
Hikayat Raja Pasai menggambarkan peristiwa di Sumatra pada rentang 1280 dan 1400. Terdapat cerita aneh dan tak terbayangkan di dalam catatan tersebut. Tertulis dalam cerita Majapahit, Raja melancarkan ekspedisi untuk menaklukkan pulau Sumatra dengan jumlah armada 500 kapal perang yang berisikan para hulubalang, patih, 200.000 tentara, dan seekor kerbau raksasa sebesar gajah jantan. Armada ini berlayar sampai ke Jambi dan kemudian masuk menelusuri sungai-sungai dan sampai pada dataran tinggi yang disebut Pariangan. Utusan Majapahit tersebut mengusulkan pada pimpinan lokal, Patih Suatang dan Patih Ketemanggungan agar pertempuran dilakukan secara simbolis dengan kerbau. Posisi pemenang ditentukan oleh kemenangan kerbau masing-masing. Teks cerita ini disalin secara utuh dari tulisan Jefrey Hadler, “Sengketa Tiada Putus” yang mengutip teks Hikayat Raja Pasai:
“Maka dilepaskannyalah kerbaunya oleh orang Majapahit. Maka kerbau itu pun seperti singa mencari lawannya. Maka kerbau itu pun bermainlah di medan. Maka anak kerbau itu pun dilepaskan oleh Patih Suatang. Maka ia pun sangatlah lapar dahaga, lalu ia menyerbu seperti kilat menyusup ke kerampang kerbau besar itu mengisap buah pelir kerbau besar itu tiada lagi dilepasnya. Maka kerbau besar itu pun terpusing-pusing tiada lagi ia berdaya, hendak menanduk sukar karna di bawah kerampangnya. Maka ia lari ke sana ke mari itu pun tiada juga dilepaskannya buah pelirnya oleh anak kerbau itu. Maka kerbau besar itu pun menjerit-jerit mengguling-gulingkan dirinya.
Maka kalahlah kerbau ratu Majapahit itu. Maka sorak orang pun gemuruh seperti tagar. Maka penggawa yang tiga orang itu pun kemalu-maluan, lalu ia hendak kembali. Maka kata Patih Suatang dan Patih Ketemanggungan, “Ya saudara hamba penggawa Sang Nata, berhenti apalah tuan hamba dahulu barang dua hari, karna hamba hendak bersuka- sukaan dengan tuan-tuan hamba, tanda kita muafakat, hamba hendak makan minum dengan tuantuan sekalian.” Maka kata penggawa itu, “Baiklah jikalau tuan suka, hamba berhenti.”
Maka Patih Suatang pun membunuh beberapa ratus kerbau, lembu, kambing, itik hayam akan tambul makan minum itu, dan beberapa ratus tapaian kilang dan beram tapai. Maka diisinya kepada buluh telang segala minuman itu seruas-ruas buluh serta dipancungnya tajam-tajam hujungnya, adalah banyaknya itu beriburibu minuman itu.
Setelah sudah lengkap, maka kata Patih Suatang pada segala hulubalangnya dan segala rakyatnya, “Hai tuan-tuan sekalian, setelah sudah jamu kita makan, maka man-tuan tatang minuman pada buluh telang itu, satu seorang, lalu tuan- tuan tuangkan pada mulutnya sama-sama seorang seorang. Setelah ia bernganga lalu man-tuan sama-sama meradakkan, alamatnya apabila tabuh berbunyi hendaklah sama-sama meradakkan supaya habis mereka itu mati.”
Setelah sudah ia berwaad itu, maka Patih Suatang itu pun seorang hulubalangnya disuruhnya memberitahu segala penggawa Jawa itu, suruh duduk bersaf-saf di padang hampir negeri Periangan itu. Setelah sudah ia duduk beratur, maka segala air dan hidangan pun diangkat oranglah ke hadapan segala penggawa itu dan segala menteri dan segala rakyat. Maka kata Patih Suatang, “Santaplah segala kiai-kiai akan jamu hamba orang Pular Perca tiada dengan sepertinya.” Maka kata segala penggawa itu, “Menerima kasihlah hamba sekalian akan kasih tuan-tuan sekalian.” Maka makanlah sekalian mereka itu masing-masing pada hidangannya.
