Ada baiknya sebelum saya menceritakan sebuah catatan perjalanan, maka saya akan memberikan sebuah referensi terhadap apa itu sebenarnya Pariwisata yang dikemukan oleh para ahli, berikut bentuk dasar-dasar pemikiran tarsebut. Menurut A.J. Burkart dan S. Medik (1987) Pariwisata adalah perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan-tujuan di luar tempat dimana mereka biasanya hidup bekerja dan kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal di tempat-tempat tujuan itu dan menurut Hunziger dan krapf dari Swiss dalam Grundriss Der Allgemeinen Femderverkehrslehre, menyatakan pariwisata adalah keseluruhan jaringan dan gejala-gejala yang berkaitan dengan tinggalnya orang asing di suatu tempat dengan syarat orang tersebut tidak melakukan suatu pekerjaan yang penting (Major Activity) yang memberi keuntungan yang bersifat permanen maupun sementara. Sedangkan menurut Prof. Salah Wahab dalam Oka A Yoeti (1994, 116.). Pariwisata dalah suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam suatu Negara itu sendiri/ di luar negeri, meliputi pendiaman orang-orang dari daerah lain untuk sementara waktu mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang dialaminya, dimana ia memperoleh pekerjaan tetap. Berikut pemahaman beberapa ahli terhadap pariwisata, namun bagaimanapun pengertian-pengertian tersebut, bagi saya pariwisata itu adalah bagian dari pengabdian dan persinggahan ke daerah-daerah yang dikarunia keindahan tersendiri oleh Tuhan. Dalam persinggahan itulah kita ditakdirkan sebagai mahkluk yang mengisi fungsi sosial terhadap segala macam bentuk objek (daerah wisata).
Ternyata dalam bentuk kepedulian ini, pemerintah juga menyebutkannya dalam Undang-Undang No 9 Tahun 1990, mengenai kepariwisataan Bab 1, Pasal 1: dijelaskan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek atau daya tarik wisata.
Dalam pembelajaran wisata ini, saya sangat miris bila seandainya kita terlalu dipaksakan memasuki ranah teori yang tidak begitu duduk, padahal pembelajaran ini merupakan salah satu bentuk yang banyak disukai sebagian orang. Betapa tidak, kita disuguhkan untuk menikmati berbagai macam estetika (saya lebih memberatkannya kepada keindahan yang terdapat di suatu tempat), dari masing-masing daerah yang ada di belahan kota-kota lainnya.
Ketika dihadapkan kepada permasalahan wisata, tentu erat hubungannya dengan kebudayaan, dan itulah salah satu yang akan menjadi daya tarik orang-orang untuk mengunjungi sebuah tempat. Kemudian tempat-tempat tersebut akan berkembang menjadi bentuk catatan (sejarah) dalam cakupan yang lebih luas lagi.
Saya juga sangat percaya, bahwa kalau kita tetap memaksakan masuknya teori-teori dalam wisata terlalu banyak, maka akan jadi konyol saya kira, sebab sebuah teori bisa lahir dari mana saja, selagi manusia itu berpikir dan selagi ia sadar akan lingkungannya itu ada, maka akan banyak landasan-landasan baru bermunculan. Maaf saja kalau ucapan seperti itu lahir dari benak saya, namun apa boleh buat, itulah adanya.
Saya akan beri contah pada saat saya dan kawan-kawan lainnya mengikuti wisata jalan-jalan ke Pariaman, saya sangat senang sekali jika kegiatan ini dilakukan, apalagi berkelanjutan. Apa yang menarik melakukan perjalanan ke Pariaman ini, yang pertama mulai dari hal-hal klasik yang ada dalam pikiran orang-orang Minang, yaitu melakukan perjalanan tersebut dengan Kareta Api. Kareta Api sendiri adalah kendraan yang sangat langka di Minang, ini hanya ada pada tujuan dan paket wisata tertentu saja. Inilah contoh kecil yang akan membuat wisatawan mau berkunjung ke kota Pariaman.
Pemandangan yang berjalan seolah mengejar, laju kareta yang membuat kita semakin haru, suasana tawa yang melengking di bawa arus udara. Sangat bergairah rasanya untuk saya menuliskan semua ini. Tidak ada beban sama sekali, ketika kita dihadapkan untuk memutar kembali apa-apa saja yang telah kita singgahi, mirip sistim piring-piringan musik pada zaman dahulu. Diputar lalu dinyalakan kembali. Sungguh nikmat.
Nah, setelah kita sampai pada stasiun perhentian terakhir, maka kita akan dibuatnya berpikir atau malah terkagum-kagum. Apa yang terlintas oleh saya saat itu bukanlah perasaan lega karena sudah sampai, tapi saya melihat, betapa arsitekstur stasiun itu dibalut oleh gaya lama (struktur khas Belanda), semuanya serba klasik, serba enak dipandang.
Kota Pariaman adalah kota pesisiran yang sangat padat oleh penduduk, kota ini adalah saksi tempat berlabuhnya orang-orang Arab dahulu. Maka ketika saya berjalan-jalan, pikiran saya juga ikut-ikutan hijrah dari masa modern ke masa kolonial, ini tidak akan bisa dipisahkan dalam sebuah pembelajaran pariwisata, kebudayaan dan wisata adalah seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin dapat dipisahkan.
