Ia melihat bagaimana kuda-kuda kayu itu mendadak hidup bersikejar di padang rumput dengan puluhan atau mungkin ratusan prajurit yang berlarian ke sana ke mari. Ia membunuh satu dua prajurit menumbangkan pasukan gajah yang tampak gagah dan kokoh. Sementara ia merasa aman berada di balik punggung menteri perang yang garang, cerdik, yang seringkali mendampingi sang raja melihat bagaimana perang besar terjadi. Di matanya mereka adalah pasukan iblis yang datang dari pedalaman hutan puluhan tahun yang lalu, segala hantu penjajah Belanda, Jepang, Penyamun, Bajak Laut, dan satu dua hantu PKI yang kejam terselip di antara ratusan prajurit hitam. Dan ia tahu siapa dalang di balik segala porak poranda itu. Yang mengundang segala macam iblis dari tempat antah berantah. Dialah Mardoni Piteng seorang dengan mata kiri juling dan codet yang menyilang wajah sebelah kiri tepat menyilang vertikal melintasi mata julingnya, bekas jahitannya masih nampak jelas. Ia kini sedang duduk di pundak menteri iblis paling bengis nan tinggi besar. Mardoni kini sedang meringis menampakkan beberapa giginya yang berwarna hitam dan tidak karuan seperti hendak mencuat ke sana kemari.
“Sebentar lagi istrimu akan jadi milikku.” Mardoni Piteng meringis lagi.
Mendadak Dul Jaran membuka mata. Ia merasakan keringat sebesar kacang tanah bertimbulan memenuhi wajahnya. Napasnya ngos-ngosan seolah puluhan babi hutan sedang mengejarnya. Jantungnya juga berdetak lebih cepat. Ia melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu kamarnya, menunjuk pukul 02.27. Hari masih terlalu pagi untuk ayam-ayam di emperan rumah-rumah reyot warga Kedungsoga, mulai berkokok. Juga terlalu pagi untuk seorang muazin berangkat ke masjid menyalakan speaker dan mulai melantunkan pujian-pujian pada Tuhan.
Sementara hawa dingin tentu saja masih hinggap di sekujur Kedungsoga membuat seluruh insan tak mau beranjak dari empuk dan hangatnya pelukan istri. Tapi bagi Dul Jaran tidak ada kata terlalu pagi, tidak ada hawa dingin, semua waktu rasanya selalu sama untuk rasa gelisah dan penasaran yang ia pendam sejak kemarin sore, ketika seluruh uang hasil kerja parkiran di sakunya tandas. Tapi sebenarnya ini adalah cara ia melindungi istrinya dari Mardoni Piteng sekaligus cara melarikan diri dari mulut si istri yang bagai pusaka cemeti amarasuli. Yang akan selalu menyambar-nyambar dan membuat segala yang berada di dekat istrinya porak poranda jika tidak ada uang setoran untuk makan hari ini.
Mirip maling kawakan, Dul Jaran dengan amat pelan melepaskan pelukan dari tubuh sintal dan empuk Dewi Yul. Dalam hati ia berharap dan berdoa pada segala tuhan manusia di Bumi agar istrinya yang tersayang ini dianugerahi tidur yang sungguh lelap, kalau bisa tuhan membuat pingsan istrinya untuk beberapa saat saja ketika dirinya berusaha melepaskan pelukan dan beranjak dari dipan reotnya yang cukup berisik ketika mereka sedang bercinta. Dengan sangat pelan Dul Jaran berhasil melepaskan pelukan tangannya dari tubuh istri yang tersayang itu. Dul Jaran menunggu sesaat, sembari berjaga-jaga apakah istrinya terbangun dari tidurnya atau tidak. Dan sepertinya salah satu atau seluruh tuhan manusia di Bumi mengabulkan doanya. Istrinya telah tertidur lelap mirip Gembul, kucing peliharaan mereka. Ia akhirnya menyingkap selimut dari tubuhnya, pelan-pelan sambil bergeser ke pinggir dipan. Di kepalanya kini penuh dengan ketakutan yang campur aduk dengan kecemasan. Apa yang akan setan itu langkahkan pertama kali? Begitu pikirnya.
