Belaian angin dari kipas kecil yang sengaja kuletakkan di samping meja kerja menyapu wajah, sembari mengeringkan keringat yang menetes dari pori-pori wajah. Di luar udara masih sangat panas. Aku sandarkan tubuh pada punggung kursi sembari melepas lelah kembali dari ruangan sekretaris kantor. Di sekeliling terdengar suara-suara rusuh para rekan yang mempersiapkan diri untuk pulang. Aku menggapai hapeku yang sedaritadi terletak di bawah layar komputer. Aku juga ingin mempersiapkan diri seperti mereka. Namun mataku terhenti di layar komputer ketika aku hendak mematikannya. Aku menyentuh mouse, layar kembali hidup dan wajah si bangsat itu masih terpampang di wallpaper komputerku.
Kembali teringat ketika dia memutuskan hubungan yang telah kami bina selama 4 tahun dan memilih menikah dengan wanita selingkuhannya. Tanpa rasa malu, dia memberiku undangan pernikahannya. Akupun mencari folder foto-foto yang mungkin bisa aku jadikan wallpaper baru di komputerku untuk mengganti foto bajingan itu, aku periksa foto itu satu demi satu dan aku berhenti disebuah foto lama potret seorang gadis kecil berusia 4 tahun yang di gendong oleh Ayahnya. Gadis itu adalah aku, lama kupana potret masa kecil itu, lalu aku menjadikan foto itu sebagai wallpaper.
“plak”, sebuah pulpen menimpa kepalaku. Aku mencari arah si pelempar. Dengan tawa renyahnya, Marla teman sekantorku menyorakiku di depan pintu.
“sudahlah, Wil, ayo pulang, kamu mau jadi penghuni kantor?” pungkasnya dan aku menjawabnya dengan kesal
“iyaa..iyaaa ini aku lagi matiin komputer”. Sembari mematikan komputer.
Sore itu aku kembali pulang dengan Marla. Dia mengajakku ke kafe favorit kita, setiap kali pulang dari kantor kami selalu mampir ke sana. Di sana kami memesan yang biasa kami pesan. Suasana laut, tebing, biasan senja dan seduhan kopi dengan toping es krim sore itu membantu kami rileks untuk melepaskan lelah dari pekerjaan yang memperbudak otak dan tenaga kami. Ditengah kenikmatan itu, Marla membuka pembicaraan
“kamu baik-baik saja, Wil? sudah dapat izin dari kantor? memangnya kamu mau kemana sih, Wil? tumben gak cerita sama aku?” Marla mencercaku dengan bebera pertanyaan yang memang belum aku ceritakan padanya.
“tentu marla, aku baik-baik saja. Surat izinku kemungkinan beberapa hari lagi baru keluar, sebab menunggu pak kepala pulang,” jelasku sembari meminum kopi.
Marla menunggu jawaban yang belum terterjawab. Aku kembali melanjutkan jawaban itu.
“aku cuma mau pergi liburan aja kok, Mar, dan memang aku belum sempat bercerita padamu, rencananya sih memang sekarang aku mau bercerita”, elakku.
“apa ini karena siandre bangsat itu, Wil?
“Husssst, sudahlah Marla. Aku tidak memikirkan itu lagi. Aku sudah mengikhlaskannya. Tadi pagi aku mendapat kabar bahwa papaku sedang sakit, keponakan papa yang meneleponku, ia memintaku datang bertemu dengan Papa, ia juga sudah mengirimkan alamatnya padaku.
“Jangan, Wil, jangan ke sana dulu. Di sana kan sedang terserang wabah. Nanti dulu gimana, saat semua keadaan sudah membaik.
“tidak bisa, Mar, papaku sakit keras, kamu taukan aku sudah bertahun-tahun tidak bertemu papa.
“baiklah, kamu hati-hati dijalan, ya, tetap jaga kesehatan, keamanan dan kebersihan, semoga papa lekas sembuh Amiin yarobbal Alamin.
