Aku sepertinya telah meninggalkan sebagian dari diriku di sana. Saat di mana kusaksikan darahnya mengalir dari luka di dahi, ia menatapku dengan tatapan yang memburu dan dengan tangan terkepal seolah siap untuk menghantamkan buku-buku jemarinya ke pelipisku. “Kau tahu, aku tidak akan mau menginjak kaki ke tempat ini lagi!” Ia berteriak dan membanting pintu, dan dapat kudengar dengan baik langkahnya yang keras dan terburu-buru semakin lama makin menjauh. Memang, tak ada setitik pun air mata mengalir dari mataku, atau bahkan semacam ucapan kekecewaan atau sumpah serapah. Tapi sungguh, aku merasa ada sekepingan dari diriku yang hilang dari kepergiannya. Ia memang terbiasa marah dan meledak-ledak. Sekalipun tanpa ujung pangkal yang jelas, tak jarang hal itu menyebabkannya dalam banyak masalah dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Walau begitu seberapa besar atau kecil pun ia tak cocok dengan orang-orang, ia akan selalu pulang ke rumah untuk memelukku, dan aku akan menenangkannya.
Hanya saja kali ini aku benar-benar yakin dia tak akan kembali lagi, dia telah menemukan rumah yang lain dan kuharap dia bisa berbahagia kemanapun langkahnya pergi. Tapi tetap saja dia adalah kepinganku yang hilang. “Dia benar-benar mirip dengan istrimu, Han. Seperti pinang belah dua, baik rupa maupun lakunya. Sayang sekali tak ada yang mirip denganmu.” Karto segera menyadarkanku dari lamunan panjang dan cerita-cerita sedihku yang seolah tak usai itu.
“Aku tidak pernah mempersalahkannya, baik istriku maupun Kalila. Hanya saja kalau aku boleh jujur, To. Aku ini tidak selamanya bisa tahan dengan semua ini, aku bisa rela jika istriku pergi entah itu untuk dia menyendiri sendiri atau pergi ke pelukkan lelaki lain. Tapi tidak dengan anakku, Kalila. Aku menyayanginya, aku yang lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.”
“Lalu apa kau benar-benar rela dengan kepergian istrimu? Maksudku bahkan setelah perceraian kalian yang seolah sepihak sebab dia tak kunjung ke pengadilan pun kau tak pernah kulihat mendekati perempuan lain, minimal kudengar rumor kau pendekatan dengan perempuan lain pun tidak pernah.”
“Tidak semudah itu Karto. Iya, baik-baik, jika aku masih mencintainya lantas bagaimana? Perceraian ini lebih baik, kami tidak perlu bertengkar setiap saat, dan aku tak perlu was-was saat anakku hanya dengannya.”
Dahi Karto berkerut, ia terdiam sesaat sambil menyeruput teh manis hangatnya, “Tunggu dulu, memangnya apa yang istrimu lakukan.” Sebaliknya, kini aku yang melakukan apa yang tadi Karto lakukan, “Sepulang bekerja, aku pernah menemukan Kalila dikurung dalam kamar mandi dengan sekujur tubuh yang lebam. Sementara istriku, aku tidak tahu dia kemana lagi, dia tidak pulang-pulang hingga tiga bulan kemudian ia kembali hanya untuk mengambil baju-bajunya.”
Seketika terasa seperti ada sesuatu yang memelintir ususku semakin menekan hingga napasku ikut tertahan, “Kalila saat itu belum genap berusia setahun, aku tidak mengerti mengapa seseorang bisa menyakiti bayi yang tidak berdaya seperti itu. Tapi aku pernah amat sangat mencintai perempuan itu, mungkin karena kami terlalu buru-buru, mungkin karena kami tidak memikirkan tentang apa kata orang dan apa yang akan terjadi di masa depan. Aku baru 20 tahun kala itu dalam perantauan dan masih mencari jalan hidup yang masih bisa kuperbaiki. Sedangkan dia masih tunas muda baru 17. Tentu tanpa heran kami terlalu naif untuk terlalu teburu-buru dalam banyak hal termasuk bahtera rumah tangga.” Karto menyodorkan sebungkus tisu padaku, ternyata tanpa kusadari ada air mata yang mulai mengalir.
