
S&J PRODUKSI
Tulisan-tulisan dengan nama dan identitas singkat pengenal lainnya, terpampang di batu-batu dengan corak ciri khas arab. Ada yang tanahnya sudah kering, ada juga yang masih basah. Di sudut sana terdapat wanita dengan usia yang mulai senja, memandang dengan kosong pada satu gundukan tanah itu.
“Da, sasudah apo yang tajadi, apo uda masih tanang di alam nan lain tu?’’.
Lalu ia berlutut dan membersihkan rumput-rumput kecil yang tumbuh di atas gundukan tanah itu.
“Apo uda tau?”.
Bertanya pada jawaban yang tidak pernah ada, begitulah Dawiyah saat itu.
Teringat olehnya goresan tinta pada kertas yang mulai kekuningan, semasa jasad yang telah bernisan itu hidup, ia menuliskan sepucuk surat yang membuat Dawiyah seperti sekarang. Merana, hilang arah dan enggan melanjutkan hidup.
“Alah tu jan maratok juo, indak ado artinyo manangih di ateh pusaro lai do, indak tanang inyo di ateh jikok kau modeko. Kalimat itu terlontar dari seorang wanita kira-kira seumuran dengannya yang tiba-tiba muncul dan berdiri di belakangnya.
Dawiyah tidak berkutik sedikitpun, lalu beranjak dan meninggalkan kuburan suaminya. Dengan bayang-bayang ucapan perempuan tadi yang menggema ditelinganya.
***
Berjejer dengan hijaunya bukit barisan, sawah-sawah yang masih terjaga di sekitar desa itu. Di ujung perbatasan antara ibu kota provinsi dan jalan lintas Sumatera tempat mereka yang lalu lalang meninggalkan kota ini. Sebutannya memang kota, tetapi masih terbentang luas, sumber pencarian masyarakat sekitar. Cukup beruntung bagi mereka yang hidup di sini, di samping bisa menikmati alam yang asri, tetapi juga leluasa melangkah menuju tengah kota yang mulai terasa perubahan dari air tawar hingga menelusuri air asin. Salah satu orang yang beruntung itu adalah Saidah. Gadis yang sudah beranjak dewasa yang tinggal bersama Etek dan Mamak nya. Bukan tanpa alasan hal ini terjadi, karena nyatanya saat ia lahir, rumah tangga Ibunya tidak sebaik waktu tiga kakak yang lainnya, sekarang tinggal di ibu kota negara. Semasa itu Ayahnya berbuat hal yang sangat menyakiti hati Ibu Saidah, sehingga memilih pergi dan meninggalkan tiga anak yang lainnya untuk dikasuh oleh suaminya itu. Setelah lahir, tidak berselang lama Ibu Saidah mendahuluinya menghadap sang pencipta saat ia yang masih dalam balutan kain bersimbah darah tersebut. Untungnya ada adik dari sang ibu yang sudah beristri sudi merawatnya hingga saat ia menjadi seorang gadis yang cantik hingga dewasa. Tidak perlu risau, dari mana ASI itu berasal, Tuhan masih sayang kepada anak malang itu sehingga ia dapat menikmati minuman pertama di dunia ini tanpa kekurangan. Ya begitulah, betapa mulianya hati seorang ibu yang menyusuinya dengan panggilan Etek. Dari rahim istri Mamak, juga lahir seorang anak yang umurnya selang beberapa bulan dari Saidah. Banun, begitulah panggilan akrabnya.
Bak siang jo malam, begitulah perangai keduanya. Saidah, atau akrab dipanggil Idah adalah gadis yang tau balas budi. Setelah menyelesaikan sekolah dibangku SMA, Idah memilih untuk membantu Dawiyah Etek-nya itu mengerjakan pekerjaan rumah.
“Etek…, baa dek lah dulu se,Tek.. bia Dah tolongan, Tek.” ucap Saidah di tepian sungai dengan air yang jernih itu.
Tidak susah bagi mereka untuk hidup ditengah desa yang masih jarang menggunakan mesin cuci, pilihan untuk mencuci pakaian di Sungai adalah pilihan yang tepat. Selain hemat air juga bisa menikmati kekayaan alam yang masih terjaga di sekitar aliran Sungai tersebut.
“Eh idah, baa kok surangnyo, Banun kamano?” Tanya Dawiyah dengan tetap melanjutkan aktivitas mencucinya.
Belum sempat Saidah menjawab pertanyaan Dawiyah, tiba-tiba terdengar teriakan Banun tak jauh dari Sungai.