Setelah sudah ia makan, maka berdirilah segala hulubalang dan rakyat membawa minuman itu seruas seorang buluh telang itu, lalu ia hampirlah pada seorang seorang. Maka hendak disambutnya oleh orang Jawa itu tiada diberinya oleh segala rakyat Pulau Perca itu katanya, “Tiada demikian adat kami, melainkan kami juga menuangkan dia kepada mulut tuan-tuan akan memberi hormat jamu kami itu.” Maka sekaliannya pun berngangalah, maka tabuh pun berbunyi, maka sekaliannya pun menuangkan lalu meradakkan ke kerongkongannya. Maka setengah mereka itu habislah mati, dan setengah mereka itu lari, maka dalam padang itu beberapa banyaknya pohon bengkudu habis condong ke timur daripada dilanggar oleh segala rakyat itu lari, sampai sekarang condong juga bengkudu itu semuanya; jikalau tumbuh anaknya pun condong juga ia ke timur. Maka mayat segala Jawa itu pun busuklah kepada padang itu, maka dinamainya tempat itu Padang Sibusuk datang sekarang, dan tempat mengadu kerbau itu dinamainya negeri itu Menangkabau datang sekarang.
Maka segala rakyat yang lari itu pun pulanglah ia ke Majapahit dengan masyghulnya dan percintaannya, maka keluarlah ia dari Jambi lalu ia berlayar menuju negerinya; beberapa lamanya ia di laut, maka sampailah ia ke Majapahit lalu naik ke darat sekaliannya mengadap Sang Nata, serta bepersembahkan perihalnya daripada permulaannya datang kepada kesudahannya, [katanya] “Demikianlah tuanku akan halnya itu.” Maka Sang Nata pun tiada terkata-kata lagi, terlalu amat sangat masyghulnya akan segala penggawanya dan menteri baginda yang besar-besar itu yang diharapnya”.
Cerita kerbau yang menang adalah cerita yang hidup dalam memori kolektif orang Minangkabau. Setiap surahan tentang asal mula nama Minangkabau diasosiakan pada cerita legenda kerbau yang menang. Memori kolektif itu terkadang menjadi imunitas penguat identitas kepercayaan diri orang Minang yang tidak pernah bisa dijajah secara batin dan “mungkin juga secara lahir” oleh Belanda ataupun Jawa.
Tuan dan puan yang saya hormati! Siapa yang tidak kenal Minangkabau? Banyak tokoh yang meracau tentang glorifikasi Minangkabau. Sejarah diudar dengan penuh kebanggaan dan kesadaran yang limbung dalam buku-buku sejarah dan hasil-hasil penelitian. Akan tetapi, dengan segala kerendahan hati dikatakan, itu dulu. Minangkabau sudah bergeser. Panta Rei kata Herakleitos, “Semuanya berubah!”.
Kebudayaan tak pernah lepas dari industrialisasi. Kebudayaan Minangkabau bisa saja sudah dibajak secara serampangan oleh para akademisi yang bersetubuh dengan para politisi, budayawan, dan seniman. Politisi meneroka di atas kuduk kebudayaan dan kesenian sembari mengagak-agak program bancakan baru. Para budayawan terdiam, seniman terkantuk-kantuk menikmati kopi impor, dan akademisi sibuk menyiapkan postulat-postulat pembenaran. Postulat-postulat itu dipantekkan dalam jurnal-jurnal yang tak pernah serius dibaca. Apakah pernyataan-pernyataannya agak keras terasa di kuping dan pedas di mata tuan dan puan? Kalau iya, itu sengaja agar penyakit itu tidak semakin teruk benar. Degradasi Minangkabau terlihat nyata, bukan saja dari perangai anak-anak mudanya yang tidak lagi arif dengan adatnya, tetapi juga nyata terpendar dari laku elitnya yang menginjak-injak nilai-nilai sumbang dalam adatnya. Basuluah matohari, bagalanggang mato rang banyak. Degradasi itu bukan satire, itu kenyataan busuk yang harus ditelan. Orang Minang berjaya di panggung sejarah. Cerita kejayaan itu diulang-ulang dengan glorifikasi dan rasa bangga. Narasi-narasi utopis terus dibangun hanya dengan kesadaran sejarah. Frasa itulah selimut kepalsuan yang terus melilit kepribadian Minangkabau. Hangat dalam pelukan sejarah tetapi terus dipunggungi oleh kemajuan zaman.
