
“Karyamu masuk koran” katanya, lalu menyodorkan hp ke mataku.
Sudah tiga bulan lamanya tidak ada koran yang memuat cerpenku. Saban hari banyak lahir penulis yang berebut satu halaman koran hari minggu. Kadang saking tidak sabarnya, aku mengirim satu cerpen ke beberapa koran sekaligus. Untung-untungan ada yang nyangkut.
Aku membayangkan akan ada pajangan koran lagi di dinding kamar kos ini. Biasanya, aku menempel koran yang memuat tulisanku, lalu memajangnya di dinding. Agar bisa menjadi kenangan dan motivasi kala malas menulis.
Kabar Trisno sudah pasti membuat pagiku bahagia, tapi sialnya kabar itu datang di hari Selasa. Sudah kadung dua hari sejak cerpen itu dimuat. Aku berharap masih ada tukang koran yang menyisakan koran minggu.
“Dimana kira-kira tukang koran jam segini?”
“Coba kamu pergi ke Tugu Polwan. Depan Kantor Pos. Ada tukang koran yang buka lapak di sana.”
Tanpa mandi, aku langsung menancap motor menuju lapak yang disarankan Trisno. Aku harus buru-buru, apalagi sudah jam 11.00. Takutnya tukang koran sudah tutup lapak. Maklum, koran adalah teman sarapan pagi. Percuma jualan koran hingga malam.
Sambil menyelip mobil demi mobil, aku fokus memperhatikan setiap perempatan lampu merah. Mana tahu terlintas tukang koran keliling jualan dari mobil ke mobil. Seperti di film-film lama.
Sial.
Aku sudah memastikan betul-betul ini adalah lokasi yang dimaksud Trisno. Persis di depan Kantor Pos. Namun, yang ada hanya gerobak martabak, lalu di belakangnya toko kelontong. Mana lapak korannya?
“Trisno, kok nggak ada lapaknya di sini? ” tanyaku di telepon.
“Lho masa nggak ada. Aku dulu sering lho beli koran di sana kalau dimuat. Kan kamu juga tau aku penulis koran kaya kamu. Bedanya cuma aku nulis puisi, kamu cerpen,” jawabnya meyakinkan arahannya tidak salah.
Aku diam. Melihat kiri kanan. Siapa tahu lapaknya pindah beberapa meter. Ke Utara, atau Selatan.
“Itu bener di depan Kantor Pos, kan?”
“Iya, Trisno. Iya.” Aku kesal tidak menemukan lapaknya. Padahal udah ngebut.
“Emang kapan sih terakhir kali kamu beli koran di sini?”
“Gak tau. Udah lama banget. Dua tahun lalu mungkin.”
“Trisno Goblok! Ya itu sudah lama banget.”
Aku langsung menutup telepon kesal. Dia memberi saran ke tempat yang dia kunjungi dua tahun lalu.
Lagipula aku juga lupa. Trisno memang penulis koran sepertiku, tapi dia sudah tidak nulis sejak kerja jadi sales.
Masih ada harapan. Belum pukul 12.00 siang. Aku rasa masih ada tukang koran yang bekerja di jam segini.
Jarak dua kilometer ke Utara, ada pasar pusat yang besar. Tidak mungkin pasar sebesar dan terkenal itu tidak ada satu tukang koran yang berkeliaran.
Aku tinggalkan motor di parkiran. Lantas menyusuri gang pasar yang sempit dan becek. Kupasang telinga baik-baik, siap-siap mendengar suara “Koran… Koran..”
Tapi, sudah habis pasar kutelusuri, belum juga terlihat tukang koran yang lalu lalang. Di depan toko buku pun tidak ada koran yang digantung.
“Tidak jual koran ya, Pak.”
“Sudah tidak, Dik. Sudah tidak ada yang beli. Sekarang saya jualan buku novel saja.”
Hanya itu jawaban yang kudapat dari satu-satunya penjual novel di antara penjual kerupuk sanjai di sekelilingnya. Beliau masih bertahan menjual buku di tempat wisata. Ya, walaupun jual buku KW. Setidaknya menjaga iklim membaca, katanya.
Sambil dengan putus asa ke arah parkiran, aku teringat si Buyuang. Biasanya dia jualan koran di perempatan lampu merah yang biasa aku lalui saat pergi ke kantor. Aku yakin, dulu aku pasti melihatnya setiap pagi.
Tidak jauh, aku bergegas menuju tempat Buyuang menjajakan koran.
“Masuk koran susah, nyari korannya pun tambah susah.” gerutuku.
Motorku melewati jalan pasar kecil. Lubang-lubangnya membuatku susah mengendalikan motor. Hampir saja ban depanku terperosok ke lobang drainase yang entah akan ditambal. Ia dibiarkan menganga begitu saja. Padahal letaknya di pintu masuk monumen wisata.
Sayangnya, di perempatan Buyuang tidak ada. Hanya ada penjual tisu, bendera merah putih, penjepit handphone, mainan mobil. Di setiap sisinya pun tidak ada Buyuang terlihat.
“Buk, ada lihat Buyuang?” tanyaku ada penjual sala di perempatan.
“Buyuang yang mana, Nak? Di sini ada banyak Buyuang. Buyuang Atuang, Buyuang Ajo, Buyuang Idin, Buyuang Katik, Buyuang… “
“Ha iya, Buyuang Katik, Mak. Yang biasa jual koran. Dimana dia sekarang?” Aku memotong kalimatnya saat mendengar nama yang kucari.
