
Ada banyak sejarah yang tak kunjung terkuak di Pesisir Selatan, sejarah yang dalam artian dapat dibaca khalayak ramai kapan saja, sejarah yang memang benar-benar dicatat untuk kepentingan pengetahuan masyarakat Pesisir Selatan. Meski begitu, bukan berarti tidak ada orang Pesisir Selatan yang melakukan kerja ini; meneliti sejarah, budaya dan cerita-cerita lokal. Seperti kata-kata orang tua, “kita yang sekarang hanya meneruskan, mengerjakan pekerjaan yang telah sudah.” Suai!
Sama halnya dengan sejarah kedatangan bangsa luar ke Pesisir Selatan. Sejarah itu kadangkala hanya menjadi ajang seremonial semata dalam rancangan-rancangan pengembangan pemerintah. Mulai dari wacana wisata sejarah ataupun wisata destinasi. Menjadikan pembicaraan sejarah Pesisir Selatan tinggal angan-angan semata. Tentu sejarah itu tidak akan lepas dari pulau Cingkuk dan Salido. Dimana pusat pertambangan emas besar pernah berjaya di masanya, 150 tahun tambang tersebut dikuasai oleh Belanda lengkap dengan liku perpolitikanya. Tak hanya Belanda, banyak bangsa luar pernah menyimpan ambisinya di sana, Portugis, VOC, dan bangsa lain yang pernah ikut dalam percaturan politik.

Sejarah Singkat Pulau Cingkuk
Adapun peninggalan dari Pulau Cingkuk sangatlah banyak, membuktikan sejarah penting Itu bukan hisapan jempol belaka. Tetapi, literatur yang disediakan untuk pengetahuan masyarakat/pengunjung soal pulau ini sangat sedikit. Misalnya, sebuah rumah/pustaka/museum mini di Pulau Cingkuk yang dapat dikunjungi wisatawan untuk menengok sejarah masa lampau dalam bentuk buku atau peninggalan. Ataupun perpustakaan daerah yang menyajikan informasi terkait sejarah tersebut, tapi bagaimana lagi, perkara ini memang pelik.
Cerita pulau Cingkuk memiliki beberapa versi, mulai dari versi penelitian (menurut data tertulis) sampai tutur masyarakat setempat (kaba). Seperti halnya benteng yang tersisa saat ini di Pulau Cingkuk, benteng tersebut diyakini memang benteng yang dibangun Belanda (sebagian mengetahui Portugis). Namun ada sebagian memercayai Portugis lebih dahulu masuk ke Salido dan Pulau Cingkuk jadi tempat berlabuh mereka serta membangun pertahanan seadanya untuk menghadapi penduduk asli di sana. Begitu Belanda menguasai dan membangun benteng, tentu sisa-sisa bangunan pertahanan lama dihancurkan, tetapi habis karena usia juga.

Mendiang Emral Djamal Dt. Rajo Mudo dalam bukunya “Bayang Nan Tujuah Koto Nan Salapan” halaman 30 menuliskan, Pulau Cingkuk dekat pantai di ujung muara sejak pertama kalinya dikuasai Portugis. Dijadikannya sebagai benteng pertahanan. Daerah Kualo atau muara ini dahulunya disebut Kualo Bungo Pasang, tempat kedudukan Rajo Pesisir Barat mewakili Inderapura, bersebelahan dengan Salido yang dahulunya dikenal sebagai Medan Sabah. Pulau Cingkuk terkenal dalam sejarah Minangkabau, khususnya di Pesisir Selatan, karena di Pulau ini juga, setelah terhalaunya urang Rupik atau Portugis, kemudian digantikan oleh kompeni Belanda yang bercokol cukup lama. Menurut cerita rakyat, kepala Dagang Belanda yang merangkap urusan pemerintahan dijuluki ” Rajo Unggeh Layang”. “Rajo Unggeh Layang” ini oleh rakyat disebutkan sebagai saudara dari “Rajo Sipatokah” (Portugis) dan “Rajo Sionggarai” (Inggris). Ini maksudnya bangsa Belanda, “sekeluarga” dengan bangsa Portugis dan Inggris, karena sifatnya penjajahannya yang menjarahi rakyat.
Adapun keterangan di atas berhubungan dengan tutur kaba. Di dalamnya dikisahkan tentang kehadiran pulau Cingkuak menjelang datangnya bangsa Portugis ke Salido. Sedangkan yang dimaksud “Rajo Unggeh Layang” yang pertama di Pulau Cingkuak itu adalah Groenewegen. Pada tahun 1660, ia berkedudukan di Padang. Tetapi kemudian pindah ke pulau Cingkuak, karena pada tahun 1667 pulau Cingkuak dan Salido diserahkan pada “Rajo Unggeh Layang” Oleh Raja Tarusan, Sultan Inderapura dan “para pembesar dari Bayang.[]

