“Laki-laki itu makhluk logika jadi berpikir dengan kepala, sedangkan perempuan makhluk emosional jadi berpikir dengan hati. Tidak ada perempuan yang pandai berpikir, mereka mestinya menurut pada lakinya, tidak membantah, tidak melawan.”
Kadang kalimat itu mengiang di kepalaku dan mungkin memang benar adanya, lantaran setiap kesal bahkan oleh hal-hal kecil pun Ayah selalu menghantam kepala Ibu berulang kali ke lantai, karena dinding rumah kami yang dari triplek dan seng tentu tak kuat menahan hantaman. Dihantam berulang kali dan tak berhenti sampai Ibu terbujur dan tak sanggup berdiri. Lantas, aku terheran juga bertanya, tapi aku adalah anak laki-laki jadi dengan logikaku, aku menyimpulkan bahwa karena benturan-benturan itu Ibu tak bisa benar-benar berpikir dengan kepalanya lagi dan memilih untuk berpikir dengan hatinya saja.
Mungkin perempuan-perempuan lain di luar sana juga mengalami kepala mereka dibenturkan ke dinding, lantai, atau perabot rumah oleh laki-laki di rumah mereka. Tapi, bisa saja kepala mereka dihantam beberapa benda tertentu oleh laki-laki sehingga kepala mereka konslet tidak bisa dipakai untuk berpikir dan tergantikan dengan hati untuk berpikir.
Entahlah, mungkin saja sedari dulu sudah kodrati naluriah demikian. Sebagai anak, aku berusaha mencerna perkataan tersebut dari Ayah, selanjutnya beliau menjelaskan bahwa sebagai seorang lelaki kelak akulah yang mesti memimpin rumah tanggaku, jangan sampai kelak istriku yang selalu selangkah di depanku untuk kemudian menarik tubuh dan jiwaku kesana kemari layaknya kerbau yang hidungnya dicucuk.
Walau sedemikian sering aku mendengar kepala Ibu beradu dengan lantai, tapi aku tak pernah melihat Ibu menangis, sekali pun pada dentuman yang keras di mana setiap hempasan kepala Ibu terasa menggema ke seisi rumah kami yang hanya berdindingkan seng dan triplek. Hari di mana Ayah sedang libur bekerja sekaligus hari libur sekolah adalah hari yang cukup mengerikan, karena aku akan lebih sering mendengar suara berang dan carut marut dari Ayah. Sedangkan Ibu hanya terdiam, sesekali memegangi kepalanya yang benjol dan memar, tak jarang benjolan tersebut mengalirkan darah. Kuperhatikan Ibu selalu menahan semuanya dan baru perlahan mulai berdiri setelah Ayah keluar entah kemana, Ibu akan terus melanjutkan pekerjaan rumah tangga lainnya, entah itu memasak, menyapu, mencuci, seolah tak terjadi apa-apa.
Seringkali kulihat Ibu menyeduh kopi agar tetap bisa terjaga dan menanti kepulangan Ayah dari pasar tempat ayah menjadi petugas kebersihan dan buruh angkut sekaligus. Ayah berangkat dari sebelum subuh dan pulang saat hampir tengah malam. Tak jarang sepulang bekerja Ayah akan makan dengan lahap, seringkali menghabiskan semua lauk yang terhidang sekalipun itu hanya sisa gulai dari tetangga yang diolah Ibu menjadi samba angek-angek, dan Ibu menanti hingga Ayah selesai makan, menyeduhkannya teh atau membuatkan rebusan secang, mencuci piring dan gelas yang Ayah pakai, dan baru makan dengan nasi yang seringkali tanpa lauk setelah Ayah memutuskan untuk tidur.
Tapi suatu waktu di awal bulan Ayah gajian dan kami bisa makan lebih nikmat dari hari-hari lainnya, kuingat Ibu membuatkan telur dan kentang balado makanan kesukaan Ayah dan juga makanan kesukaanku. Selepas pulang dari sholat maghrib dan mengaji di surau dekat rumah, aku makan lagi karena hari itu memang aku lapar sekali karena sedari siang sepulang sekolah hingga sebelum maghrib aku dan kawan-kawan bermain futsal di lapangan dekat rel kereta api, dan siapapun dari tim yang kalah harus mencabut rerumputan di dekat rel. Sayangnya timku kalah, dan kami mencabuti rerumputan di dekat rel dan ditertawakan oleh kawan-kawan dari tim yang menang, yang sedang bersantai-santai di bawah pohon rindang. Pokoknya! Aku letih sekali, juga kesal, dan tentu saja aku lapar, dan tanpa kusadari aku menyantap sebutir telur balado yang semestinya akan dimakan Ayah nanti. Tapi entah mengapa telur balado ini warna ladonya agak berbeda?
