
Oleh: Reo Chandrika
Dalam menjalani kehidupan, setiap orang pasti menginginkan ketenangan, kebahagian, serta keberhasilan. Tiga hal tersebut harus diperhatikan betul dan pasti bisa dicapai dengan selalu mengatur pola pikir yang benar. Dinamika kehidupan setiap orang sangat beraneka ragamnya. Seiring berjalannya waktu, mulai dari masa anak-anak, remaja, sampai pada usia dewasa, setiap orang mempunyai tantangan hidup masing-masing yang berbeda. Dan, puncak dinamika tersebut terjadi pada masa dewasanya.
Sejauh ini, saya telah mengamati berbagai model karakter individu dalam menghadapi masalah dalam hidupnya, mulai dari masalah kecil sampai kepada masalah yang super ruwet dan genting. Tapi, tak perlu kaget juga, sebab semua itu menjadi keniscayaan yang pasti akan dialami oleh setiap orang.
Dalam filsafat stoikisme, hal-hal yang berkaitan dengan kecemasan, tekanan batin, kegagalan dalam mencapai kebahagiaan, menjadi objek kajian yang akan dituntaskan. Sebagaimana yang diperkenalkan oleh pencetus filsafat ini, yaitu Zeno (pedagang asal Siprus, pula bagian selatan Turki) pada 300 tahun SM yang mengedepankan “kebajikan sebagai hal tertinggi” (Summum Bonum).
Orientasi dari filsafat stoikisme tidak hanya berhenti pada intellectual exercise (peningkatan kemampuan intelektual) saja, akan tetapi, telah menjadi sebuah metode yang digunakan secara praktis untuk mencapai kebebasan sejati. Hemat saya, kunci dari filsafat stoikisme ini adalah tentang bagaimana sikap kita untuk menerima keadaan (dalam bahasa Islam bisa disebut takdir) dan bagaimana cara kita mengendalikan diri agar tidak ikut tergoncang atas peristiwa luar diri (eksternal).
Sebuah ungkapan Epictetus dalam bukunya yang berjudul “Discourses”, ia mengatakan bahwa “Tugas utama dalam hidup hanyalah mengidentifikasi dan memilah masalah agar bisa dipahami dengan jelas kepada diri sendiri. Manakah masalah-masalah eksternal yang tidak dapat dikendalikan dan manakah yang dapat dikendalikan?” Dari kalamnya tersebut, Epictetus mengajak kita untuk memilah dan memilih mana hal yang bisa dikendalikan dan mana yang tidak bisa dikendalikan.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa semester akhir yang sampai larut malam ia berada di hadapan laptop, menelusuri setiap kata dan paragraf dari karya tulisnya. Seminggu berlalu, dengan jerih payah tersebut ia telah berhasil menyelesaikan karyanya. Segala revisi telah dituntaskan, dan dosen pembimbing pun telah memberinya lampu hijau untuk melanjutkan ke ujian skripsinya. Akan tetapi, pikirannya terus berputar tanpa henti, khawatir terhadap skripsinya yang seakan-akan masih ada kesalahan, atau belum sempurna. Bagaimana kalau banyak typo ya? Bagaimana kalau penguji memberi pertanyaan yang tidak bisa aku jawab? Bagaimana kalau nilai ujianku rendah ya? Bagaimana kalau… kalau. Pertanyaan kekhawatiran itu terus menghantui pikirannya. Bahkan setiap kali ia mencoba untuk istirahat, tidur, pikirannya semakin tak menentu. Ia selalu membayangkan kejadian-kejadian terburuk yang akan dialaminya saat jadwal pelaksanaan ujian tiba.
Dari problematika tersebut, coba kita ikuti kalam dari Epictetus sebelumnya, yaitu “memilah dan memilih hal yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan”. Pada dasarnya, mahasiswa tersebut telah mempersiapkan berkas-berkas ujian dan mengerti isi dari skripsinya. Selanjutnya, ia hanya perlu mematangkan pemahamannya. Kemudian membuat catatan jawaban untuk pertanyaan yang dianggap penting dan mungkin akan muncul. Ia juga harus melakukan latihan presentasi, relaksasi, fokus pada pola pikir positif “aku sudah siap dan akan menampilkan yang terbaik”. Jadi, yang mesti dilakukan adalah fokus pada penguasaan materi, mempersiapkan jawaban penting (power point), serta latihan penguatan mental. Nah, proses persiapan tersebut akan menjadikan diri lebih tenang sehingga bisa menjalaninya dengan senang.
Islam pun mengajarkan bagaimana cara menghadapi kecemasan atau kekhawatiran terhadap suatu masalah hidup. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Q.S At-Taubah ayat 51 yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang yang beriman harus bertawakal.”