*
“Kelak kau akan mengerti faedah bermain catur untuk kehidupan.” Abdul Wahid atau Dul Jaran kecil masih ingat bagaimana Lik Cangak itu tertawa terkekeh-kekeh dengan raut muka tanpa beban, meski tubuhnya sudah kusut hampir seluruhnya hanya menampakkan belulang di sana-sini. Kemiskinan seperti telah melumatnya entah sejak kapan. Dan aroma tanah liat belum sirna dari kedua kakinya yang dibalut lumpur tipis-tipis. Itu adalah waktu siang selepas zuhur seusai Lik Cangak membajak sawahnya, satu-satunya peruntungan dalam hidupnya yang barangkali telah membuatnya kian hari kian buntung.
Di sanalah Abdul Wahid akan menunggunya dengan wajah berseri-seri. Tepat di depan warung kopi bobrok milik Mbok Jah, di bawah pohon kersen yang cukup teduh dan gerah. Di bawah pohon itu ada angkrok kecil yang terbuat dari bambu dan di atasnya selalu tergeletak peti kayu papan catur yang beberapa buahnya telah berganti dengan batu kerikil. Beberapa orang serampangan kadang memainkannya sambil menenggak tuak tanpa tanggung jawab dan menghilangkan beberapa buahnya juga. Tak ada yang marah dan tak ada yang peduli, tapi Abdul Wahid merasa bersedih dan kehilangan atas buah-buah catur yang raib dan tidak jangkep 32 buah itu.
Di sanalah pertama kali Dul Jaran yang masih berusia sekitar tujuh atau delapan tahun terpikat dengan perkakas Bernama Sekak alias Catur. Sebuah papan kayu persegi yang disesaki kotak-kotak kecil hitam putih, yang mana nantinya kotak-kotak hitam putih itu adalah kavling-kavling tempat buah-buah catur berdiri gagah. Di mata Abdul Wahid semua itu sangat menakjubkan, mempesona, dan membuatnya sulit tidur saat malam menjelang. Ia kerap memikirkan kapan ia boleh memainkannya, pada usia berapa ia boleh memegang buah-buah catur melangkahkannya di petak hitam putih itu. Barangkali sudah sangat lama ia ingin memainkannya, mendapat lawan yang sepadan, disegani orang-orang dan diperlakukan dengan derajat yang sama.
Memang pernah suatu kali Abdul Wahid membuka peti catur itu menatanya di atas petak-petak hitam putih. Tentu saja dengan pola yang sama namun beberapa masih ada yang salah letak. Bidak-bidak pion sudah betul, semuanya berada di garis depan, satu dua pion atau prajurit kecil yang raib diganti kerikil seadanya yang berwna hitam atau putih. Dan di belakangnya berdiri menteri-menteri pembesar kerajaan, namun satu dua pembesar memang salah tempat. Saat hendak melangkahkan pion-pion hitam putih itu, mandadak Yanto Bejat menarik kaus Abdul Wahid dari belakang.