Ketika mencuci piring, Ibu mengecek tudung makan dan menemukan kalau telur baladonya sudah tidak bersisa, Ibu bertanya apa aku yang memakan telurnya? Aku menggeleng, aku takut nanti akan dimarahi Ibu karena saat itu aku melihat Ibu tampak cemas sekali. Tentu aku heran, tidak seperti Ibu yang membawa semua hal ke hati, aku sebagai anak laki-laki berpikir bahwa ini kan awal bulan Ayah gajian dan lagipula bukannya masih ada sisa beberapa butir telur lagi yang bisa Ibu masak? Jadi aku hanya menggeleng tanpa rasa bersalah dan masuk ke kamarku.
Tapi malam ini rasanya aku sulit sekali untuk tidur, jadi aku berbaring saja di dalam kamarku dan menghitung satu persatu tetes air hujan yang masuk ke atap kamar. Tak lama di luar kudengar Ayah marah-marah kenapa Ibu hanya membuatkan telur dadar dan kecap, kenapa tidak ada telur balado yang Ayah pesankan untuk Ibu buat. Ibu tidak menjawab apa-apa selain maaf, lalu aku kembali mendengar dua pola ketukan yang familiar. Yang pertama adalah ketukan kepala Ibu dengan kepalan tangan Ayah. Yang kedua adalah ketukan kepala Ibu dengan lantai rumah kami yang hanya dari semen.
Segera aku memperhatikan diam-diam dari celah dinding kamarku, aku melihat Ayah tetap memakan telur dadar dan kecap dengan lahap kemudian ia membasuh tangannya dan pergi ke kamarnya untuk tidur. Lalu Ibu mencuci piring dan gelas yang tadi Ayah pakai, baru ia kemudian mulai makan, kali ini jatah lauk kami untuk hari ini sudah habis, hanya ada nasi putih dan kecap, belum beberapa suapan aku melihat Ibu menangis untuk pertama kali, karena penasaran aku keluar kamar. “Kenapa Ibu menangis?” Tanyaku.
Ibu segera menyeka air matanya sebelum menatapku dan berkata, “Nasi ini hambar, Nak. Air mata akan membuatnya ada rasa. Kamu kenapa terbangun tengah malam begini? Apa kamu lapar? Mau makan nasi kecap, Nak?”
Aku menggeleng dan mulai beranjak ke kamar, jujur saja aku bingung mengapa baik ucapan dan tindakan Ibu seperti tak masuk di akalku. Bukankah Ibu sudah biasa dipukul Ayah dan sudah sedari tadi juga dipukul tapi mengapa sekarang baru menangis? Mungkin tepatnya dari momen itu aku menyaksikan bukti nyata bahwa memang benar kata Ayah, “…perempuan berpikir dengan hati mereka.”
Tapi saat di depan pintu kamar aku merasakan tangan Ibu yang kecil dan dingin menggenggam tanganku dan memelukku erat, ia berkali-kali mengucapkan maaf padaku, perlahan ia berbisik, “Aku Ibu yang teledor, kukira semua sudah kuperhitungkan dengan baik, kita terbiasa makan sekali sehari, anakku saat siang sepulang sekolah, suamiku yang kejam itu sepulangnya bekerja, dan aku saat semua sudah terlelap. Aku sudah merencanakan semua dengan menyisihkan uang yang Ayahmu beri, aku juga bekerja sampingan di ampera dan di tempat katering saat anakku masih di sekolah dan bergegas ke rumah sebelum anakku pulang, agar tidak ada yang curiga bahwa aku bekerja dan mengumpulkan uang diam-diam. Minggu depan pasti semuanya sudah cukup agar aku dan anakku bisa pergi, jika berhasil besok pagi Ayahmu cuma akan terlihat seperti kelelahan bekerja lalu tiba-tiba ambruk di pasar, dan aku tak harus mengemban semua tekanan ini.” Suara Ibu gemetar.