Kita tidak sedang menjadi Cindua Mato yang sengaja mengalah kepada Tiang Bungkuak dalam kaba yang diurai tetua adat. Kekalahan Cindua Mato berakibat pada ratanya Pagaruyung karena dibakar. Lalu Dang Tuanku serta Bundo Kanduang lari terbirit-birit meninggalkan datarannya. Tidak, kita tidak sedang pura-pura mengalah, kita benar-benar kalah dihadang kemajuan zaman! Mana kebudayaan Minangkabau? Kota Padang saja sebagai gerbang masuk orang menelusuri wilayah-wilayah alam Minangkabau seakan semakin jauh dari kebudayaan Minangnya. Sejak kapan mamak mengajarkan keponakannya untuk berkumpul dan tawuran sebagai budaya khas Kota Padang akhir-akhir ini? Apakah masih ada residunya budaya Minangkabau itu? Apa dia tersisa di puing-puing gedung kebudayaan yang tak kunjung selesai? Apa habis saja menguap ke permukaan seperti bercarut-carutnya fungsi Dewan Kesenian Sumatra Barat? Atau memang Minangkabau hanya sekadar legenda yang tertanam dalam kepala.
Tuan dan puan yang saya hormati! Tidakkah pekak telinga tuan dan puan mendengar sejumlah permasalahan Sumatra Barat? Kita pisahkan saja Minangkabau dan Sumatra Barat. Dua entitas yang berbeda. Sumatra Barat hanya wilayah administratif, sedangkan Minangkabau adalah sebutan kultural. Masalah Sumatra Barat adalah nanah bagi kebudayaan Minangkabau.
Pada wilayah administratif inilah entitas kebudayaan matrilineal ini tumbuh dan berkembang. Tumbuh untuk terbunuh dan berkembang untuk lekang. Mungkin Minangkabau tetap hidup. Hidup dalam pitutur adat lewat pepatah petitih lalu terjerembab ke lurah dalam karena tingkah laku orang-orangnya. Pitutur adat hanya menjadi atavisme (adat kebiasaan kuno yang turun-temurun) tanpa pernah diserap lagi akhir-akhir ini dalam perangai sosial masyarakat. Mari kita udar saja sedikit perkabaran tentang perangai yang tumbuh di ranah Minang akhir-akhir ini. Kata salah seorang tuan dokter dari salah satu rumah sakit di Padang, terdapat pertumbuhan angka HIV di Sumatra Barat setiap tahunnya karena hubungan seksual sesama jenis yang dilakukan para bujang-bujang gay di Sumatra Barat. Hasrat terlarang itu menyeruak di antara keponakan-keponakan yang mungkin tak lagi diasuh oleh mamangan adat dan bimbingan mamaknya.
Akhir-akhir ini kasus erotisme menyeruak ke permukaan alam Minangkabau. tentu yang paling anyar dan fenomenal yaitu pemerkosaan yang berujung pembunuhan dalam kasus Nia di Kayu Tanam. Baru saja usai cerita Nia, muncul lagi cerita Cinta yang dibunuh di Tanah Datar. Peristiwa Kayu Tanam tersebut mengingatkan kita pada kaba Siti Baheram yang ditulis oleh Syamsuddin St. Radjo Endah. Dalam kaba tersebut dikisahkan ada Si Djoki yang dikenal penjudi dan terlalu dimanja oleh Mandehnya. Secara pendidikanpun rupanya di Si Djoki tidak pernah mendapatkan pengajaran yang cukup. Dia berteman dengan Si Ganduik. Singkat cerita, dua orang ini melakukan pembunuhan terhadap Siti Baheram yang pernah menolongnya disaat lapar dan merampoknya. Hasil rampokan itu mereka pakai untuk berjudi di pacuan kuda Bukittinggi. Akhirnya, mereka ditangkap dan Djoki mendapatkan hukuman gantung. Kaba Siti Baheram tersebut sebenarnya berasal dari kisah nyata yang dilaporkan dalam surat kabar Sinar Sumatra terbitan Padang edisi Kamis, 16 November 1916. Kisah tentang Siti Baheram tentu tidak sama dengan kasus Nia dan Cinta yang diduga berkaitan dengan hasrat seksual. Setidaknya kita belajar bahwa setiap peristiwa kejahatan dan prilaku menyimpang ada sebabnya.