“O, Buyuang Katik sekarang sudah tidak jualan koran lagi. Di ngojek online. Tapi biasanya istirahat di warung sala ibuk.”
Ternyata dia sudah tidak jualan koran lagi. Sial sekali pencarianku untuk koran ini. Memang aku sudah dapat file digital dari Trisno, akan tetapi aku ingin punya koran fisiknya sebagai arsip kenangan. Satu lagi, untuk bukti kepada kantor koran saat pengambilan honor. Harus membawa koran fisiknya.
Aku duduk setelah mengambil satu gorengan sala. Aku istirahat sebentar, hari ini sangat panas.
Sambil makan sala, aku mencoba mengontak Trisno lagi. Kebetulan Trisno kerja di kantoran. Aku berharap, biasanya kantor punya langganan koran setiap hari. Semoga ada yang tersisa koran hari minggu lalu.
Trisno mengangkat telponku.
“Ha, gimana, Han? Sudah dapat koranmu?”
“Belum. Aku sudah ke pasar tidak ada. Di perempatan, Si Buyuang juga tidak jualan koran lagi. Eh ngomong-ngomong, kantormu ada langganan koran nggak?”
“Ada dong. Wajib itu.” jawabnya pasti.
“Nah, kalau koran hari Minggu kemarin. Masih ada?”
“Wahh, pasti nggak ada dong, Han. Di sini koran cuma buat dibaca Pak Bos saat pagi. Sorenya udah dipakai cleaning service buat bersihin kaca. Gitu terus. Daripada numpuk jadi sampah, kan?”
Belum juga kutemukan harapan dari koran ini. Aku tutup telepon Trisno setelah mengucapkan salam. Pikiranku semakin kacau, mencoba mengingat-ingat dimana aku pernah tidak sengaja berpapasan dengan tukang koran.
Kota ini kecil. Hitungan satu kecamatan di ibukota. Tapi, namanya yang sangat terkenal satu negeri membuatku tidak putus asa. Pasti kota sehebat ini masih punya tukang koran yang hidup.
Teleponku berdering kembali. Dari Trisno.
“Kamu ketemu korannya, No?”
“Nggak, Han.”
“Trus?”
“Kamu udah coba belum telpon kantor korannya? Ngapain kamu susah-susah cari di lapak. Kan pabriknya di kantor koran. Pasti ada mereka.”
“Oh iya ya. Kok nggak kepikiran sama aku. Ya ya, aku telpon kantornya dulu. Makasih ya, No.”
Seperti ada cahaya bersinar di kepalaku. Kali ini saran Trisno sepertinya benar. Aku mencoba mencari nomor koran itu di internet.
Dapat. Semoga nomornya masih aktif, walaupun nampaknya ini nomor lama, sebelas digit.
Ada suara di teleponku. “Halo? Ada yang bisa dibantu?”
“Halo, Pak. Saya Han.”
“Han siapa ya?”
“Johan, Pak. Yang cerpennya minggu lalu.”
Suara Pak Janir membuatku paham siapa yang mengangkat telepon. Aku tau dia bekerja di kantor koran itu. Syukur kebetulan dia yang mengangkat teleponku.
“Pak Janir, cerpenku dimuat di koran bapak hari minggu lalu. Masih ada sisa korannya, Pak? Aku perlu korannya.”
Aku langsung menuju tujuan percakapan tanpa berlama berbasa-basi.
“Eee, nggak ada, Han.”
Sontak aku kaget, kantor koran tidak punya koran. “Kok bisa, Pak? Apa kantor koran tidak menyisakan satu saja koran?”
“Urusan cetak itu urusan percetakannya, Han. Kami tidak memproduksi koran, hanya media. Ada pun, itu buat arsip penting kantor. Tidak bisa diberikan ke siapapun,”
Aku tidak menjawab penjelasan Pak Janir. Aku mulai hilang harapan. Namun, sayang rasanya honor koran itu lenyap begitu saja. Aku tidak puas koran itu hanya tersimpan fotonya di handphone.
“Lagipula, mulai minggu besok kami sudah tidak mencetak koran lagi.”
“Gimana, Pak?” Aku memastikan bahwa aku tidak salah dengar.
“Iya, koran kami bangkrut. Tidak laku. Tidak ada yang membaca koran lagi seperti dulu. Harganya juga tidak menguntungkan, masa cuma Rp. 3.000. Dimana untung kami, apalagi semua harga naik sekarang. Kami beralih ke digital mulai minggu besok. Kayanya bakal banyak peminat.”
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Pak Janir. Berarti aku tidak bisa mengarsipkan kenangan tulisanku lagi?
***
Padang, 05 Oktober 2022
Tentang Penulis
A. Suwistyo. Menulis puisi, cerpen, resensi, dan essai. Berkegiatan di Padang. Saat ini telah menulis 2 buku, diantaranya : Lakon (2018) dan Sedasawarsa Lagi, Kita Menua (2019). Karya-karyanya juga dapat ditemukan di berbagai antologi dan media massa : Haluan, Harian Rakyat Sumbar, Scientia.id, Singgalang, Media Cakra Bangsa, Radar Malang, Bangka Pos,marewai.com, Padang Ekspress, dan lain-lain.
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
- Cerpen Hasbunallah Haris | KKN Konciang - 9 September 2023
Discussion about this post