Beberapa saat kemudian kamipun pulang ke rumah, di rumah aku menghampiri Mama yang tengah tertidur pulas di depan Televisi. Jika melihat mama aku teringat peristiwa tanggal 3 juni 2000 tepat pukul 09.00 wib, sebelum perayaan pesta ulang tahunku di Taman kanak-kanak, aku dengan bangga dan bahagia memakai pakaian tradisional Minangkabau bahkan aku tidak sabar untuk datang ke sekolah dan memperlihatkan bajuku pada teman-teman. Pagi itu, Mama sibuk merias wajahku. tiba-tiba suara seseorang mengetuk pintu rumah.
“tunggu sebentar, ya, sayang “ ucap mama padaku
Beberapa saat kemudian teriakan dan tangis terdengar dari depan rumah, aku berlari ke arah suara itu, aku dapati Mama sedang tersandar di dinding ruang tamu sambil membaca sebuah kertas. Mama berteriak histeris dan menangis, Aku hanya bisa menyaksikan mama menangis, meronta dan sesekali ia membenturkan kepalanya kedinding sambil mengumpat. Aku sangat ketakutan, disisi lain aku juga tidak mengerti surat apa yang mama baca sehingga mama begitu sangat sedih. Aku yang ketakutan berlari ke kamar menghampiri adikku yang masih berusia 8 bulan, dan beberapa saat kemudian mama masuk ke kamar dengan pandangan kosong dan kusut di wajahnya.
“ganti bajumu!” ucap Mama dengan suara yang tinggi
“tapi, kakak ke sekolah kan, ma ? ucapku takut
“sudah cepat ganti bajumu,” Mama berteriak dengan pandangan amarahnya
Aku menangis, kulihat adik kecilku yang terbaring di tempat tidur. Ia juga menangis seakan ikut larut atas apa yang aku rasakan, dengan air mata kubuka baju yang akan aku kenakan di acara ulang tahun kuhari ini, Mama mengganti bajuku dengan baju yang lain, ia memakai tas ransel yang penuh dengan pakaian, sambil menggendong adikku. Mama menggenggam tanganku erat. Aku diam seribu bahasa, sulit membaca keadaan pada waktu itu, kami pergi naik angkutan umum dan duduk di kursi sebelah kiri, kupandangi wajah Mama yang pucat dan butiran Air mata yang megalir di pipi nya.
“Mama kenapa?” ucapku lembut di telinga mama.
Mama terdiam, ia menoleh dan memandangi wajah ku, ku tatap bola matanya yang merah dan basah itu
“maafkan Mama Wilda, kita harus pulang ke rumah nenekmu di Padang, sekarang kita harus ke sekolahmu dulu untuk membereskan barang-barangmu, maaf kan mama.” Ucap mama dengan tegarnya.
Setelah mama berkata seperti itu padaku, ia menoleh keluar jendela, dengan air mata sesekali ia menatap bola mataku seakan ada satu hal yang ingin dia ucapkan, namun tertahan oleh birirnya. Ia penuh kesedihan, kegelisahan, aku hanya bisa diam. Beberapa saat kemudian kami pun sampai disekolah. Sorak kegembiraan dan lantunan lagu selamat ulang tahun terdengar dari pagar sekolah. Rasa senang melihat teman-temanku bergembira serasa aku ingin ikut serta bersama mereka. Aku berdiri di depan kelas dan mama bicara dengan ibu guru. Sayup-sayup kulihat dari jendela teman-teman berpakaian bagus lengkap dengan kue dan orang tua yang lengkap di sisi kiri dan kanan mereka, kulihat Rini teman sebangkuku yang menyuapi ayahnya. Seketika itu aku menangis baju bagus yang aku kenakan sudah diganti dan sekarang aku tidak bisa merayakan hari ultahku bersama teman-temanku. Mama keluar kelas dan menghampiriku, ia memelukku sangat erat.
“anak pintar jangan nangis ya, kamu harus janji pada ibu kalo kamu harus jadi anak yang kuat dan selalu menjaga mamamu, ya, nak.“ ucap bu guru sambil mencium pipiku.
Aku pun tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi, kenapa mama menangis dan kenapa ibu guru berkata seperti itu padaku.