Palupuah tadia nan dibantang Puti batanun suto perak Sungguahpun kaba nan dirantang Suri tauladan untuak rang banyak
Tuan dan puan yang saya hormati!
Jika ditelusuri betul, sebenarnya Minangkabau tidak punya jejak kebudayaan yang terlalu mengumbar hasrat. Erotisme Minangkabau biasanya terbenam dalam malu dan raso pareso yang berkucindan hidup dalam mamangan adatnya. Pepatah petitih adalah kekuatan utama dari Minangkabau. Jane Drakard dalam “A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra” menuliskan bahwa Minangkabau merupakan kerajaan kata-kata dan tidak pernah menonjolkan kekuatan fisik dalam sejarahnya. Penelusuran sederhana saya dalam kebudayaan Minangkabau yang agak mengarah pada pembicaraan seksualitas mungkin bersua dalam Kaba Cindua Mato. Dalam Kaba itu dikisahkan bagaimana kehamilan Bundo Kanduang terjadi setelah meminum air kelapa nyiur gading dan lahirlah Dang Tuangku. Fragmen sejarah yang diuraikan dalam kaba tersebut tentu jauh dari nalar dan rasionalitas. Mungkin memang begitu lakunya orang Minang, tidak pernah gamblang bicara persoalan apapun. Hakikat persoalan sering dibicarakan dalam kain sarung kata-kata kiasan melalui pitutur adat. Lain lagi dengan tulisan Ajo Dr. Suryadi yang menguraikan bait-bait pantun Minang berdasarkan naskah yang ada di Perpustakaan Leiden University. Ajo menuliskan bahwa erotisme dalam pantun Minangkabau itu terasa tapi tidak mengesankan betul. Sebagai contoh, dia melampirkan dalam tulisannya beberapa bait pantun dengan topik “buah pauah janggi” sebagai salah satu simbol erotisme dalam pantun Minangkabau yang melambangkan buah dada perempuan.
Demikianlah, erotisme, hasrat, dan seksualitas tidak pernah diumbar dalam laku budaya Minangkabau. Namun, kenapa tiba-tiba kita disedakkan oleh semburan fakta bahwa data LGBT di Sumatra Barat begitu tinggi. Apakah erotisme dan hasrat yang disurukkan itu jauh lebih berbahaya dibanding bermaujud secara zahir dalam kesusastraan dan kebudayaan? Perempuan Minang mendapat saingan tak terpikirkan untuk mencari jodoh. Banyaknya riak-riak bujang berparas cantik menjadikan perempuan Minang terpinggirkan dan tidak lagi menjadi pilihan. Mantra-mantra pekasih di Minang mungkin tak laku lagi karena bujangnya sudah banyak yang menjelma menjadi bujang berkebutuhan khusus. Toh, mantra pekasih di Minangkabaupun tertulis tanpa menunjukkan vulgaritas. Karena sekarang mantra ini tak lagi laku karena terjadi pergeseran rasa pada bujang-bujang Minang, maka Saya contohkan mantra pakasiah yang kerap dipakai dalam budaya Minangkabau yang dikutip dari “Sastra Lisan Minangkabau”:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
hak biso bukannyo biso biso
Allah labiah tajam dari pada padang l
abiah angek daripada api l
abiah biso daripada ipuah
hai sahabaek nan barompek
jagolah angkau, bangunlah angkau
untuak manjapuik ruah sumangaik si …
kok dapek si anu sodang lalok
sentakkan ubun-ubunnyo
sentakan ampu kakinyo
hantakkan ka hati jantuangnyo
kasiah sayang cinto nan rahim kapado
aku kabua barakaek lailaha illallah
Terlihat, dalam hal membuat mantra perkasihan pun orang Minang tidak pernah banal. Semua ditata dengan elok. Terjadinya penyimpangan seksual dan degradasi moralitas dalam pergaulan anakanak muda Minang tentu banyak sebabnya. Kemajuan teknologi menjadi faktor dominan yang tidak bisa terelakkan. Teknologi yang semakin maju diiringi dengan daya nalar yang jauh mengalami penurunan. Anak-anak muda terjebak pada penurunan daya serta kemampuan kognitif dan afektif secara massal. Pengumbaran hasrat dan ekspresi seksualitas yang dulu tersuruk dalam rongga rasa malu sekarang tersaji di genggaman masing-masing. Gawai mengubah semuanya. Menaikkan perekonomian segilintir orang dan menurunkan harga diri banyak orang. Termasuk perempuan Minangkabau yang menjadi cerminan kaumnya.