Sedangkan dalam Buku” Padang Riwayatmu Dulu”, Rusli Amran.
Menceritakan pulau Cingkuk merupakan incaran kedua penjajah, baik Portugis maupun VOC Belanda tentu sama, yaitu rempah-rempah dan emas. Sehingga lokasi menetap mereka pun lebih kurang sama, apalagi untuk faktor keamanan dari serangan penduduk lokal, tinggal di Pulau seberang daratan utama adalah hal yang biasa. Jadi VOC menggunakan lokasi yang sama sebagai tempat pertahanan dan gudang berikut benteng, tidaklah mengherankan. Tentu VOC mendapatkan informasi dimana dahulunya Portugis membangun benteng dan gudang saat mereka menetap di Pesisir Selatan dan tentu saja Pulau Cingkuk pilihannya.
Selain faktor keamanan, pemilihan tinggal di pulau dan berlabuh di laut, biasa dilakukan para pendatang Eropa, karena terkait izin yang mesti dikeluarkan oleh penguasa wilayah dalam hal ini untuk Salido dan Painan serta Bayang adalah Kesultanan Inderapura. Sama halnya waktu Belanda menetap di Batavia setelah dapat izin dari Kesultanan Banten yang menguasai tanah di Batavia tempo itu.
Sejarah Singkat Salido
Kampung Salido diberinama oleh bangsa Portugis yang dalam artian dalam bahasa mereka ialah “pintu masuk” yang bahasanya berasal dari kata SanctaSleida, Sleida, Saleda, Saleida, Salida, dan akhirnya menjadi Salido sampai saat sekarang ini. Di dalam kaba, Salido dikenal dengan nama Medan Sabah, sebelum bernama Salido. Dimana dahulunya daerah ini masuk dalam wilayah Bayang, yang kemudian menjadi kecamatan IV Jurai Painan.
Adapun peninggalan-peninggalan masa lampau masih sangat banyak di daerah Salido-Salido Ketek, mulai dari lobang tambang dan lainnya. Menurut beberapa cerita masyarakat setempat, ada salah satu lobang tambang yang berada di kaki pendakian bukit Lala Kanagarian Tambang yang panjangnya kurang lebih 30 km, konon dari cerita yang beredar, lobang tambang itu tembus ke daerah Batang Kapas.

Di tahun 1928 Tambang Salido akhirnya ditutup, dikarenakan oleh keborosan dan kacaunya administrasi. Hingga kini, bekas kegiatan penambangan masih terlihat di Desa Salido Ketek dan menjadi tujuan wisata.
Tambang Salido, merupakan tambang emas tertua di Indonesia yang terletak di Desa Salido Ketek, Kenagarian Tambang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Di Desa Salido Ketek ini pernah beroperasi sebuah pertambangan emas yang dikelola oleh VOC atau Belanda selama lebih kurang 150 tahun. Di daerah tersebut juga ditemukan bangunan berupa 150 anak tangga yang menuju perbukitan dan terowongan sepanjang 300 meter serta benteng peninggalan Belanda.

Adapun peninggalan-peninggalan tersebut masih meninggalkan banyak cerita, mulai dari yang tercatat sampai yang tak tercatat sama sekali. Banyak hal tak terpublik, sehingga hanya meninggalkan sejarah masa lampau dari jejak-jejak yang tersisa. Tentu bukan semata pusat pertambangan dan perdagangan saja kala itu, banyak hal lain yang terjadi di daerah ini, baik pulau Cingkuk maupun Salido. Tapi kembali kepada poin di atas, Pesisir Selatan tidak memiliki banyak arsip masa lampau yang bisa didapatkan secara publik.
- Cakap Film – Bougainvillea: Sandiwara Psikopat dan Percintaan yang Kelam - 19 Maret 2025
- CPNS: Musikalitas Instrumen dari Album Terbaru Calon Pemusik Negeri Sipil, Titik Nadir di Episode Sunyi dalam Bunyi Sembunyi - 15 Maret 2025
- Balimau: Tradisi Entah, Kewajiban Agama Bukan, Sebuah Pemakluman atau Kebiasaan Semata - 28 Februari 2025
Discussion about this post