Setiap daerah wisata juga mempunyai mitos-mitos yang tak jarang membuat banyak orang-orang penasaran dan memiliki hasrat ingin berkunjung, bahkan bisa dijadikan bahan penelitian lebih lanjut. Mitos adalah hal-hal yang memberikan nilai tambah terhadap objek di daerah tempatnya bernaung.
Saya tidak akan bercerita panjang lebar lagi. Ketika mendengarkan nama kota Pariaman, maka kita akan memasukkan daerah Tiku sebagai bagian yang ada di dalamnya, ketika bicara Tiku maka kita akan terbayang dengan cerita seorang pemuda yang gagah perkasa, serta ia juga yang menerapkan pemikiran bahwa lelaki Minang harus merantau dan membawa keberhasilan untuk pulang ke kampungnya. Sebut saja ia Anggun Nan Tongga, pemuda yang acap kali dipergunjinkan dari masa ke masa, hingga saya mengenalnya sebagai seorang tokoh dalam Kaba Minangkabau. Mitos atau buatan orangkah ia, itulah yang harus kita cari tahu lebih lanjut.
Udara terasa sangat panas, matahari sejajar dengan kepala, hal itu tentu mengingatkan saya dengan kampung halaman dan kelapa muda yang enak dan segar-segar. Layaknya perjalanan ini, sejenak akan membuat saya nyaman.
Kembali pada tujuan awal saya untuk menuliskan kesan-kesan perjalanan ke kota Pariaman, tiba-tiba saya ingin membicarakan sebuah pantai yang memang menjadi tujuan dari perjalanan wisata ini. Yaitu pantai Gondoriah. Dan anehnya lagi, pikiran saya ternyata memang tidak mau diajak berdamai sekali saja, pikiran saya mulai melayang-layang lagi, ingin masuk ke ruang waktu yang sudah jauh tertinggal di belakang.
Diceritakan pada masa dulu di Kecamatan V Koto Kampung namanya, hiduplah seorang tokoh perempuan yang bernama Gondoriah, ayahnya adalah seseorang yang taat akan perintah agama. Siapa sih, urang Minang yang tidak kenal beliau, ialah DT Baharrudin seorang tokoh yang juga acapkali disebutkan dalam beberapa Kaba Minangkabau. Begitulah Gondoriah hidup dengan lingkungan yang baik-baik, maka tumbuhlah ia semakin cantik setiap harinya.
Dari sinilah saya mengira-ngira, mengapa pantai ini begitu bersih dan indah, bukankah kedua sifat itu sangat erat hubungannya dengan sosok perempuan atau paling tidak kedua sifat itu sangat disukai oleh kaum perempuan.
Angin bertiup kencang, orang-orang tersenyum lepas, anak-anak berlarian di bibir pantai, sepasang kekasih dengan segala jurus handalnya. Batu-batu terbaring begitu pasrah selayaknya sejarah yang selalu berharap kita maklumi kekurangannya.
Satu lagi yang ingin saya bahas disini adalah di kota Pariaman ini ada agenda tahunan yang menarik untuk dikemukakan, yaitu perayaan Tabuik, biasanya tabuik ini diadakan dari tanggal 1s/d10 Muharam, memperingati kematian cucu Nabi besar Muhammad SAW di padang Karbala. Dari kebiasaan-kebiasaan kecil seperti inilah akan terciptanya sebuah bentuk kebudayaan yang maksimal, saya kira.
Hari pun sudah sore, badan terasa lelah, kepala semakin sesak, ingin rasanya rehat sebentar dan berbaring di Kareta terakhir menju pulang ke Padang. Maka saya akan mengembalikan segala catatan saya kepada para pembaca, dan berharap pembaca juga akan mencari hubungan dan kaitan dari yang saya uraikan tersebut. Kemudian untuk kedepan saya sangat berharap adanya bentuk seperti ini dalam pembelajaran pariwisata, tidak hanya menjelaskan apa-apa yang usdah tampak, tetapi kita juga harus mengolah dan mencari tahu latar belakang terhadap apa-apa yang sudah pernah kita singgahi.
Sejarah, barangkali kata ajaib yang satu ini akan membawa kita kepada pemahaman yang lebih dalam dan kritis. Pariwisata tidak hanya sekedar berjalan dari suatu tempat ke tempat lain. Tapi berdiam dalam pemikiran wisata itu sendiri.
Penulis, Yori Kayama, lahir di Pasar Lakitan, Pesisir Selatan. Menyukai seni dan sastra sejak SMA. Beberapa tulisan, puisi dan essai tersebar di beberapa media cetak dan digital. Sedang mempersiapkan buku puisi tunggal. Bisa ditemui di instagram @yorikayama dan aktif juga di youtube dengan nama Channel Yori Kayama TV. Menetap di Muko – Muko.
- Hijrah Dari Perjalanan Wisata Menuju Sebuah Kebudayaan; Beserta Mitos-mitos yang Terkandung di Dalamnya - 21 September 2020
- Puisi-puisi Yori Kayama - 17 September 2020
Discussion about this post