Tuan dan puan yang saya hormati!
Diselisik lagi dalam ranah yang lain. Minangkabau dulunya adalah industri otak yang tidak pernah kekurangan stok. Otak-otak berkualitas diproduksi dan berdiaspora di segala penjuru Nusantara dan dunia. Tidak hanya dalam urusan duniawi, soal ukhrawi dalam keulamaanpun Minangkabau memiliki fragmentasi sejarah yang tidak sembarangan. Dulu… Realitasnya, tanpa bermaksud untuk berinsinuasi, orang-orang Minang sekarang juga banyak yang sukses dengan gelar-gelar akademiknya. Berapa banyak lahir doktor dan profesor yang berlatar belakang keturunan Minang. Ijazah dan gelar tumpah ruah, ditambah lagi dengan deretan gelar bangsawan adat di depan namanya. Siapa yang tak segan! Doktor atau Profesor, orang Minang yang terkenal kehebatannya, bangsawan adat pula. Aduh, paripurna betul tuahnya orang yang memiliki unsur seperti itu. Akan tetapi, dengan segala potensi dan sumber daya manusia yang diandalkan itu, dimana posisi Sumatra
Barat dan Minangkabau sekarang? Bagaimana pembangunan, perekonomian, pariwisata, kebudayaan, keagamaan, dan isu-isu sentral kemajuan daerah lainnya? Sudah sampai dimana kita melangkah maju? Atau jangan-jangan hanya berputar-putar dalam labirin ketirtinggalan dan kebodohan lalu mengulang-ulang kembali cerita masa lalu. Dulu orang mengolok-olok doktor dengan sebutan doktor batang pisang. Seperti tuan dan puan ketahui, batang pisang hanya sanggup berbuah satu kali. Begitulah ejekan orang terhadap tuan dan puan doktor yang tidak pernah berkarya lagi setelah doktornya. Baik itu karya akademik ataupun karya nyata di tengah realitas masyarakatnya. Sekarang karena kita hidup di era dunia akademik yang semua orang adalah profesor atau gampang saja jadi profesor. Jangan heran, bisa saja nanti ke depan akan ditemui Profesor Rebung di Minangkabau ini. Kenapa rebung? Rebung adalah tunas bambu yang bisa saja disimbolkan sebagai harapan baru dan tunas yang akan membawa pembaharuan. Rebung hanya bisa dinikmati ketika awal-awal. Kalau sudah terlalu lama, dia akan mengeras dan menjulang tinggi. Kerasnya tak lagi tergigit dan sulit menerima kritikan serta tingginya menjulang lalu mudah dibuai-buai angin. Apalagi angin kekuasaan dan keserakahan.
Tuan dan puan yang saya hormati!
