Barangkali secarik kertas ini cukup guna membalas seluruh surat yang kau kirim.
Berita Kematian Jaenuri, Wildan L. Mazir
Cerita kematian lelaki buruk rupa itu masih saja edar. Padahal hari ini malam ke empat puluh dari kematiannya. Seisi desa masih geger dengan gosip-gosip dan prasangka. Celoteh ibu-ibu rumah tangga dengan tumpukan cucian di sungai pun begitu gempar menceritakannya.
Dari kejauhan, Musleh terlihat merapatkan jaket yang dipakainya. Gigil malam kian mencekam. Asap kretek yang dihisapnya kuat-kuat ia hembuskan. Rupanya desir angin membuatnya seolah tertampar-tampar.
“Omong-omong, kematian si Jaenuri masih geger, ya, Kang,” selagi kedua temannya pergi berkeliling desa, ia mencoba mengobrol dengan Puadi, tetangga dekat si Jaenuri.
Hening. Puadi menghisap rokoknya dalam-dalam. Pandangannya ia alihkan sekilas, mengepulkan asap kreteknya ke udara. Angin berdesir cukup kencang. Beberapa sampah plastik tampak mengudara diseretnya. Suara nyamuk terdengar meraung mengusik ketenangan di pos ronda.
Siapa yang tak peduli ikhwal kematian si Jaenuri. Segerombolan ibu-ibu pun tak juga bosan menggosipkannya. Tak pilih di pasar, sungai, bahkan di kebun tempat suami mereka bekerja. Keantusiasan mereka terus berlanjut. Di mana-mana cerita itu berhasil menjadi topik pembicaraan hangat.
“Beneran, Kang, Jaenuri punya ajian itu?” Musleh mengheran, meletakkan kembali cangkir kopi yg diseruputnya tadi.
Benar. Tetangga Puadi bernama Jaenuri itu memang terlihat menjijikkan. Tubuh dekilnya penuh borok, pakaiannya jarang sekali ia ganti. Dari jarak yg tak begitu dekat pun, bau anyir tubuhnya sudah tercium. Tapi hati-hati, sekali ia amalkan ajian Semar-mesemnya, wanita bersuami pun akan jatuh dalam peluknya.
“Dia mendapat ajian itu setelah membunuh Bapaknya? Ah, Kang Puadi mengada-ngada, ya,” Musleh terlihat kurang percaya.
Dari berita yg dulu beredar, Bapak Jaenuri adalah dukun sakti di desa Tampojung. Ibunya meninggal ketika melahirkan si Jaenuri. Warga desa kata, Bapak Jaenuri bisa menjatuhkan buah kelapa dengan kedipan matanya, dulu. Tapi seiring kebutaan waktu, Jaenuri membunuhnya dengan pisau dapur kendati tak menuruti kemauannya untuk mengirim jampi-jampi pada perempuan yangg ia suka.
Sebetulnya hal itu tak mungkin terjadi jika Jaenuri tak bertemu gadis cantik kala membeli pakan burungnya di pasar.
Leha, begitu orang-orang memanggil gadis itu. Begitu tahu alamat rumahnya, Jaenuri segera mengirim surat-surat untuk menyatakan perasaannya. Hasilnya nihil. Namun setelah ia coba mengirim beberapa surat lagi, surat balasan yg ditunggu-tunggunya pun akhirnya tiba;
Teruntuk Jaenuri
Barangkali secarik kertas ini cukup guna membalas seluruh surat yang kau kirim.
Semua surat yg kau kirim telah selesai aku baca dengan baik. Tapi aku tak habis pikir betapa besar nyalimu mengirim surat-surat tak berguna itu. Tidakkah kau berpikir, wanita mana yg mau pada lelaki sepertimu; sudah miskin, dekil penyakitan pula. Dasar goblok. Sudahlah, berhenti melakukan hal yg tak berguna itu. Lagi pula wanita mana yang sudi menerima lelaki macam kau ini!
“Selanjutnya, Kang?”
Jaenuri meremas surat balasan itu, menggenggamnya kuat dan melemparnya jauh-jauh. Matanya nyalang. Segala sesuatu di dekatnya ia banting. Jaenuri benar-benar marah. Akibatnya, Bapaknya sendiri harus ia bunuh demi ajian ampuh yangg tertulis di atas kain kafan kotor itu.
