Cuaca terik seperti biasanya di bulan-bulan Agustus, khususnya untuk daerah Pangkalpinang dan sekitarnya. Immo terbangun karena merasa kepanasan. Dia membuka lalu melemparkan sarung tidurnya begitu saja ke lantai. Menunggu beberapa menit untuk memutuskan berangkat dari ranjangnya yang selalu berantakan. Pakaian yang telah dicuci. Dilipat dan belum dilipat. Bertumpuk begitu saja di satu sudut ranjang. Di malam-malam yang menyelisipkan dingin. Immo sering menyembunyikan bagian kakinya yang tak terjamah sarung tidurnya di bawah tumpukan pakaian tersebut.
Immo sudah keluar dari kamarnya. Terdengar alunan melodi musik emo yang khas keluar dari perangkat pengeras suara yang berada di kamarnya. Seperti sebuah pentas yang menampilkan puisi kolektif. Suara teriakan Shawn Mike terdengar keras menyahut sekaligus menutup verse yang telah di buka sempurna oleh Dennis Lee.
I don’t want your Pity
I hate your pity
Seketika kebisingan mendera seisi ruangan di rumahnya. Immo segera mengambil handuk memanfaatkan kebisingan tersebut dengan segera untuk pergi mandi. Dia tak mau suaranya mandi di pagi hari terdengar oleh siapa pun. Seolah dia adalah hewan yang paling semangat menjalani hari, padahal tidak.
Selepas mandi. Immo membuka dan mengambil mangkok kecil berisikan satu potong lempah kuning (semacam sup) ikan bawal dari kulkasnya. Dan segera memindahkannya ke panci yang telah dia siapkan di atas kompor dengan api kecil untuk dipanaskan. Dia berdiri menunggu di depan pintu dapur menghadap ke halaman.
Sebenarnya sampai hari ini tiba, Dia selalu enggan jika harus pergi ke suatu tempat yang ramai dan dianggap oleh beberapa orang menyenangkan. Kebanyakan dari mereka sangat bergantung pada akhir pekan ataupun hari besar lainnya untuk bersenang-senang. Tapi, bagi Immo semua itu hanya semacam pelarian lainnya. Dari hal yang membosankan lain, ke hal membosankan lainnya. “Jika dunia memang berjalan semembosankan ini, terus mengapa dan kau mau apa?” Pikirnya.
Immo pernah membayangkan. Betapa menyenangkannya jika dia bisa bermain gitar. Lalu memutuskan untuk mempelajarinya. Sampai suatu ketika Immo merasa bosan. Gitar di kamarnya kini dipenuhi debu dan hanya menyisakan dua senar bass saja. Dia tak lagi setuju jika ada yang mengatakan Jimi Hendrix bisa melegenda dalam permainan gitar bluesnya, sebab Jimi telanjur suka dalam bermain gitar. Bahkan jika Immo mendengar hal itu dari mulut Jimi sendiri. Bagi Immo, Jimi Hendrix adalah orang yang sadar bahwa bermain gitar itu membosankan. Tapi, Jimi enggan untuk berhenti dan terus saja memainkannya.
Suara mendesis yang berasal dari panci. Dan bau lempah yang mulai hangat. membangunkan Immo dari lamunannya. Lalu, dia memindahkan lempah kuning yang di panci ke piring yang sudah disiapkannya. Mengaduk nasi di Rice Cooker. Lalu memindahkan 3 centong nasi ke piring lainnya. Bau karbohidrat dan protein memenuhi rongga hidungnya. Dan akan segera memenuhi perutnya.
Teman lamanya mengajak dia ke sebuah festival hari ini. Festival tahunan yang rutin diselenggarakan di tiap-tiap kota di negaranya dalam rangka mengingat sekaligus merayakan hari kemerdekaan. Tak ada yang menarik baginya di sana. Bahkan, sepanjang festival ini dimulai. Ada saja orang-orang di negara ini yang kian tercerabut kemerdekaannya. Sudah tak punya kemerdekaan atas diri sendiri, tercerabut pula hak-hak lainnya.
Belum lagi pandangan pribadinya dalam memandang konsep bernegara. “Tak bisakah orang-orang saling setuju saja, bahwa mereka tinggal di semesta yang sama dan saling berbagi dan saling berhenti untuk berperang,” pikirnya. Dia muak melihat orang berbondong-bondong menggunakan rasa bangga atas kewarganegaraan masing-masing. Sebagai semangat untuk menghancurkan yang lainnya.
Temannya, Radi tinggal di dusun sebelah. Dia hanya perlu berjalan ke luar gang. Dan menyeberangi satu jalan raya besar untuk sampai ke rumahnya. Sudah dua tahun sejak pertemuan terakhir mereka. Temannya menempuh pendidikan di luar kota dan melanjutkan kariernya di sana.
“Minggu depan aku pulang, untuk mengurus beberapa urusan di sana. Kuharap kita bisa bertemu di sana. Oh ya bukankah festival akan dimulai di akhir pekan? Kenapa kita tidak pergi ke sana saja?”