Banyaknya persoalan dan persialan yang diurai tadi tentu belum seberapa dibanding kompleksitas persoalan yang terjadi sebenarnya. Perlu rasa-rasanya dilakukan pertobatan kebudayaan. Bertobat sebagai orang Minang sembari bertobat kepada Tuhan. Sebagai orang Minang jangan hanya meracau tentang keluhuran Minangkabau tanpa benar-benar berproses menjadi Minangkabau yang luhur itu. Sebagai orang beragama, perlu mengadakan pertobatan agar bisa menyiapkan bekal yang cukup untuk menghadap Tuhan. Kita tak punya keberanian menyogok malaikat di akhirat dengan tuak dan isapan candu seperti yang dilakukan oleh Si Jamain. Gara-gara bekal tuak dan isapan candu yang dia bawa ke akhirat itulah dia ditendang oleh Malaikat sehingga masuk surga. Kisah itu pernah dituliskan oleh A.A Navis dalam cerpen kontroversial yang berjudul “Man Rabbuka”. Silakan tuan dan puan lanjutkan saja nanti membacanya. Saya tak mau terseret-seret ikut kontroversi seperti itu karena akhir-akhir ini akal, lidah, kuping, dan perasaan orang semakin tipis dalam beragama. Atau bahkan sudah mati rasa dalam beragama. Kalau pertobatan kebudayaan ini tidak dilakukan, kita bisa menjadi Malin Kundang. Bukan Malin yang dikutuk menjadi batu karena durhaka kepada ibundaya dalam legenda yang didengar selama ini. Bukan pula cerita Malin Kundang sebagaimana yang ditulis oleh Wisran Hadi. Wisran Hadi membuat cerita bahwa Malin Kundang itu Cina yang bernama
Liem Khoon Doang. Liem Khoon Doang mengupah para sastrawan agar menulis mitos bertaraf nasional tentang dirinya yang kaya berkat kemiskinan banyak orang. Setelah cerita itu selesai, Liem Khoon Doang tidak membayarkan. Upah pengarang seperti yang dijanjikan, lalu dia dikutuk menjadi batu oleh para sastrawan. Bukan pula Malin Kundang versi A.A Navis yang mengutuk dirinya sendiri menjadi batu karena menganggap lahir dari perut ibu yang keliru. Kita semua adalah Malin Kundang. Tapi, bukan Malin Kundang yang fisiknya menjadi batu, melainkan hatinya yang membatu. Hati yang keras membatu karena dikutuk oleh sabda-sabda luhurnya kebudayaan yang diulang-ulang, tapi hanya tersisa dalam cerita.
Tuan dan puan yang saya hormati!
Dalam bayang-bayang distopia, di mana segala sesuatu berubah menjadi buruk dan tidak menyenangkan, mungkin Minangkabau tidak lagi terlihat gagah sebagaimana cerita menangnya anak kerbau yang heroik dari kerbau utusan Majapahit sebagaimana yang diurai di awal tulisan ini. Kita terperangkap dalam lumpur kebudayaan yang semakin mengering. Kerbau yang dulu sebagai simbol kemenangan dan kejayaan local genius kebudayaan sudah terkena miang yang gatal dan menggaruk-garuk ingatan kolektif kita. Minangkabau tidak lagi benar-benar menyentuh sebagai inspirasi yang menggerakkan untuk bertindak memperbaiki keadaan. Miang yang ada di kerbau itu terus mengganggu dan mencabik ingatan pada masa lalu, lalu terperangkap pada distopia kebudayaan yang semakin membusuk. Hati telah membatu, terperangkap dalam distopia yang diciptakan sendiri. Cerita kejayaan terus diulang dan tidak pernah benar-benar hidup dalam nilai-nilai yang diwariskan oleh cerita itu. Seperti kerbau yang terperangkap dalam lumpur, tidak bisa bergerak maju, hanya bisa meratapi nasib dan sementara itu dunia terus berubah. Minangkabau harus bangkit dari distopia. Miang yang mengganggu harus dibersihkan dan mengembalikan kerbau-kerbau itu ke medan pertempuran yang sebenarnya. Medan pertempuran itu bukan lagi melawan kerbau besar dari Majapahit, tetapi melawan kemalasan, ketidakpedulian, dan keengganan kita untuk berubah. Kita harus menjadi kerbau yang hidup, bukan kerbau yang membatu. Kita harus kembali ke akar kebudayaan Minangkabau, bukan hanya sebagai nostalgia, tetapi sebagai kekuatan untuk menghadapi tantangan zaman. Singkirkan miang yang mengganggu itu, dan distopia miang kabau ini harus berakhir. Kerbau-kerbau itu harus berlaga lagi untuk kembali mendapatkan kejayaan kebudayaan.
Padang, 7 Maret 2025
Aidil Aulya, dosen Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang
Discussion about this post