“Amak…….” Pekik Banun dengan telepon di tangannya
“Manga kau Banun! manolong indak, maheboh kancang kau.” Entah omelan yang ke berapa kali keluar dari mulut Dawiyah pada anaknya itu.
“Ado nan mancari amak ko ha.” Jawab Banun dengan suara yang terengah-engah’
“Sia?” TanyaDawiyah penasaran, siapa orang di balik telepon itu’
“Antahlah, dak tau Den do mangecek lah amak jo inyo ha.” Ketus Banun sambil menyodorkan telepon ke Dawiyah.
“Halo…, sia ko?” Tanya Dawiyah penasaran.
Setelah berbincang-bincang dengan orang di balik telepon, raut wajah bingung Dawiyah seketika berubah menjadi bahagia, tampaknya dia mendapatkan kabar gembira dari seberang sana.
“Iyo? Bilo tu? oh jadih, jadih.” Hanya kata-kata itu yang terdengar, hasil dari percakapan mereka.
“Idah, Banun, bisuak awak ka Bandara!” Perkataan itu sontak membuat Idah dan Banun bertanya-tanya sembari memandang satu sama lain.
“Manga ko, Mak? Mendadak se.”
“Iyo, Tek. Ado apo tu?”
“Jan banyak tanyo lai, pai se lah!”
“Jadihlah.” Ketus Banun diiringi dengan rasa penasarannya’
“Peklah, pulang wak lai.” Gesak Dawiyah sembari membereskan pakaian bersih yang telah selesai mereka cuci itu.
***
Di depan pintu kedatangan bandara, suasana penuh antusias tergambar jelas. Ada yang mondar-mandir, sesekali melirik layar besar yang memuat judul kedatangan, berharap nama penerbangan keluarga mereka segera muncul. Di tengah keramaian itu, tiga perempuan duduk berdampingan di ruang tunggu, matanya tertuju pada papan informasi keberangkatan. Seorang wanita paruh baya dengan hijab khas, sesekali mengusap keningnya yang berkerut. Di sebelahnya, duduk dua remaja putri, wajah mereka yang masih bingung tentang apa sebenarnya yang mereka tunggu di sana.
“Sia sabananyo wak tunggu ko, Mak? Lah sa jam wak siko ha!” Kekesalan itu masih saja tampak di wajah judes Banun.
“Saba lah kau dulu Banun! Ka tau juo kau beko nyo.” Sahut Dawiyah dengan nada sedikit tinggi. Sementara Saidah hanya termenung sambil memikirkan siapa kemungkinan orang di balik penantiannya itu.
Setelah selang beberapa saat, muncul lah dari pintu kedatangan tiga orang gadis dengan gaya yang modis dan kekinian. Usia mereka tampak tidak terlalu jauh satu sama lain, hanya selang beberapa tahun saja.Bahkan jika hanya melihat sekilas, orang akan melihat mereka sebagai anak kembar.
“Nan di nanti akhirnyo tibo juo, kakak-kakak Idah nan di rantau urang akhirnyo manjajakan kaki juo ka ranah minang.” Dawiyah tersenyum lebar, wajahnya sumringah karena orang yang ditunggu akhirnya datang.
“Kakak?” BenakSaidah masih bertanya-tanya, namun tampak senyum yang perlahan terukir di bibirnya karena Saidah selama ini hanya sebatang kara dan diasuh oleh Pamannya beserta istri.
“Akhirnya sampai juga anak-anak Etek. Bagaimana perjalannya?” Tanya Dawiyah antusias.
“Iya Etek, waktu landing tadi pemandangannya bagus banget.” Jawab Rahayu yang berdiri tepat di hadapan Dawiyah.
“Lu pasti Saidah kan? Ck…ck…ck…sesuai dugaan. Agak kucel dan kampungan. Tapi, its okay, cause you are my sister too.” Tanpa menyapa Dawiyah, gadis bernama Ningsih itu kemudian memeluk adiknya meski dengan begitu terpaksa.
“Sosweet…mau dong ikutan.” Rahayu memboyong Asih untuk ikut berpelukan dengan saudara-saudaranya.
“Aaaa sihhh, manga lah urang-urang ko paluak-paluak ko.”
Ditengah-tengah pelukan keempat saudara itu, Banun tanpa rasa malu langsung mengacaukan suasana yang hangat itu dengan gaya pangku tangan dan kening berkerut andalannya itu.
Sementara itu, Dawiyah hanya bisa terpaku dengan mata yang berkaca-kaca memandang anak-anak dari iparnya tersebut. Ini adalah kali pertama, ia melihat Saidah begitu bahagia. Iyah yakin di alam sana Samsidar, juga akan begitu bahagia.