“Anak kecil tahu apa tentang catur, menata saja tidak pecus sana main lumpur di sawah!” Yanto Bejat mengangkat tubuh mungil Abdul Wahid dan melemparkannya ke tanah mirip orang membuang bungkusan sampah. Abdul Wahid gulung-gulung di tanah, tubuhnya lecet-lecet, kakinya sedikit terkilir tapi ia tidak menangis. Ia tahu di Kedungsoga orang yang gampang menangis pasti akan habis. Ia tahu Kedungsoga sama halnya dengan hutan rimba. Saat itu ia memandang Yanto Bejat sedang duduk di tempatnya barusan. Kulitnya songot coklat kehitaman, mengenakan kemeja kotak-kotak lusuh yang semua kancingnya dibiarkan terbuka menampakkan dada dan perut yang cukup berlekuk-lekuk. Ada sebuah tatto yang barangkali gagal lukis tersemat di atas puting dada kirinya, mungkin itu tatto ular cobra hendak mematok siapa saja yang berani main-main dengannya, namun kenyataannya yang terlihat adalah gambar tatto itu mirip centong nasi yang ingin memberi makan siapa saja yang lewat. Orang-orang di warung Mbok Jah kerap menertawakannya dan kerap memperkarakannya ketika Yanto Bejat bikin ulah. Tapi yang paling dibenci Abdul Wahid dari semua itu: baju kumal, levis bolong-bolong, kulit gelap, dan rambut semrawut adalah aroma sengak tuak yang masih menguar dari mulutnya.
“Kau lihat di situ saja, perhatikan bagaimana aku mengalahkan mereka semua.” Abdul Wahid hanya bisa diam berdiri di samping Yanto Bejat yang sesekali menenggak tuak dari botol Aqua bekas 1,6 liter. Abdul Wahid tahu tak ada seberkaspun sinar kecerdasan terpancar dari dahi Yanto Bejat. Ia tentu bukan lawan yang sepadan bagi Lik Cangak dan dirinya kelak yang seperti namanya, ia akan menjadi nomor satu, nomor wahid dalam bidang apapun yang ia tekuni.
“Aku pasti akan menghajar Si Tua Lapuk Bujang Cangak yang menyedihkan itu, dengan kepandaianku ini.” Yanto Bejat kembali tertawa di bawah teduhnya pohon kersen dan di depan warung kopi Mbok Jah. Sesekali terdengar ia bersendawa, menguap, tertawa. Abdul Wahid yakin Yanto benar-benar sinting.
Dan benar ketika Lik Cangak tiba satu dua orang mulai berkerumun di dipan atau angkruk bambu, duduk di sebelah mereka dan menonton pertandingan catur paling bergengsi di Kedungsoga antara kubu hitam dan kubu putih. Dan di ujung sore lima babak permainan catur itu telah usai dengan kemenangan yang tampak begitu mudah bagi Lik Cangak. Tubuh Yanto Bejat seketika seperti remuk redam dihujani caci maki, serapah, dan segala macam lok lokan ala Kedungsoga. Tubuh dan jiwa Yanto saat itu mungkin mirip terong usai dipanggang.
“Apa kau mau main sekali denganku?” Itulah pertama kali Lik Cangak mengajak Abdul Wahid bermain sekaligus mengajari bagaimana cara bermain catur. Ia ingat bagaimana tangan keriput Lik Cangak begitu lihai menghajar lawan-lawannya. Jari-jari itu di mata Abdul Wahid mirip wahyu atau petunjuk Tuhan yang menuntun umatnya menuju jalan yang lurus. Jalan yang benar, jalan kemenangan yang dapat mengalahkan tiap lawan yang menghadangnya.
*
Ketika Dul Jaran berhasil keluar rumah secara diam-diam dan hendak mengayuh sepeda tua rongsoknya. Hatinya begitu panas membayangkan bagaimana tiap jengkal tubuh Dewi Yul dilumat Mardoni Piteng. Tapi ia juga begitu takut dengan tiap gerak gerik Mardoni yang meskipun santai seakan-akan hendak membantai. Selalu ada prasangka atau dalam benak Dul Jaran prasangka itu lebih ia artikan sebagai prediksi, sebagaimana ia memprediksi tiga empat kemungkinan langkah yang diambil lawan ke depannya. Ketika tangannya menyentuh stang sepeda onthel rongsoknya ia merasakan keringat dingin telah merembes dari telapak tangannya yang hampir keriput dan gosong itu.
