Berawal dari saya (penulis) koreografer dalam karya ini yang ingin mengangkat budaya yang ada di Sumbar, yang sudah lama dan jarang didengar. Dan mungkin dikalangan anak-anak sekarang banyak yang tidak tau bahwa kesenian ini atau ritual ini ada di daerah kita.
Berangkat dari kota Padang menuju daerah Kabupaten Solok di nagari Selayo, Kecamatan Kubung, bersama tim kita berangkat menuju salah satu narasumber yang mengetahui sejarah awal dari ritual Bailau ini. Beliau biasa dipanggil “bude”. Banyak pertanyaan yang saya dan tim lontarkan mengenai ritual Bailau ini, karena kami takut sembarangan mengangkat budaya dan salah mengartikan sejarahnya, nantinya akan diartikan atau ditampilkan dalam sebuah gerakan tari.
Tari “Bailau” berasal dari kata Ilau (ba-ilau/ ber-ilau/ melakukan-ilau). Konsep tarian ini merupakan sebuah ritual tradisi dari adat Minangkabau yang digarap dalam bentuk seni pertunjukan. Tarian ini merupakan sebuah ritual tradisi untuk meratapi kematian seorang anak. Tarian “Bailau” dulunya dijadikan ritual adat kematian yang terjadi di Nagari ini. Tepatnya berlokasi di Nagari Selayo, Kecamatan Kubung, Sumatra Barat. Tarian “Bailau” ini diselenggarakan jika anak dari sebuah keluarga meninggal dunia diperantauan (rantau) dan jenazah tersebut tidak bisa dikebumikan di kampung halamannya, maka dibuatlah ritual tradisi ini yang bertujuan untuk mengenang arwah sang anak.
Menurutnya, “Ilau, hal ini dilakukan karena dulu susahnya alat transportasi dan keterbatasan yang terjadi sehingga jenazah tersebut susah dikembalikan/dipulangkan ke kampung halaman”. Dari kejadian seperti itulah membuat warga di Nagari Salayo mengadakan sebuah ritual tradisi seperti itu. Ritual tradisi ini hanya ada pertama kali di Nagari Selayo dulunya. Adapun maksud dari tarian ini adalah ratapan/sesal/kesedihan/frustasi dari seorang Ibu dan kerabat yang tidak bisa menerima kematian anaknya di perantauan.
Tarian “Bailau” ini berisikan tentang anaknya yang merantau dan tiba-tiba ada berita / ‘kaba’ yang ia dapat dari sanak familinya yang membuat si ibu tidak terima atas kematian anaknya. Maka dari itu seorang Ibu tersebut memintak kepada pihak keluarga ‘ninik-mamak’, untuk membuat semacam ritual untuk dapat mengingat dan mengenang roh anak, maka badan sang anak digantikan dengan media “batang pisang”. Pengibaratan jenazah dengan batang pisang, pun tidak juga asal pilih. Karena sifatnya sama dengan manusia yaitu pantang bertunas untuk kedua kalinya, maka dari itu batang pisang dipilih untuk menjadi ikon penggambaran si mayat. Tarian “Bailau” dikembangkan dan diperindah tanpa menghilangkan orisinalitasnya. Seperti ada gerakan-gerakan dasar dari ritual ini yaitu menghentakkan kaki ke tanah dengan posisi badan condong melihat ke bawah itu menggambarkan kesedihan si ibu yang sedang mencari anaknya
Adapun pengaruh dari tarian “Bailau” ini ketidaktahuan keluarga akan adanya Tuhan. Mereka mengungkapkan sesal/ratapan/frustasi dengan cara meratapi badan anak dengan begitu tidak baik, bahkan sampai menganiaya badan dirinya sendiri. Sampai ada yang kerasukan, menangis terisak-isak dan lainnya. Maka dari itu koreografer ingin mengangkat kembali tarian “Bailau” ini agar masyarakat Minangkabau dan masyarakat Nusantara mengetahui bahwa Tari “Bailau” ini pernah ada di Sumatra Barat. Dan memberitahu kepada orang-orang bahwa tarian ini adalah tarian asli Minangkabau, bagian dari bentuk ritual tradisi yang dikemas dalam seni pertunjukan tari.
Perubahan fungsi ini barangkali bisa kita sebut sebagai respon dari masyarakat setempat untuk melestarikan sebuah fenomena budaya, ritual tradisi tersebut tetap berupaya menyiarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ritual itu sebelumnya, yang tentu saja “si anak yang meninggal” hanyalah sebuah imajinasi. Penulis, Rahayu Nengsih
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post