“Lelaki adalah sampah. Sungguh, tidak mungkin aku berdusta. Dengar, Nak. Aku adalah Ibumu, kau harus mematuhiku. Jika aku berkata lelaki adalah sampah itu memang karena mereka adalah sampah.” Demikian aku terus mengulang pesan Ibu, pada hari-hari yang semu dan jemu. Tapi aku tidak akan bertanya lebih banyak, ataupun membantah Ibu. Sebab dari balik kerudung yang kerap ia kenakan bahkan ketika di rumah pun, tak sekali-dua kali aku melihat jejak itu.
Bekas luka yang kasar dan menonjol dengan warna yang lebih gelap daripada warna kulit Ibu. Kasihan dia, mendiang suaminya kerap memukulnya, juga sempat menyiramnya dengan air keras, tapi dia bodoh juga kenapa tidak dia ceraikan saja suaminya itu. Sesekali aku mendengarkan kalimat-kalimat semacam itu dari orang-orang tua di komplek kami, tapi aku tak merasa bahwa Ibu yang mesti dikasihani, melainkan mereka. Bukankah bergunjing sama dengan memakan bangkai saudaramu sendiri? Apakah mereka kekurangan makanan di dapur mereka sehingga perlu betul mengusik dapur kami?
“Tika, tolong antarkan ketupat dan gulai ayam ini ke Upi. Sudah lama Ibu tak melihatnya keluar rumah.” Ibu segera mengemas tiga buah ketupat sisa lebaran kemarin, gulai ayam yang baru ia masak, dan segenggam buah duku ke dalam rantang kami. Tidak. Ini bukan rantang kami, ini rantangnya Uni Pi, aku tiba-tiba teringat akan siapa pemilik rantang ini sebab di penutup rantang tertulis “Novindra dan Novandra” yang tepat di depan mataku saat Ibu akan menutup rantang.
“Bu, apa betul Uda Andra?”
“Aduh, kamu ini, tidak usah dibahas lagi, tidak usah dipertanyakan. Apapun itu, kita sebagai warga, sebagai masyarakat harus sama-sama bahu-membahu, tolong-menolong, Upi membutuhkan pertolongan kita.”
“Tapi mengapa hanya kita, Bu? Orang-orang sebalik tak ada yang mau membantunya?”
“Tika, kamu anak Ibu. Cukup dengar dan laksanakan perintah Ibu.” Segera Tika melangkahkan kakinya keluar, namun ia kembali lagi, Ibu menyuruhnya agar tak lupa membeli beberapa botol air minum, “Upi membutuhkannya, barangkali dia terakhir kali minum air putih dua hari lalu, saat Ibu menyuruhmu mengantarkan nasi ramas itu.” Tika mengangguk.
“Kenapa Ibu terus menerus membantu Uni Pi? Dia sudah tidak bisa ditolong lagi, kenapa Ibu tidak menelpon saja orang-orang Dinas Sosial untuk mengurus Uni Pi.” Tika menghela nafas ada helaan yang tersenggal di sana, terasa berat, keningnya mengerut dan ia menggigit bibir bawahnya, “Tidak, bukan Dinas Sosial. Orang-orang seperti dia butuhnya dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa saja.”
Sesekali Tika memperhatikan perumahan di sekelilingnya, rumah-rumah yang tinggi dengan pagar yang tinggi pula, “Orang-orang di komplek ini banyak yang lebih kaya daripada kami, tapi mengapa hanya kami yang mau memperhatikan Uni Pi?” Tika membatin, tak lama ia sudah sampai di depan sebuah rumah yang memiliki halaman luas, tetapi tak ada satupun tumbuhan yang tumbuh di atasnya tertata dengan baik. “Sama tidak beresnya dengan Uni Pi.” Ucap Tika sambil terus menerus mengetuk pintu kayu yang ada di hadapannya, namun tak kunjung ada tanggapan, tapi ini bukan suatu hal baru bagi Tika. Tanpa mengupayakan apapun Tika langsung meletakkan rantang dan beberapa botol air minum di depan pintu.
Namun ketika Tika berbalik badan ia merasakan ada seseorang yang memperhatikannya dari semak-semak halaman rumah Uni Pi. Segera Tika berlari ke arah semak-semak itu, tetapi saat ia menghalau kakinya ke sana tak ada seorang pun yang ia lihat. “Apa yang kupikirkan, tak mungkin Uni Pi mau keluar dari rumahnya, tak mungkin pula ada seorang pun yang mau menginjakkan kaki ke pekarangan rumah ini selain aku atau Ibu?”
“Tapi, bagaimana aku bisa mengetahui jika memang tidak ada orang lain?”