Ia ingat pada masa remajanya yang sama sekali tidak membanggakan dan tentu saja tidak membahagiakan. Dalam hatinya ia menganggap dirinya adalah sebenar-benarnya pecundang dalam segala lini dan segala bidang. Ia melakukan segalanya dengan setengah-setengah dan merasa puas pada setiap apa yang diraihnya tanpa berusaha lebih keras lagi. Begitulah kepecundangannya diasah, sewaktu remaja ia mengenal banyak perkara menyenangkan. Di SMA-nya ia bergabung dengan beberapa ekskul seperti: Ekskul Sepakbola, Ekskul Musik, dan Ekskul Pecinta Alam. Dan Dul Jaran harus puas dengan menjadi pemain cadangan atau sesekali membawakan barang-barang temannya ketika tim bola-nya main dengan sekolah lain. Dan di ekskul musik nasibnya lebih mengenaskan ia kerap kali dimaki sebab kemampuannya hanya sebatas mampu menyanyikan lagu yang itu-itu saja lagu yang kelewat jadul dan kesulitan mengikuti perkembangan musik-musik terbaru. Sementara di ekskul pecinta alam, ia lebih banyak bermalas-malasan di basecamp atau markasnya yang selalu acak-acakan dan menyediakan segala yang ia butuhkan ketika itu, seperti kompor kecil, ukulele, dan sebuah tikar lusuh yang cukup untuk merebahkan punggungnya dan bermalas-malasan sewaktu siang saat mata pelajaran begitu membosankan.
Dul Jaran menaiki sepeda tuanya sambil merenungi masa muda yang ia habiskan dengan sekehendak hatinya. Dan kali ini segala kenyamanan hidupnya seakan-akan hampir raib semua dan hanya menyisakan dua saja: istrinya dan papan catur. Tapi papan catur itu kini malih serupa bumerang yang akan menghantam dirinya dan merampas istrinya yang begitu ia sayangi dan jaga setengah mati. Mungkin semua itu tidak akan terjadi jika semasa remajanya ia habiskan hanya dengan bermain catur, mempelajarinya dengan tekun dan tidak malah bermalas malasan.
Tapi ia masih ingat, itu adalah bulan yang cukup basah di pasar kecamatan sekitar dua tahun yang lalu. Ketika ia melihat selebaran serupa brosur-brosur angsuran sepeda motor yang kerap keleleran di jalan-jalan kecamatan. Tapi kali itu ia yakin bukan brosur angsuran motor. Ia sebenarnya juga malas mendekati selebaran yang tertempel cukup lusuh di depan dinding ruko toko emas. Tapi entah kenapa rasa penasarannya membuat kakinya melangkah entah secara sadar atau tidak namun kaki-kaki Dul Jaran telah membuat mata dan kepalanya mendekat melihat dan membaca informasi yang terkandung dalam selebaran itu. Sejak saat itulah ia merasa dirinya telah terlahir kembali, dan gejolak dalam dirinya yang telah lama tidak ia rasakan, mendadak kembali bergolak mengembalikan ingatan-ingatan kegembiraan dan juga ketakutan.
Itu adalah selebaran pemberitahuan Open Turnamen Catur se-Kecamatan yang diadakan oleh Haji Tohir, pemilik puluhan warung bakso di beberapa kecamatan kota. Haji Tohir adalah satu dari sekian orang tajir yang terkenal di kota Dul Jaran. Hadiah turnamen catur itu kiranya cukup untuk melamar, membeli mas kawin, dan menyewa tarup. Semuanya Dul Jaran lakukan untuk Dewi Yul, satu-satunya perempuan di Kedungsoga yang ia cintai. Dan entah takdir atau keberuntungan atau bakat alam, Dul Jaran menyengget semua lawan-lawannya yang bebal dan kampungan itu. Ia pulang dengan perasaan gembira bangga dan uang yang memenuhi kantong plastik yang ia peluk erat-erat di dadanya seakan tak memberi kesempatan si bungkus plastik memuntahkan isinya. Saat itu juga mimpinya untuk menikahi Dewi Yul terkabulkan dan juga cita-citanya menjadi pecatur termashur di Kedungsoga telah jadi nyata.
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post