Karto menepuk pundakku, ia tidak bisa menyarankan banyak hal selain agar aku segera berkonsultasi ke psikolog, “Ada luka lama yang belum kering di hatimu, Han. Banyak sekali luka.” Adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan padaku sebelum membayar apa saja yang kami makan dan minum di warung dekat kantor, Karto menyarankan agar aku membungkus sisa nasi goreng yang belum kuhabiskan itu. Tapi aku menggeleng, ada getir di dalam mulutku yang belum kunjung bisa kuhilangkan, tak mungkin dengan mudah bisa kuhabiskan nasi goreng itu sebelum makan malam nanti, pun soal makan malam belum tentu juga aku akan selera.
Aku telah melalui banyak pertengkaran demi pertengkaran, dan tentu aku berpikir sebagaimana layaknya banyak laki-laki; bahwa tiap rasa sakit yang tiba tidaklah seberapa. Karto kerap bercanda, umurku yang belum genap kepala tiga tapi keningku kerap berkerut menambah tua raut wajahku hingga beberapa tingkatan kepala di atas tiga. “Masih muda, kalau mau membuka hati bisa saja bertemu dengan perempuan-perempuan lain, entah yang sama-sama sudah punya anak sepertimu bahkan yang belum pernah menikah pun masih bisa.”
“Aku tak mau.” Karto menghela napas sebentar atas jawabku, “Ya memang soalan jodoh dan hati ini kita kerap tidak tahu, kan? Hanya saja ada beberapa orang yang bisa menikmati kesendiriannya, ada juga yang tidak. Aku hanya mengkhawatirkanmu sebagai temanku. Karena aku ingat betul waktu itu kala mantan istriku tiba-tiba datang menuntut banyak hal di depan resepsionis kantor, dan menuduh bahwa aku meninggalkannya dalam situasi ia sedang hamil anakku walau nyatanya dia berselingkuh, hanya kau yang membelaku.”
Aku kembali mengenang masa-masa itu. Dulu Karto dan istrinya memang seperti sepasang yang tak akan terpisah, bahkan aku tak mempercayai ketika tak sengaja lewat di halaman belakang kantor dan menyaksikan Karto menangis di sana. Mukanya merah, kerah bajunya basah karena air mata dan keringat, ia terus menerus menarik rambutnya hingga banyak yang rontok. Dengan nekat daripada meninggalkan tempat itu seolah tak tahu apa-apa, aku malah menghampiri rekan kerjaku ini. Menawarinya sebotol air minum dingin yang rencananya ingin kuminum saat makan siang nanti, dan tanpa kubertanya apapun semua cerita itu tumpah begitu saja dari mulut Karto.
Hari itu dia terus bercerita mulai dari pertemuannya dengan mantan istrinya yang ternyata sudah sedari mereka bayi, hari-hari yang mereka lewati di sekolah yang sama, hingga kedekatan mereka yang mulai bersemi di SMA kala semua orang mengira mereka berpacaran yang baru terealisasi saat mereka kuliah di jurusan yang sama dan mengikuti kegiatan mahasiswa yang sama pula. “Kami sepasang, kami selalu sepasang. Tapi mengapa ia berbohong padaku? Ia selalu berkata bahwa ia sedang melakukan kunjungan kerja ke luar kota tapi aku tahu dia sudah mengundurkan diri dari kantornya tiga bulan lalu, dan ketika kembali ke rumah ia bahkan tak mau duduk semeja denganku, bahkan untuk makan malam dan menceritakan bagaimana kami melalui hari kami, sebagaimana yang sudah-sudah kami lakukan. Kemudian aku tahu semuanya, tapi aku berusaha menghindari segala fakta dan berpikir bahwa hanya dia yang tercipta untukku.”
Tangis Karto semakin menjadi, dan aku entah mengapa memutuskan untuk mendengarkannya bercerita bahkan hingga hari sudah gelap dan kami terhitung bolos bekerja hari itu. Sejak saat itu Karto menganggapku sebagai sahabatnya, padahal kala ia menangis aku tak mengucapkan barang sepatah dua patah kata pun, aku hanya mendengarnya, mungkin barangkali hanya itu yang cukup bagi Karto. Dikarenakan adiknya adalah seorang psikolog jadi ia memutuskan untuk melakukan terapi, tiga bulan pertama adalah masa-masa yang berat namun bulan berikutnya keadaannya mulai membaik.