“Wilda!” aku mendengar suara di depanku yang seketika membuatku tersentak dari lamunan, ternyata mama yang dari tertidur pun terbangun. Akupun menyalami mama dan memeluknya, kuantarkan mama ke kamar dan aku peluk lagi ia.
***
Keesokan harinya di kantor, aku yang sibuk dengan pekerjaanku dihampiri oleh Marla, ia memberikan surat balasan permintaan izin liburku dari bapak kepala, akupun bergegas membereskan pekerjaan. Sepulang dari kantor aku memesan tiket pesawat dan juga berkemas-kemas untuk keberangkatanku besok. Di hari keberangkatan aku diantar Mama, Adikku dan juga Marla di bandara dan akhirnya aku telah sampai di depan rumah papa. Aku mulai canggung, pikiranku mulai tak karuaan. Nanti jika bertemu papa apa yang harus aku katakan, apa yang harus aku lakukan. Tidak, aku tidak boleh menangis, aku harus kuat, tapi kenapa air mataku jatuh begitu saja. Aku berteduh di sebuah pohon yang berada di depan rumah Papa, cukup lama aku mengumpulkan tenaga untuk melangkah ke rumah itu, aku coba hubungi Annisa, keponakan papa, namun tidak ada jawaban. Akhirnya akupun memutuskan untuk mendekati rumah itu.
“Assalamualaikum” sautku di depan pintu rumah
“Wa’alaikumsalam, eh etek Wilda, masuk, tek. Sebelum masuk etek pakai ini dulu, ya.” Seorang gadis muda keluar dari rumah ia Annisa, ia memberikanku masker dan juga hand sanitizer.
“papa mana Nisa ?” tanyaku penasaran
“Atuk ada di dalam kamar itu, tek, sebelumnya atuk sakit diabetes, 10 hari ini atuk demam tinggi dan batuk kering disertai sesak nafas. kami baru saja menghubungi rumah sakit. Kasihan atuk, tidak ada yang berani mendekatinya sekarang. Etek tunggu di sini sebentar, ya, jangan dekat-dekat dulu dengan Atuk. Aku pergi sebentar menjemput ibu.” Annisa keluar.
Mendengar cerita itu aku pun langsung berdiri dan melangkah masuk ke kamar itu, berlahan kubuka pintu, aku lihat seorang laki-laki paruh baya tengah terbaring lemah di atas tempat tidur, matanya terpejam antah sedang tidur atau tengah menahan sakitnya, ku beranikan diri mendekat, tiba-tiba laki-laki itu sadar dengan suara yang bergetar dia berkata.
“kamu siapa?”
“aak aku Wilda, pa ” dengan terbata aku menjawab pertanyaan itu sembari membuka maskerku agar papa mengenaliku. Tapi papa hanya terdiam sembari menatap wajahku dalam-dalam.
“papa masih ingat pada wilda kan? Aku kangen papa… seketika air mataku jatuh, ku dekati papa dan aku peluk ia. Pelukan yang selama ini aku rindukan dari seorang Ayah. Rasanya aku ingin kembali menjadi gadis kecilnya yang datang memeluknya disaat aku terluka. Ia tak berontak ketika aku peluk tangannya yang lemah itu seakan ingin mendekapku hangat.
“Bagaimana mungkin aku melupakanmu gadis kecilku yang sudah tumbuh dewasa. Maafkan aku tidak bernyali menemuimu selama ini, ibumu luar biasa sudah menjadikanmu perempuan hebat. Ya, aku memang pintar sekali mencari ibu untuk anak-anakku. Kamu mirip sekali dengan ibumu, nak, semoga nasib baik selalu bersamamu, jangan menikah dengan laki-laki seperti aku. Kau carilah laki-laki yang bertanggung jawab dan mau menemanimu selamanya. Ucapnya dengan suara terbata-bata dan mata berkaca-kaca.
“aku sangat merindukan papa” jawabku dengan air mata.
“sebaiknya kau menjauh dariku, aku tak ingin membahayakanmu.” Seketika papa mencoba mendorongku dengan sisa tenaganya.
