Riki Putra Sinaro ketika kami sampai di Maligi, Kecamatan, Kabupaten Pasaman Barat. “Saya pernah ke Mozambik, ini persis seperti di sana. Ada ribuan kerbau serupa banteng tanpa tali, tanpa gembala. Bebas. Ini emas 24 karat,” kata tour designer yang mendirikan Authentic Sumatra ini ketika mobil kami berhenti di sebuah rawa lepas, tak berapa jauh dari pantai. Pernyataan Riki diamini anggota tim yang lain, termasuk kabid PDSE yang memimpin perjalanan kami, Tim Satuan Tenaga Konselor (SANAK) Pariwisata Provinsi SUmatra Barat.
Tour awal di Maligi, didampingi langsung Sekretaris Nagari Hendrizal. Di sepanjang jalan pemandangan yang tersuguh adalah deretan semak rawa pada kiri-kanan jalan. Sesekali tampak pula pohon-pohon besar menjulang, entah jenis apa. Yang jelas, wewarna serba hijau adalah ciri khas yang membuat lena. Membuat lupa kalau lobang-lobang berkedalaman selutut orang dewasa siap menganga dimana-mana. “Kami adalah nagari persiapan pemekaran. Masih banyak yang harus dibenahi. Tapi insyaallah, kami yakin Maligi bisa bangkit,” ucap Seknag ketika kami menikmati istirahat pada setengah perjalanan dari jalur aspal terakhir.
Sampai di pusat pemukiman warga, Maligi dapat saya gambarkan serupa betul dengan perkampungan lama. Masih banyak rumah-rumah dengan lantai yang ditinggikan (rumah panggung), barangkali untuk menghindari luapan air bila rawa di sebelah kampung itu banjir. Tapi bukan itu saja yang menarik. Kebiasaan masyarakat di sepanjang pinggir perairan patut disimak pengunjung kiranya. Otak pariwisata Adi Kurniawan, Yahdi Muhammad, dan tentu saja Riki mulai ditarik ke berbagai bentuk pemandangan aktifitas penduduk. Penganyam pandan, pembuat jaring, pembuat perahu, sampai kaum ibu yang mengolah kerang sungguh “Seksi”!
Malam turun. Maligi ditangkupi gelap dari ujung ke ujung. Pemandangan matahari yang terbenam di penghabisan kaki langit barusan dituntun adzan magrib. Usai salat, kami langsung bertemu dengan para penggerak wisata Maligi. Mereka terdiri dari Kelompok Sadar Wisata, perangkat nagari, produsen kuliner dan Kelompok Tani Hutan. Tim SANAK mulai beraksi. Yahdi memotivasi dengan ceritanya soal perjuangannya membangun kembali kawasan Kapalo Banda, Taram, Kabupaten 50 Kota. Adi menjabar kerjasama antar stakeholder yang ia pelopori hingga Green Talao Park, Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman jadi destinasi seperti sekarang. Riki mengurai perjuangannya menemukan jati diri, sehingga mampu membangun Authentic Sumatra, Ricky’s beach House dan Yayasan Cenari Sungai Pinang. Saya sendiri bercerita soal Forum Batajau Seni Piaman, keluarga besar seniman muda Piaman yang berkeliling membuat iven dari nagari ke nagari. Juga tentang Wayoik, rumah kreatif yang semula bermain di wilayah clothing lalu berkembang ke wilayah branding.
Peserta terpana-pana. Cerita-cerita itu dalam pikiran mereka mungkin tidak sederhana untuk direplikasi. Tapi kami yakin, mereka bisa!
Maligi adalah target pertama dari 5 Desa Wisata dan 5 Pokdarwis yang menjadi lokus hingga akhir 2021. Sebelumnya, data tentang nagari pemekaran ini sudah kami rangkum pada pertemuan di Sungai Pinang. Jadi kedatangan kami untuk riset, merancang desain pariwisata, branding, hingga hospitality yang akan makan waktu 3 hari di Maligi diharapkan berjalan lancar. “Kami bersentuhan dengan tiap struktur organisasi, membagi apa yang kami tau dan pernah alami. Memicu daya fikir dan semangat penggerak lokal. Lalu bersama mencari solusi terhadap masalah-masalah yang ada,” ujar Adi.
Malam beranjut larut. Pertemuan telah selesai. Riki mulai merancang agenda. Yahdi masih berbincang dengan pemuda-pemuda yang tak mau melepasnya beristirahat. Sementara Adi lansung menyambangi kediaman para stakeholder. Sembari menunggu Ritno (anggota sanak ke 5 yang akan bergabung) sampai, saya mengajak Adon dan Abdul, dua penggerak untuk pergi memancing. Memancing? Ya, saya “curiga” potensi wisata memancing di Maligi sangat luar biasa. Kami naik perahu kecil dengan dayung sebagai penggerak utama. Sambil menunggu sambaran ikan, saya perdalam obrolan dengan Adon dan Abdul.
Kami bicara soal nasib kesenian di Maligi, hingga apa-apa saja pendukung yang mungkin tersedia untuk terwujudnya sebuah iven kesenian berbasis warga. Dapat! Maligi ternyata punya area pertunjukan, ritus rutin, dan tuo silek. Area pertunjukannya tidak main-main, sebuah pulau yang dinamai masyarakat dengan pulau Aru disediakan khusus untuk kegiatan publik seperti itu. Festival Warga! ya istilah itu saya ulik-ulik untuk dapat dicerna dengan baik oleh dua anak muda penuh semangat yang sekarang satu kapal dengan saya. Lalu secara sederhana, ditengah arus rawa, kami menentukan tema, hingga teknis kerja dalam mewujudkan sebuah Festival. Saya tidak peduli lagi bahwa arus membuat umpan saya tidak juga disentuh ikan.
Bicara soal Maligi, adalah bicara soal harmony. Tentang branding Maligi yang coba saya gali dari fikiran pemuda disana, adalah perwakilan dari harmoni itu sendiri. “Disini kerbaunya tidak ada yang dimakan buaya. Padahal buaya banyak disini, terlebih di bagian Nipah Sampik di ujung kampung,” kata Rion, penggerak Kelompok Tani Hutan yang konsen ke penanaman mangrove. Disinilah kata Harmony itu ibarat ruas bertemu buku. “Ketika mangrove dijaga oleh KTH, disaat itu rantai makanan dan sarang buaya juga terjaga. Maka buaya-buaya tidak akan mengganggu ternak warga. Ini dia harmoni alam itu,” sebut Ritno.
Masih banyak cerita hebat soal Maligi. Harapan kami hanya bagaimana agar negeri indah itu benar-benar bangkit menjadi salah satu destinasi wisata terbaik. Bahkan mungkin mengalihkan minat orang dari Mozambik. (Redaksi)
Discussion about this post