Langgai adalah sebuah kampung yang terletak di hulu Surantih, Kab. Pesisir Selatan. Masuk ke dalam pemerintahan Kecamatan Sutera, Kenagarian Gantiang Mudiak Utara. Asal mula pemberian nama kampung Langgai menurut tutur masyarakat setempat ialah berawal dari menerokanya orang-orang yang turun dari Aalam Surambi Sungai Pagu, sehingga mereka bermudk dan menemukan sebuah tempat yang sesuai untuk dijadikan kampung. Langgai dalam sejarahnya berarti “la inggan iko” dana dengan jalan yang sudah buntu—sudah sampai di sini tidak mungkin ditambah lagi lantaran hanya ditemukan bukit-bukit yang sangat tinggi. Begitulah masyarakat setempat mengakui asal mula kampung Langgai.
Seiring berembus angin selatan bertolak angin barat daya Pulau Sumatera, munuju hulu Nagari Surantiah. Nagari/Kampung Langgai dalam suatu kesatuan kenagarian Gantiang Mudiak, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Menyimpan mutiara kehidupan, jalan menuju khaliqnya Tuhan Robul Izzati. dalam lantunan desir air hulu Kampung Langgai, menghiliri labuahan-labuahan tapian Surau yang “Cipak Kacimpung” suatu anak nagari setiap pagi dan petang.
Muatiara itu yang bernama Syaikh Kiramat Langgai. Menurut suatu tutur “Warih Nan Bajawek Pusako Nan Batolong” oleh Angku Katik Khasir (Suku Malayu) dan Ayek Bujang Salamat (Suku Caniago). Syaikh Kiramat, atau lebih populer disebut Ayek Kiramat, dan juga sering disebut Ayek Daerah. Beliau seorang tokoh pujangga Islam. Yang masa-masa kecil beliau dihabiskan di Kampung Langgai Dusun Janang dalam didikkan seorang guru yang tersohor karomahnya di daerah “Ujuang Darek Kapalo Rantau Alam Minangkabau (Pasir Talang, Muaro Labuah)” dan daerah Kubuang Tigobaleh (Kabupaten Solok) yang dikenal dengan Gelar Syaikh Ibadat (Ayek Ibadat). Beliau Ayek Ibadat yang menerpa dari kecil hingga remaja, bimbingan ilmu Islam yang kuat.
Sepeninggal seorang ulama yang tersohor Karomahnya itu, beliau Ayek Kiramat berniat untuk menambah kelimuan dengan ulama di hulu Bayang. Terkenal dengan ulama-ulama sandi Alam Minangkabau yang dipimpin seorang Kalifah pada masa itu, yakni Syaikh Burhanudin Ulakan. Ulama pencetus jauh sebelum ABS-SBK (Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah) disuarakan. Dengan adagium “Cupak Gantang Minangkabu” beliau yang bernama Syaikh Bayang (Syaikh Buyuang Mudo) atau disebut juga Syaikh Puluik-puluik Bayang.
Ayek Kiramat datang ke Bayang melalui perjalanan menyisiri bukit-bukit Ulu Langgai, Ulu Batang Kapeh, berjalan kaki hingga sampai di hulu Bayang. Dikala itu. Bayang sedang dilanda banjir bandang, “aie gadang mangaricik darihnyo“. Tika itu. Ayek Kiramat sampai di tapian menuju rumah guru yang berada di seberang sungai. Bertemu seorang teman, yang hendak mau menyebrangi sungai juga, menuju rumah Syaikh Pulut-pulut. Pada saat itu dengan tekad kuat untuk menuntut ilmu kepada Syaikh Pulut-pulut, diseberangi air yang deras, dengan utaian kata “Bismillah” berserah diri pada Allah. Air yang deras menjadi keras dan beliau bisa menyebrangi bersama temannya. Berjalan di atas air, sama hal berjalan di atas tanah yang keras tiada membasahi baju ketika itu.
Saat teman yang beliau bawa untuk menyebrangi terheran, terpukau, memandang menatap wajah Syaikh Kiramat. Saat sampai di rumah Syaikh Pulut-pulut, beliau barsama teman beliau menaiki jenjang, “manapiak badua rumah” Syaikh Pulut-pulut. Syaikh Pulut-Pulut dengan senyum dan kewibawaan ulamanya menyambut dengan senang hati. Maka berkata Syaikh Pulut-Pulut. “Ado apo tujuan Tuan kamari? (ada apa tujuan Tuan ke sini?)” kata Syaikh Pulut-Pulut. Dijawab Syaikh Kiramat. “Ambo datang andak mangaji jo Tuangku. (saya datang hendak menganji dengan Tuangku.)”
Pada saat itu diterima Syaikh Kiramat menjadi murid dan belajar di sana. Seiring berjalan waktu Kaji Bismillah awal dibuka berlajut pula ke Alhamdu. “Surek dikambang bagaduru”. Lembaran demi lembaran berjalan sendiri hingga tamat tiga puluh juz Al-qur’an. Kaji tersimpan dalam dada (Hafiz Al-qur’an). Sampai waktu ketika itu kaji ditutuik (kaji ditutup).