“Alah lo yo, paluak-paluak tu. Ndak lameh kalian? Rancak pulang wak lai nah. Lah muak lo den di siko mah.”
“Idih, lu ngomong apaan sih. Gue nggak ngerti.” Sinis Ningsih pada Banun.
“Tau nih, dari tadi ngomel terus. yang dia bilang juga ga jelas dari tadi.” Ujar Asih.
“Udahlah kak, dek. Jangan diterusin, mending sekarang kita pulang, aku udah nggak sabar buat liat kampung halaman ibuk” Ajak Rahayu dengan lembutnya.
“Ayo, kita pulang naik kereta, pemandangannya akan lebih indah.” Dawiyah menuntun mereka menuju kereta yang tidak jauh dari bandara.
***
Setelah itu, Dawiyah mengajak semuanya untuk kembali menaiki kereta dan pulang. Di sepanjang perjalanan, mata Saidah tak pernah lepas dari kakak-kakaknya. Tak bisa dipungkiri, ini adalah momen terindah yang selama ini begitu Saidah impikan.
“Adem banget ya kak, pemandangan di sini, kenapa gak dari awal aja kita pulang kesini?”
“Adem mata lo picek, gue nih ya kalo nggak terpaksa, ogah kali datang ketempat modelan gini.”
“Gitu banget lu kak, padahal kan emang bener kata kak Rahayu.”
“Udah deh, Sih. lu nggak usah ikut-ikutan. Bikin sebel tau nggak!” Ningsih memangku tangan di dada, dan memberenggut kesal.
Sementara itu, di sisi lain. Saidah dan Dawiyah hanya dapat geleng-geleng kepala menyaksikan pertengkaran kecil yang diciptakan oleh ketiga orang yang berasal dari kota tersebut. Selang berapa detik tawa pun tak dapat ditahan keduanya kala melihat Rahayu dan Asih yang kompak mengerjai Ningsih dengan menggelitiki sang kakak. Sedangkan Banun, memilih untuk memalingkan wajahnya dan tenggelam melihat setiap objek yang dilalui kereta.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya mereka sampai di rumah. Ningsih menghentikan langkahnya tepat di pekarangan.
“Iiih, rumahnya kok gini?”
“Yo tu baa? Modeko rumah den. Yang penting kan punyo surang. Ndak nyewa kayak situ do. Emang situ punyo rumah?”
“Banun, kau jago lah kecek kau tu, bantuak ndak diaja mah. Jaleh akak-akak kau tu baru sakali ko kamari. Tu biaso se kalau nyo takajuik’’
“Yo inyo tu nyo, sukur alah nio ditampuang tu.”
“Iyo, iyo Uni. Maafan akak nyo Idah yo, Ni.”
“Ndak maaf-maaf do, sakik ati den.”
“Ooh sakit hati lu, terus urusannya sama gua apa?”
“Kak, udah jangan diperpanjang lagi, toh kita kan tamu di sini.” Rahayu menghentikan Ningsih agar tak melanjutkan perdebatan tak pentingnya dengan Banun.
Banun menghembuskan nafas kasar, memutar bola mata kesal dan menghentakkan kaki sebelum pergi meninggalkan mereka.
Melihat tingkah anaknya, Dawiyah hanya dapat menggelengkan kepalanya. Dan kemudian kembali mengajak keempat bersaudara untuk masuk ke dalam rumah.
“Aaa ndak baitu do, rancak masuak wak dulu. Kan lapa gai nak paruik tu?” Dawiyah memboyong Ningsih dan adik-adiknya untuk masuk.
Meski kesal, tak ada yang dapat Ningsih lakukan selain mengikuti Dawiyah.
Lalu Dawiyah membuka lemari lauk pauknya. Dihidangkan semua yang telah ia buat sebelum ke bandara. Sepiring samba lado uwok, pucuk kangkung, telur dadar dan kerupuk jengkol. Hidangan yang sangat menggugah selera, meskipu makanan kampung dan sederhana. Melihat makanan yang dihidangkan oleh Saidah dan Dawiyah, Ningsih dan Asih berbisik.
“Sendok lah nasi tu lai, alah lapa kan?” Dawiyah
“Kak, Ini kita beneran cuma dikasih ini?”
“Tau noh, dikira kita kambing apa? Dikasih ginian.”
“Muka lu noh kak yang mirip kambing.”
“Gila lu” Ningsih.