Jika Karto yang sedemikian lama mengenal mantan istrinya bisa dengan cepat merelakan segala sakit di masa lalu, lantas mengapa tidak denganku? Aku hanya mengenal mantan istriku dengan waktu yang singkat, aku bahkan belum menamatkan kuliahku saat kami agak salah urutan untuk punya anak baru menikah, lalu ketika aku wisuda di usia ke 27 aku hanya menggandeng Kalila saja berdua. Ada kalanya aku ingin bisa seperti Karto, ia mengenal lama mantan istrinya dan walau di awal perpisahan mereka ia amat terpuruk tapi ia bisa dengan cepat bangkit dari semua itu. Sedangkan aku dalam waktu yang sesingkat itu tetap sulit melupakannya.
Tidak dalam artian yang mana tiap jeda waktu dalam hidupku aku akan mengenang semua perkelahian kami, semua pilihanku untuk mengalah, atau bagaimana terkejutnya aku ketika ia menyakiti anak kami. Tapi setidaknya dalam beberapa waktu aku akan kembali mengingat kenangan terkutuk itu. Kadang aku mencoba mengingat hal-hal baik di dalam hidupku untuk menekan segala kenangan buruk itu hingga beberapa hal terjadi dan lama-kelamaan apa yang aku percayai mulai aku ragukan. Tapi bukankah aku memang meragukan banyak hal?
Seperti bagaimana aku keluar dari pondok pesantren karena ketahuan menyeludupkan minuman keras, yang sebenarnya walaupun sudah menjadi rahasia umum di antara para santriwan, tapi saat itu aku hanya sedang tidak beruntung saja. Sebab Thoriq, teman yang menolongku untuk menyeludupkan minuman keras yang sudah kami bagi ke beberapa plastik kresek adalah anak Kyai terpandang, sementara aku hanyalah anak dari seorang pedagang sayur di pasar, dibilang kaya tidak dibilang miskin juga tidak, tapi cukup untuk dikatakan bukan siapa-siapa betul di lingkungan itu.
Tapi jauh sebelum masa-masa remaja yang tidak baik itu, semasa kanak pun bukankah aku pernah menjual beberapa linting candu untuk bisa membelikan baju seragam baru untuk adikku yang terus mengeluh bahwa ia perempuan tapi mengapa ia mesti memakai celana seragam peninggalan abangnya. Tentu saja aku tidak mahir melakukannya, bukan soalan terlalu dini usiaku, sebab aku tahu Khalil yang merupakan adik temanku sudah lama memperdagangkan linting-linting candu itu. Hanya saja saat itu aku kurang pengalaman, itu adalah kali pertamaku dan aku benar-benar canggung. Sehingga hari berikutnya aku ketahuan oleh Uwak Ade dan ia menyarankan pada Ibu agar aku mondok saja agar pergaulanku lebih terjaga. Sialnya saran Uwak Ade tidak bisa terlaksana dengan baik.
Sekeluarnya dari sana keluarga besar tidak lagi mau menganggapku bagian dari mereka. Kedua orangtuaku juga memasrahkan semua tentang aku ingin apa atau menjadi apa mereka tak terlalu peduli lagi selagi aku bisa membiayai sendiri hidupku. Jadi itu yang kulakukan, aku bekerja mulai dari pagi hingga tengah malam, aku memaksa diriku belajar untuk bisa lulus ujian persamaan Paket B dan Paket C. Lalu mengumpulkan uang dengan merantau di luar kota agar aku bisa berkuliah, sebab dengan ijazahku saat ini aku tak bisa mendapatkan pekerjaan yang baik.
Lalu di sana, aku bertemu dengannya. Pagi di mana aku tak sengaja tersesat saat akan pergi bekerja karena rute yang biasa kulalui sedang mengalami perbaikan. Dan, kau tahu, momen itu terasa agak aneh dan memang terlalu mendadak juga. Kalau aku tidak melalui jalan itu dan tidak menyelamatkan seorang gadis yang akan melompat dari jembatan itu. Mungkinkah semua akan berbeda? Karto mendadak menepuk pundakku, menyadarkanku dari banyak lamunan. “Besok mau kuantar untuk konsul dengan adikku?” Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan ajakan itu.
Penulis, Talia Bara. Lahir dan berkegiatan di Padang
Email: [email protected]
Facebook: Talia Bara Widya
Instagram: @atilaarba
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post