Ayat ini menjadi pengingat bagi setiap manusia, bahwasanya masalah adalah sebuah keniscayaan yang akan menimpa setiap diri manusia, baik itu dalam hal kebaikan maupun keburukan. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa, ayat ini merupakan perintah Allah kepada Rasulullah untuk tegas kepada orang-orang munafik dan yang ragu, bahwa orang mukmin tidak takut terhadap ancaman dan rencana jahat mereka (kita sebut ini sebagai masalah). Semua yang terjadi telah menjadi ketetapan Allah dan tidak akan terjadi melainkan atas izin-Nya pula.
Dari ayat tersebut, dalam menghadapi masalah, hendaknya kita yakin bahwa yang terjadi merupakan sebuah skenario Tuhan yang akan kita lalui. Tugas seorang hamba ialah ikhtiar dan do’a, yang diakhiri dengan tawakkal kepada Allah ta’ala. Apapun itu, tetaplah sugesti dan latih diri untuk senantiasa berpikir positif (husnudzon) kepada Allah atas sesuatu yang menimpa kita. Dan yakinlah bahwa Allah ta’ala tidak akan menguji kita diluar batas kemampuan kita (lihat Q.S Al-Baqarah ayat 256). Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitab Al-Hikam, “Tidak sepantasnya seorang hamba berburuk sangka kepada Allah akibat do’a-doanya (ikhtiar) yang belum dikabulkan oleh-Nya. Dan sebaiknya bagi hamba, yang tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya esok hari, segera melakukan introspeksi diri.”
Kalam dari Imam Ibnu Athaillah tersebut dimaksudkan agar setiap hamba senang dan menikmati proses (ikhtiar dan do’a), sehingga mampu mendapatkan ketenangan atas apapun hasil yang akan diterimanya, karena ia telah menyerahkan segala keputusan perkaranya kepadA Allah Ta’ala, Yang Maha Mengetahui.
Ternyata, model praktis filsafat stoikisme ala Yunani Kuno itu, juga ada dan bisa diterapkan dalam konteks keislaman. Kaum Stoa punya cara pengendalian pikiran dalam menghadapi dinamika kehidupan, Islam pun mengajarkan tawakal kepada Allah ta’ala setelah melakukan ikhtiar dan do’a.
Terakhir, saya berikan cara dalam memperoleh ketenangan dan kebahagiaan ala Ki Ageng Suryomentaram. Ia menawarkan rumus yang disebut dengan 6S, yaitu (dalam bahasa Jawa) Sakbutuhe, Sakperlune, Sakcukupe, Sakbenere, Sakmesthine, Sakpenake. Sakbutuhe: Sebenarnya kebutuhanmu itu berapa banyak? Misalnya dari segi finansial. Saat kita mendapatkan rezeki, baik itu dari gaji pekerjaan ataupun pemberian orang yang tak terduga, ambillah sesuai kadar cukup kita, nah, selebihnya mungkin bisa kita berikan kepada yang lebih membutuhkan seperti dengan bersedekah. Sakperlune: Apa yang benar-benar menjadi kebutuhanmu dalam hidup (skala prioritas)? Sakcukupe: Mengambil atau menggunakan sesuatu tidak kurang dan tidak lebih. Sakbenere: sesuai dan relevan dengan hidup kita. Sakmesthine: sesuatu yang sesuai dengan kepatutan atau keharusannya. Terakhir, Sakpenake: Apa yang membuat kita nyaman?
Rumus tersebut bisa kita pakai, sama halnya ketika kita sedang belajar filsafat, sebut saja kajian filsafat Islam. Kita bakal menemukan, bahkan pasti akan mendapati pembahasan rumit dan jelimet. Kalau tidak paham detail-detailnya, ambil saja substansi atau simpulan saja, toh kalau dijelaskan panjang lebar pun susah untuk ditangkap (butuh proses yang lama). Maka, kita perlu takar segala sesuatu yang kita hadapi sesuai dengan kemampuan dan metode penyelesaian ala kita, sehingga tidak menyebabkan terjadinya kebingungan dan pikiran yang ruwet.
Kembali, saya tekankan bahwa konsep-konsep ini saya sampaikan bukan hanya sekadar dalam problematika mahasiswa saja, tapi lebih daripada itu. Melalui uraian ini, saya ingin mengajak pembaca untuk selalu merefleksikan diri (dalam Islam disebut Muhasabah) terhadap pengalaman serupa yang mungkin pernah dialami sebelumnya dan bersiap dengan yang akan dihadapi kedepannya. Kecemasan, kekhawatiran, dan kegelisahan terhadap problem yang menimpa kita, bukanlah sesuatu yang menyenangkan, malah membuat pikiran semakin kacau.
Tapi, cobalah untuk fokus pada pengendalian diri, introspeksi diri, dan pembacaan atas kemampuan diri, maka itulah yang menjadikan kita lebih enjoy, tenang dan menikmati prose menuju keberhasilan. Sekalipun tidak tentang keberhasilan “penilaian eksternal”, akan tetapi kita berhasil dan menang melawan pikiran kita sendiri.
Penulis: Reo Chandrika, Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif di Yayasan Hikmah Mahabbatur Rosul, Nagari Limau Purut, Kec.Kinali, Kab. Pasaman Barat
Discussion about this post