Percakapan Ningsih dan Asih terdengar oleh Banun.
“Makan se lah eh a nan ado tu. alah untuang diagiah makan tu.”
Rahayu kemudian mengingatkan saudaranya,
“Kak kamu nggak capek rusuh terus, bersyukur kak, bersyukur. Makan aja ya, apa yang ada.”
Setelah mencoba makanan itu ternyata Ningsih suka hingga tak sadar kakinya terangkat karena terlalu menikmati.
“Paja ko lai ba taratik ko. Oi ndak pandai kau duduak elok-elok doh. Palokan lah latak kaki kau tu ah.”
Ningsih tak terlalu mengindahkan. Dan dibantu Rahayu menurunkan kakinya.
***
Detik berganti jadi menit, menit berubah menjadi jam dan kemudian menjelma menjadi hari. Setiap hari yang berganti, sebanyak itu juga kisah-kisah baru terukir. Banyak canda, tawa, dan duka yang sebelumnya hanya dilewati masing-masing, kini dihadapi bersama-sama dengan ikatan yang berlabelkan saudara.
Ningsih, Rahayu, dan Asih yang pada awalnya begitu kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan Saidah. Kini mulai terbiasa dan nyaman berada di negari kelahiran ibu mereka. Mungkin hanya Ningsih yang tampak kesulitan karena tak mudah baginya untuk meninggalkan kehidupan kota dan teman-temannya disana.
“Eh, Kak hari ini giliran kamu bukan nyuci piringnya?” tanya Rahayu pada Ningsih.
“Lah perasaan dari kemarin gue mulu. Si Banun noh belum.”
“BANUN, WOI BANUN!!!” teriak Ningsih.
Tak lama berselang setelah teriakan menggelegar dari Ningsih. Bukan hanya Banun yang datang. Namun juga Saidah, yang juga ikut bergabung.
“Aaa sih, manga lai manggia-manggia den. A juo salah den lai?”
“Apa ini kak? Kenapa Kakak teriak-teriak?”
“Pake nanya lagi lo, liat noh piring udah numpuk, buruan cuci.” Titah Ningsih
“Tu? Den lo yang nyuci liak? Patang alah den lo, tu kini den lo baliak? Lamak na iduik ang tu?”
“Anjir, lu ngomong apaan sih. Kan udah gue bilang kalo interaksi sama gue harus pake bahasa Indonesia. Gue tu gak ngerti goblok.”
“Tu peduli a den?”
“Kak udah, jangan diperpanjang lagi. Biar Rahayu aja yang nyuci piringnya.”
“Nggak! Mana bisa gitu, kan lu yang bilang kalo promise is promise. Kita harus tepat janji sama apa yang kita sepakati. Sekarang kan jadwal dia nyuci piring.”
“Alah dikecekan den alah nyuci piriang. Basikareh juo manyuruah den.”
“Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?” Asih datang dengan menggendong seekor kucing di tangannya.
“Biasalah, Sih. Kak Ningsih sama si Banun lagi yang ribut.”
“Oalah, kali ini masalahnya apa kak?”
“Tentang cuci piring.”
“Eh kok malah mereka yang ribut sih, kan hari ini giliran aku yang cuci piring.”
Kata-kata yang terlontar dari mulut Asih, membuat Banun merasa senang.karena merasa benar. Sedangakan Ningsih, merasa malu dan dengan kesal meninggalkan
***
Setelah beberapa waktu berada di kampung, Etek Dawiyah memberitahukan kepada tiga kakak Saidah perihal pembagian harta warisan yang telah diamanahkan oleh Mamak mereka. Mendengar hal itu mereka begitu riang karena mendapat bagian dari harta warisan tersebut. Dibawalah mereka untuk melihat pembagian dari masing-masingnya. Namun, Ningsih anak tertua dari empat bersaudara itu protes dan tidak menerima pembagian yang diperolehnya. Ia merasa pembagian itu tidak sama rata. Ia merasa seharusnya sebagai Kakak tertua ia harus mendapat bagian yang lebih besar dibandingkan adik-adiknya.
“Tek, kok gini ya, seharusnya aku dong yang dapat harta warisan paling banyak, secara aku anak tertua. Ah, nggak adil!” teriak Ningsih yang haus akan harta itu.
“Ooo jadi kakak pikir, harus dapat paling banyak gitu? Karena umur lebih tua? Oh nggak bisa gitu dong Kak, kan udah dibagi sama rata” lanjut Asih yang mulai geram dengan perilaku Kakaknya.