“Nak, kita bisa pergi jauh dari sini, di kampung Ibu kita bisa memulai hidup baru. Selama ini Ayahmu tak pernah membolehkan Ibu menghubungi keluarga Ibu dia pikir hanya dengan menghancurkan setiap ponsel bekas yang kubeli lantas aku tak bisa menghubungi keluargaku? Dia salah. Aku tetap bisa menghubungi keluargaku dengan meminjam ponsel milik teman-teman Ibu di katering tempat Ibu bekerja. Keluargaku di sana merindukanmu yang belum pernah mereka lihat. Walaupun kalau kita ke sana nanti biaya hidup kita mau mereka bantu tapi biar Ibu yang bekerja menjadi apapun yang bisa Ibu lakukan asalkan halal, aku tidak mau berdosa lebih jauh lagi, dan anakku ini bisa mendapat cinta yang utuh baik itu dari Mbah Kakung dan Mbah Putri di Sidoarjo.”
Ibu mulai menangis, ia mencium keningku lalu tersenyum simpul, “Kita juga bisa ke Banjarnegara, Ibu akan bekerja di warung soto krandengan tempat Paklik Ibu dan istrinya berjualan, untuk tempat tinggal kita bisa menempati rumah Bukdemu yang baru saja bercerai dan tidak punya anak, dia pasti akan menerimamu dan mau menyayangimu selayaknya anak kandung baginya. Walau anakku mesti tahan-tahan selera sebab di sana makanan tak sama dengan di sini, tapi aku tahu kalau anakku akan terbiasa seiring waktu kuharap ia akan menyukai apa yang kusukai. Keluargaku orang baik-baik, aku yang terlalu dibutakan cinta hingga lebih memilih seorang lelaki yang menjanjikan cinta semu ketimbang orang-orang yang benar-benar menyayangiku.”
Ibu mengelus rambutku, lantas kemudian iai menjelaskan secara rinci tentang bagaimana centang perenangnya keluarga Ayah. Di mana tanah tempatku berpijak saat ini berkata soalan bagaimana anak dipangku dan kemenakan dibimbing mungkin masih berlaku pada orang-orang lain tapi tidak dengan kami. Bagi mereka kami adalah orang terasing, bukan Minang, Ayah tak dianggap karena Ibu tak bisa memberi uang jemput dan tidak pernah mengadakan alek gadang yang keluarga Ayah inginkan sebagai anak lelaki satu-satunya di kota berpantai itu, ia diasingkan hingga waris saja tak ia dapatkan. Ibu tak mengerti entah memang adatnya seperti itu, atau itu hanya omong kosong saja karena mereka tidak suka pada Ibu. Tapi aku tak bisa membantah Ibu, bahkan hingga saat ini aku tak pernah ke kampung Ayah maupun ke kampung Ibu, aku tak pernah bertemu dengan keluarga dari kedua orangtuaku.
“Nak, Ibumu ini sudah menahun menahan air mata juga tak mau menuntut karena semua terlalu menyakitkan buatku. Aku sudah tidak cinta suamiku, dan diam-diam mengupayakan rutin meminum obat dari Puskesmas agar aku tak menambah keturunan dengannya, aku tak mau melihat anak-anakku yang lain tumbuh dengan Ayah seperti dia. Aku sayang anakku, aku tak mau anakku tumbuh menjadi lelaki dengan pemikiran yang sama dangkal dan sama bejat dengan ayahnya. Tapi hanya karena satu keteledoran saja semua perhitunganku hancur, besok pagi mungkin aku tak akan menjadi Ibu lagi, semua rencana runtuh dan aku akan terperangkap di kota yang panasnya berdengkang ini.”
Setelahnya ada hening yang cukup panjang di antara kami. Tentu aku mulai mengerti apa yang Ibu maksud, sekaligus paham bahwa ternyata Ayah salah. Perempuan bisa juga berpikir dengan kepala mereka. Kuharap besok pagi aku bisa menceritakan pada Ayah semua ini, tapi kepalaku pusing sekali dan semua yang kulihat terasa mulai berbayang dan yang terpikirkan olehku hanya, “Ibu aku ngantuk sekali, boleh malam ini aku tidur dalam pelukan Ibu?”
Penulis, Talia Bara Lahir dan beraktivitas di Padang. Media sosial : facebook: Talia Sartika Bara Widya, Instagram : @atilaarba
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post