Tika berjalan menuju ke depan pintu rumah Uni Pi, kali ini ia mencoba membuka gagang pintu dan mendapati rumah itu tak terkunci sama sekali. Segera Tika mendapati ruangan gelap, lantai yang lembab dan sepertinya ada genangan air berwarna kecoklatan yang Tika perhatikan asalnya dari atap yang sudah bocor dan bingkai jendela yang sudah dimakan rayap.
“Ate, kau kah di sana?”
“Ate, ini aku. Tidak bisakah kau mencintaiku sepenuhnya karena perbedaan kita?”
“Ate… aku merindukanmu. Mengapa kau sakiti dirimu seperti ini? Kau kemanakan adikku, Ate?”
Segera bulu kuduk Tika berdiri, ia tidak tahu itu suara siapa, yang pasti bukan suara Uni Pi, juga ia tidak mengetahui siapa yang suara tersebut panggil dengan nama “Ate”. Tika kebingungan, barangkali ia salah dengar, barangkali pipa-pipa saluran air di rumah ini mulai kacau sehingga ketika angin lewat seolah-olah mengeluarkan suara-suara. Segera Tika berjalan untuk menuju rumah.
“Bu, tadi aku tidak melihat Uni Pi. Tapi sepertinya Uda Andra sudah pulang.”
“Tika, kamu jangan mengada-ada.”
“Aku tidak bilang pasti, Bu. Aku hanya bilang mungkin. Tadi di sana, aku mendengar suara seseorang, aku tidak tahu siapa, tapi yang pasti bukan suara Uni Pi. Suara itu memanggil-manggil seseorang yang aku tidak tahu siapa. Sepertinya suara itu memanggil seseorang yang bernama ‘Ate’.”
Ibu tak menggubrisku lebih jauh, dan kembali berkutat ke bahan-bahan roti dan rakik kacang yang akan ia olah subuh ini sebelum diantarkan ke kantin-kantin beberapa sekolah dan kantor sekitar tempat kami tinggal. Aku mestinya tidur sekarang ini, jadi selepas subuh aku bisa membantu Ibu mengantarkan beberapa pesanan sebelum aku sampai ke kampus. Sayangnya semakin keras kucoba untuk menutup mata sedemikian keras pula suara itu kembali terulang-ulang di kepalaku, “Sudah Tika, sudah! Coba bayangkan hal-hal menyenangkan seperti gunung, pepohonan, pasir pantai, ombak pantai.”
Lalu segera aku melihatnya, ombak yang tenang dan pasir yang terasa menggelitik jemari kakiku yang kecil. Perlahan aku mendengar suara-suara, sepertinya berasal di belakangku, suara pertikaian antara seorang wanita dan seorang pria. Aku berjalan menuju arah suara itu, dan seketika merasakan bahwa wanita itu adalah diriku. Aku melihatnya seolah aku melihat diriku sendiri. Seketika mulutku bergetar, sumpah bukanlah sesuatu yang baik untuk terucap, sebagaimana yang Pak Ustad ajarkan kepada kami di kelas-kelas mengaji sore hari menjelang maghrib. Namun jika sumpah tidak boleh terucap, mungkin aku ingin menyampaikan doa kepada Tuhan. Sungguh aku berharap dapat terlepas atas segala pesakitan, semua yang kuharap dan semua yang tak akan mungkin kita dapatkan.
Kau tahu, di sana aku masih menyaksikanmu, pada punggungmu yang tegap, helaian rambutmu sebahu lebih yang kaku karena asinnya air laut, serta segala kata yang terucap dari bibirmu yang tak dapat kumengerti. Kau telah menjadi satu dengan laut dan segala yang menggulung di dalamnya. Hari-hari telah berlalu, aku sudah lama tak mengetahui beda siang dan malam, tapi aku telah memupuk pada hari-hari yang tak berkesudahan, aku menghitung itu, tidak peduli pada hitungan yang mana. Kala mata menutup aku tetap kembali pada hari itu, tetap pada kilasan ingatan akanmu sebagai malam-malam yang telah usai dan aroma asin air pantai yang mengering, ombak yang bergulung dan nafasnya yang sesak dan gelisah, aku tetap bisa menyaksikannya di balik mataku yang terasa perih akan asinnya air laut, “Aku sudah lama mati, Ate. Sekian tahun yang lalu!”
“Tika, sebentar lagi adzan subuh, ayo bangun! Segera bersiap dan bantu Ibu,” mendadak suara Ibu membangunkanku dari tidur dan mimpi aneh semalam.
Tapi akhirnya aku mengerti, segera aku bertanya, “Bu, Uni Pi mestinya aku panggil Etek, kan?” Segera aku melihat tatapan itu, tatapan yang sama merahnya dengan apa yang pernah kusaksikan. Sesuatu yang aku harap hanya dari dalam mimpi saja.
Talia Bara
Lahir di Padang, belakangan sedang senang mengelilingi kedai-kedai kopi di Padang.
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post