Immo tak banyak memiliki teman. Awalnya hubungan pertemanan dengan Radi ia jalin, Sebab ia sadar makhluk sepertinya tidak diciptakan untuk menyimpan segala sesuatunya sendiri. Seperti tai di perutnya yang tak bisa dia simpan sendiri di sepanjang hidupnya. Sesekali ia harus berbagi dengan lobang toilet. Dan sepanjang pertemanan mereka, Radi tak pernah sekali pun membuatnya terpaksa menggunakan jasa sedot WC. Radi selalu menjadi wadah yang tepat baginya untuk menumpahkan hal-hal yang tak mampu dia simpan sendiri.
“Kuanggap itu sebagai permintaan terakhirmu sebelum mati. Dan aku terpaksa harus menemanimu untuk pergi ke festival itu.”
“Bagaimana kalau begini, kita bisa menganggap kesediaanmu menerima ajakanku adalah dalam rangka kau ingin melakukan yang terbaik kepada temanmu ini sebelum kau mati.”
“Terserah, ayo pergi ke festival membosankan itu nanti. Dan setelah itu segeralah kembali ke Jakarta secepatnya, agar tak ada lagi orang di kota ini yang mengajakku ke tempat membosankan.”
Radi hanya tertawa. Dan berkata bahwa Immo sebenarnya adalah teman yang baik. Dan Telepon pun ditutup.
Immo mengetuk pintu. Tiga ketukan, seperti yang biasa dilakukan Dream Theater terhadap lagu-lagu mereka. Lalu terdengar langkah kaki. Tak lama kemudian gagang pintu bergerak ke bawah. Seorang laki-laki berwajah ceria, cerdas, dan berambut keriting membuka pintu. Sembari tersenyum pria itu meninju bahunya pelan.
“Sepertinya kau tidak pernah meminum obat cacingmu, Mo.”
“Jadi pergi tidak? Aku tidak punya waktu untuk menunggumu berbicara tentang cacing seharian.”
“Kau yang menyetir,” balas Radi sambil tergelak dan melemparkan kunci mobil.
Festival yang berlangsung di kotanya adalah semacam parade. Itu berarti sekelompok orang akan beriring-iringan memakai beragam kostum di sepanjang rute yang telah ditentukan. Immo memarkirkan mobil di tempat kenalannya. Dan dua sekawan itu melanjutkannya dengan berjalan kaki. Mereka melakukan itu agar akses keluar masuk menjadi lebih mudah. Sebab, taman yang ingin mereka tuju adalah salah satu kawasan yang akan menjadi tempat berkumpulnya para peserta parade sebelum para peserta tersebut memulai iring-iringan. Bagi penggemar berat film Harry Potter, tentu akan ingat seri kedua ‘Harry Potter and the Chamber of Secret’.
Dalam film tersebut mobil yang bisa terbang memiliki peran besar dalam petualangan Harry dan sahabatnya. Begitu pula bagi Immo dan Radi jika mobil semacam itu benar-benar ada di dunia ini. Bisa kalian bayangkan sendiri ketika mobil semacam itu dipakai untuk ugal-ugalan di udara. Dan tentu pula asap-asap yang dihasilkan kendaraan terbang tak butuh usaha yang lebih untuk mencapai atmosfer. Kau hanya perlu terbang ke ketinggian 49 kilometer. Memasang gigi netral. Dan menekan habis pedal gas. Alhasil asap-asap itu akan menggempur lapisan ozon habis-habisan.
Immo & Radi sudah sampai di taman. Sebagian peserta sudah memenuhi kawasan titik kumpul. Immo mulai membayangkan para peserta parade layaknya kawanan zombie yang siap menyerang seisi kota. Dan dia sebagai tokoh utamanya hanya ingin cepat-cepat keluar dari sana.
Pelan tapi pasti matahari mulai merangkak naik. Awan tipis-tipis terlihat. Membuat langit nyaris biru sempurna. Dari arah alun-alun kota terdengar samar-samar suara panitia menyebut nomor peserta secara bergantian. Sudah lebih dari setengah regu memulai iring-iringan. Immo kini duduk di bangku taman ber-cat merah sempurna, sembari mendengarkan lagu menggunakan earphone. Sementara Radi asik berkeliling bersama beberapa teman yang ia temui di sana. Sebelumnya Immo pamit meninggalkan mereka, “buang hajat sebentar,” katanya.
Terduduk tenang di bangku taman…
Adakah hari lain?
Semua takkan berubah
Lirik yang renyah dan puitis terus keluar dari earphone miliknya. Dia terpukau bagaimana rock sederhana yang dimainkan Pure Saturday bisa semenghipnotis ini. “Ini yang dinamakan dari telinga turun ke hati,” gumamnya.
Immo menutup mata. Lagu-lagu terus bergantian berputar dari playlist yang ia susun. Ia membuka mata dengan perasaan heran. Seekor kupu-kupu bertengger di hidungnya entah sejak kapan. Dia mencoba bernapas pelan, takut kalau-kalau embusan napasnya yang tiba-tiba akan membuat kupu-kupu itu merasa tak nyaman. Tapi, tetap saja kupu-kupu itu kemudian terbang menjauhi hidungnya, lalu hinggap di antara bunga-bunga. “Begitu romansa pertemuan antara mereka berdua,” pikirnya.
Discussion about this post