“Etek indak tau nak, Mamak kalianlah yang alah maninggan wasiat coitu ka Etek, Etek hanyo manyampaian amanah dari Mamak kalian” ucap Dawiyah yang mulai bingung dengan Ningsih.
“Kak, terima saja apa yang telah disuratkan Mamak, pasti Mamak telah memikirkan matang-matang perihal ini, tolong hargai” Saidah mulai bersuara.
“Jangan sok bijak deh lo pada, pasti lo semua takutkan bagiannya gua ambil, alah basi. Ini pasti permainan lo kan Saidah, lo maunya lo yang dapat bagian lebih besar. Isi otak lo udah gua baca. Etek juga pasti udah ambil bagian sendirikan? Yang buat bagian gue kurang ” judes Ningsih kepada adik-adiknya dan Etek Dawiyah.
“Yo cangok paja ko nak”
“Diam, diam. Salamoko den diam mancaliak kau, awalnyo sanang den mancalik kau tibo ka kampuang, den raso elok kau, kironyo indak. Den ndak tahan lai urang yang salamoko marawat den kau gituan” Saidah mulai bersiteru dan berusaha mencekek Ningsih.
“Gilo juo Saidah ko kironyo yo, bantuk aia muaro paliharo buayo, takuik den mah ancak dn rekam lai bia viralkan a”
“Eh dah, lo mau ngapain, lo mau bunuh gua? Memang ya lo gila harta, mentang mentang dari kecil lo di sini, seenaknya aja lo kek gitu” Ningsih mulai mundur perlahan-lahan.
“Masih juo kau tuduh den lai, den indak sagan-sagan mambunuh kau yo” ucap Saidah yang sudah memuncak itu. Dia naik pitam, entah kenapa Saidah yang lemah lembut itu hilang begitu saja berganti menjadi Saidah yang penuh amarah.
“Alah nak oi, jan sampai manyasa beko nak, dunsanak awak tu nak” teriak Dawiyah yang cemas akan tingkah Saidah itu.
“Indak Tek, inyo alah kelewatan, kalau memang inyo nio maambik bagian labih, bia Idah nan manyatukannyo langsuang ka tanah ko Tek”
“Mangucap dah, ngucap”
Rahayu dan Asih mencoba memisahkan. Tetapi bukannya berhasil mereka juga ikut terserang oleh Saidah. Saling ketakutan dan bingung harus berbuat apa. Di tengah tanah pusaka itu mereka saling bertikai. Setelah berhasil mencekek Ningsih dan menghembuskan nafas terakhirnya. Saidah mulai sadar apa yang dia perbuat. Tidak disangka, Asih menikamnya dari belakang. Dan membuat Saidah terkulai lemas.
“Allahuakbar” teriak Dawiyah yang menyaksikan kehilangan nyawa berantai itu.
Setelah itu, Asih berlari terbirit-birit. Ia takut masuk penjara atas perbuatan yang ia lakukan. Sehingga ia lari dan menghilang begitu saja. Sedangkan Rahayu tidak tau harus berbuat apa begitu juga dengan Dawiyah. Ia mulai menghampiri keponakan suaminya itu yang sudah tidak bernyawa lagi. Rahayu menatap kosong kepada kedua mayat itu. Lamunan dengan air matanya yang terus saja menetes. Hingga membuatnya stres dan mulai prustasi duduk memaku dan menangis. Banun yang sedari tadi merekam perseteruan itu, menghilang, sekiranya ia akan segera menghubungi polisi dan mencari keberadaan Asih yang kabur.
***
“Mak, di siko Amak kironyo dari tadi nun cari-cari lai”
“Duduklah kau siko lu Banun, doakan Abak kau ko”
“Bak maafan Banun yo Bak, Mak maafan Banun yo Mak”
“Iyo Nak, Amak maafan” Keduanya hanyut dalam pelukan hangat di depan pusara suami dan Abaknya. Begitu panggilan akrabnya
“Lah Mak, pulang wak lai bisuk kamari baliak”
Dengan tertatih-tatih Banun membimbing Amaknya berjalan pulang
Selesai

S&J Produksi adalah grub produksi film pendek di Padang. Terbentuk ketika mendapatkan tugas film pendek pada mata kuliah Sinematografi di Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Kelompok ini terdiri dari delapan orang anggota perempuan. Cerpen Umanaik ini adalah cerpen pertama dari Umanaik, yang sudah dialih wahanakan menjadi skenario film dan produksi film pendek. Dapat menyaksikannya pada link berikut https://youtu.be/CIm8nvaxB4I?si=XYj4Pa5S49v4ljEp
Discussion about this post