Hal yang ganjil pada saat itu, beliau tidak tinggal di rumah guru, malahan mencari tempat yang jauh dari rumah guru. Lain hal dengan murid-murid yang lain, lebih senang tinggal di rumah guru. Malam hari itu Syaikh Pulut-pulut memperhatikan gerak-gerik murid beliau itu Syaikh Kiramat, yang tinggal jauh dari rumahnya pada suatu gubuk kecil.
Saat beliau memperhatikan, keluar cahaya memancar dari sebuah gubuk “nan bacewang kalangik (cahaya memancar kelangit)” Membuat Syaikh Pulut-pulut takjub dan menundukkan kepala bertafakur pada Allah, menyatakan kebesaran Allah ketika itu.
Pada hari-hari berikutnya Syaikh Kiramat belajar ilmu Thariqat. Amalan ulama-ulama Ranah Minangkabau ketika itu yang ber’itikatkan Asy’ariyah Wal Maturidiyah dan bermazhab Syafi’iyah Alhulussunah Wal Jama’ah. Menerima ilmu jalan thariqat yang empat Syatariyah, Sammaniyah Wa Naqsabandiyah, Syadziliyah. Sampai mendapatkan limpahan ketika itu untuk mengembangkan di Dusun Janang, Kampung Langgai ketika itu.
Atas bimbingan gurunya Syaikh Pulut-pulut. Syaikh Kiramat telah diamanahkan untuk kembali dan mengembangkan ilmu agama di Langgai. Pada saat itu Syaikh Kiramat tiba di Langgai, agama Islam belum sepenuhnya diamalkan oleh orang-orang Langgai. Disini peran Ayek Kiramat, menyusun tatanan rukun-rukun dan amalan. Baik dalam bidang Ibadah, Muamalah, Tauhid dan Tasawuf ketika itu.
Pada saat beliau kembali, beliu fokus menjalankan dan mendidik masalah Syari’at. Hingga beliau waktu itu dikenal nama Ayek Syari’at. Seorang ulama yang ta’at dalam mengerjakan amalan-amalan Syari’at, baik salat, zakat, dan sedekah lain-lain termasuk rukun-rukun Fiqih Syafi’iyah. Sedang beliau untuk masalah amalan Ihsan/Akhlak (Tasawuf) duduk dengan jalan Thariqah Samaniyyah. Tidak menutup kemungkinan tetap juga memakai amalan-amalan thariqah yang lain yang pernah beliau pelajari.
Beliau Ayek Kiramat yang meninggalkan bermacam mutiara, yang akan diwarisi oleh generasi beliau sebuah buku karangan mengenai Fiqih, dari torehan tangan beliau dan banyak lagi mutiara (kitab-kitab) yang lain karang belian ulama yang tersohor pada zamannya. Menggegerkan tanah rantau, merantak ke Darek Alam Minangkabau. Ulama yang di takuti (segani) oleh kawan ataupun lawan pada awal abad 18 Masehi itu. Meninggalkan bekas cahaya-cahaya yang masih terjaga pada saat ini yakni cahaya-cahaya ke-Islam-an yang kuat, mekar pada masyarakat Langgai. Setiap anak yang tamat dari bangku sekolah dasar wajib menyambung ke Pondok Pesanteren. Hamper delapan puluh lima persen (85%) anak-anak Kampung Langgai menyambung sekolah ke pesantren khususnya di Sumatra Barat; Bukittinggi, Padangpanjang, Pariaman, dan Pesantren di Pesisir Selatan.
Yang menjadikan masyarakat kampung Madani. Kota santri, yang sejuk dan menetramkan jiwa. Setiap salat, mereka dan orang tua selalu melantukan kalimah-kalimah Allah dengan kata “Laaillahaillaallah” yang menembus bulu-bulu kuduk merinding memenuhi rongga tubuh, menghilangkan ke Aku-an diri, menjadikan hati tentram, senang bagi yang menikmatinya. Kampung yang tenang menumbuhkan tumbuah yang subur sebagai mana untaian dalam Pepatah Minangkabau “Padi Manguniang, Jaguang Maupiah, Taranak Bakambang, Urang Kampuang Saiyo Sakoto” begitu kehidupan masyarakat Langgai yang penuh dengan keislaman, Mulai diterpa dari Surau-surau suku yang berjejeran dari mudik dan ujung Negeri Langgai yang penuh dan sesak oleh anak-anak kecil remaja dalam bimbingan Ayek-ayek Surau. Tentu masih banyak lagi sejarah di Langgai yang kami temui, ada yang dapat kami bagikan sebagai catatan ke publik, ada yang cukup kami saja menyimpan itu sebagai pengingat-ingat diri.
- Bagian #1 Datuk Perpatih Nan Sabatang: Menyamar Mengkritisi Undang-undang di Pariangan, dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai | Zera Permana - 11 Februari 2024
- Kembalinya Dt. Perpatih Nan Sebatang Menemui Dt. Katumanggungan dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai: Zera Permana - 21 Januari 2024
- Seri Punago Rimbun: Datuk Parapatiah Nan Sabatang Tokoh Besar Minangkabau dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai | Zera Permana - 14 Januari 2024
Discussion about this post