Kalimat yang membuatku hancur, papa takut membahayakanku disaat semua orang takut mendekatinya aku malah datang dan memeluknya. Semakin kupeluk erat dia sembari menangisi situasi yang membuat kami harus berjumpa dengan kondisi seperti ini. Tapi papa kembali memberontak pelukakanku, ia mendorongku. Menjauh darinya. Tiba-tiba aku mendengar suara Ambulans datang, beberapa saat kemudian petugas medis yang memakai APD masuk ke dalam kamar, belum sempat aku kembali memeluk papa, Annisa dan beberapa orang keluarga mulai menarik dan menyeretku untuk menjauh dan keluar dari rumah. Dari balik pagar. Aku melihat papa dibawa pergi dengan Ambulans itu.
Keesokkan harinya tepat menjelang ashar kabar duka datang dari rumah sakit bahwa papa sudah tiada, bendera tanda ada kemalanganpun di pasang di sekitar halaman rumah. Namun tidak ada yang datang untuk melayat. Yang ada hanya kami anggota keluarga saja, para tetangga hanya menyaksikan semua itu dari kejauhan, seperti tontonan orang banyak. Aku, Annisa dan kerabat berangkat mengantarkan jenazah papa untuk di kebumikan. Aku tidak dapat berkata banyak, selain air mataku yang tak henti-hentinya menetes, beberapa kali Annisa mengingatkanku untuk memakai maskernya dan hand sanitizer. Aku mengikuti perintah itu sebisaku, rasanya separuh energi di dalam tubuhku ini sudah hilang saat mengetahui papa sudah tiada, dan kemarin adalah hari terakhir aku bertemu dan memeluknya setelah berpisah sekian lama. Aku coba menghubungi mama untuk memberi kabar,
“Ma, papa sudah meninggal dunia”. Ucapku lirih dari balik telepon genggam.
“Innalilahiwainnalilahirojiun…” ucap mama dengan suara yang bergetar.
Aku tidak lagi dapat berkata banyak dengan mama, selain menangis, mama memberikanku pesan-pesan aku hanya mendengarkan pesan itu sampai telepon itu di tutup, kupandangi keluar jendela sembari menguatkan diriku tentang takdir yang sudah ditakdirkan Tuhan padaku, walaupun sesekali masih ada sesak yang aku tahan ketika mengingat saat-saat terakhir berjumpa papa.
Mobil Ambulans membawa kami hampir sampai di pemakaman, namun beberapa kali kami harus berpindah, dari pemakaman yang satu ke pemakaman yang lainnya karena dicegat masyarakat yang beramai-ramai menolak jenazah untuk dimakamkan di tempat mereka.
Akhirnya kami bisa memakamkan jenazah papa di kaki bukit dekat semak-semak dan jauh dari pemukiman warga. Tangan yang aku tadahkan ketika memanjatkan doa pada yang maha kuasa sesekali basah oleh air mata yang jatuh, aku kirimkan doa-doa terbaikku untuk papa pada Tuhan. Tujuh hari setelah kepergian papa aku selalu datang menabur bunga dimakam papa sembari berkata kerinduanku padanya. Tetapi hari ini aku tidak datang ke makam papa. tiba-tiba mama meneleponku.
“Wilda dimana, nak, kamu tidak mengantar bunga kemakam papa?” ucap mama
“aku di kamar, ma. tidak, aku sedang tidak enak badan, aku demam, batuk dan dadaku terasa sesak beberapa hari ini.”
PENULIS
Widya Husin lahir di kota Padang, Alumni Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang 2021, Guru di SMA N 8 Padang. Ia aktif sebagai Penggiat Seni Teater, Sutradara dalam Naskah Drama Nurani (2016), Karam (2017), Sirompak (2018), Aktor dalam Naskah Drama Bandara Karya S. Metron Masdison di TIM Jakarta Pusat (2017), Aktor sekaligus penulis Naskah Drama Monolog Siti Manggopoh (2019), Peserta Terpilih dalam Jejek Virtual Akor yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (2020) dan Sutradara dalam Festival Teater Remaja Sumbar (2021). Pimpinan dalam Komunitas Seni Gauang Ganto, Sesepuh di Teater Ruang Bekas dan UKM Seni STKIP PGRI Sumbar.
Discussion about this post