“Pantas saja ia dapat istri secantik itu,” musleh berpendapat.
Malang betul nasib perempuan itu. Kabar rencana akan diperistri putra kiai malah berbalik menjadi korban ajian si Jaenuri. Tak ayal jika Leha yang begitu sombong memaki Jaenuri malah sering mengigau, merengek, mengemis-ngemis minta diperistri.
“Uh, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memang selalu mengejutkan, Kang. Bahkan sesuatu yang tergenggam erat pun masih bisa terlepas, dengan tanpa kira pula.”
Hening, sejenak.
“Oh iya, Kang. Orang-orang bilang penyakit borok ditubuhnya makin parah sampai.. ” pertanyaan musleh terpotong suara Puadi yang lanjut bercerita.
Seharusnya lelaki buruk rupa itu tak mati dalam keadaan istrinya yangg sedang hamil. Namun penyakit yang sedari dulu menggerogoti tubuhnya menjadi sebab kematiannya. Sebelum ajal tiba menjemput Jaenuri, warga desa memang terganggu dengan aroma tak sedap tubuhnya yangg tercium bahkan ke rumah-rumah tetangganya. Bahkan istri sendiri pun merasa enggan memandikan jasadnya kala itu. “Apa mungkin itu pengaruh Ajian Semar-mesemnya?” Pungkas seseorang yangg antusias melihat upacara pemakamannya beberapa waktu lalu.
“Apa, ajian itu dimiliki istrinya?” Lelaki yang duduk tepat di depan Puadi itu begitu tercengang. “Yang benar saja, Kang. Apa mungkin Leha akan menggunakan ajian itu,” Musleh melanjut.
Setelah empat puluh malam kematiannya, barangkali itu alasan cerita itu masih terus gencar digosipkan. Orang-orang desa Tampojung geger dengan kemungkinan-kemungkinnya ikhwal ajian yg kini menjadi milik Leha itu. “Atau jangan-jangan Leha akan cari suami kaya gunmenghidupi keempat anaknya. Hati-hati, nanti suami kita jadi sasarannya,” ucap ibu-ibu di sela-sela kesibukannya mencuci pakaian di sungai.
Malam semakin larut. Suara katak terdengar bersahut-sahutan. Puadi terlihat kesulitan menahan kantuknya. Kopi yangg istrinya seduh untuk ia minum saat meronda sudah tertenggak habis. Angin sedikit bertiup kencang. Daun-daun kering pohon sekitar pos ronda berguguran dibuatnya.
“Coba lihat, Kang. Ada orang mencurigakan, ” tangan Musleh menunjuk-nunjuk. Puadi mencoba berusaha memperbagus pandangannya.
“Ayo kita periksa, Kang,” Musleh menarik sarung Puadi yang masih celingukan tak melihat sesuatu.
Mereka mengendap-endap berlari memeriksa apa yang sedang terjadi. Mereka beradu pandang saat samar-samar melihat lelaki mencurigakan itu.
“Sepertinya itu warga desa kita, Kang? ” Tafsir Musleh.
Mereka terus mengendap-endap membuntuti langkah mencurigakan lelaki paruh baya itu; Menyisir jalanan terjal, tersaruk-saruk melewati semak semak. Sesaat orang mencurigakan itu terlihat tolah-toleh melihat keadaan sekitar. Puadi dan musleh segera bersembunyi menyadarinya.
Sosok mencurigakan itu terus mengendapkan langkahnya. Matanya menyorot tak henti, menyapu, memastikan keadaan bersih dari pantauan orang. Tapi keberadaan Puadi dan Musleh yang membuntuti tak sedikit pun tercurigai. Tiba-tiba Puadi memukul-mukul tubuh Musleh, menunjuk-nunjuk, mencoba memastikan, tak menyangka, tak percaya, melihat Lurah mereka mengetuk pintu belakang rumah si cantik Leha.
29-30 Juli 2020
Wildan L. Mazir, Mahasiswa UIN KHAS Jember. Karya-karyanya termuat di beberapa media: Radar Jember, Radar Madura dll. Beralamat di [email protected]
Discussion about this post