Mamak suka sekali mengarang syair lagu ciptaannya sendiri ketika hendak menidurkan kami. Dan seingat kami Mamak telah menciptakan tiga. Padahal Mamak sama sekali tak pandai bermusik. Ia hanya suka bersenandung, menemukan irama sendiri tanpa tahu tangga nada. Kadang lagu karangannya itu pun sekilas mirip dengan lagu yang sudah ada. Tapi ia seperti pandai berimprovisasi dan mengarahkan nada yang nyaris serupa menuju nada baru yang terdengar lebih menarik. Ya walau pun suara Mamak tak semerdu penyanyi orkes melayu pada umumnya, tapi suara Mamak betul-betul ampuh mengantarkan kami sampai ke gerbang mimpi yang indah dengan cengkok melayu seadanya. Terlebih kata-kata yang dijalin Mamak menjadi bait-bait lirik yang utuh. Itu lebih mirip syair yang berisi nasihat-nasihat menenangkan hati kami yang mudah cemas dan takut. Sehingga kami jadi merasa hangat dan memiliki harapan untuk menghadapi hari esok.
Dan salah satu dari tiga syair lagu ciptaan Mamak begini bunyinya: Esok kita membeli, sebuah buku baru //Dan menggambar seroja, yang cantik menawan // Cepat besar anakku, dan perbanyaklah ilmu // Agar hidup indah, hebat di masa depan.
Cukup dengan dua putaran lagu tersebut seraya dibelai lembut atau ditepuk-tepuk pelan pada salah satu bagian tubuh semisal paha, maka kami akan langsung nyenyak dan pergi mencapai padang mimpi yang luas. Sementara dendang Mamak terus mengalun mengiringi langkah kami bermain sepuasnya, direkam dinding papan kamar yang sudah mulai lapuk berlubang dan dicatat oleh jalinan rumbia yang menjadi atap rumah kami. Bagi mereka, sepertinya suara Mamak pun adalah nutrisi yang mengalirkan sebuah kekuatan. Sehingga mereka jadi lebih tabah menghadapi cuaca ekstrem pada musim-musim yang berlalu. Sama seperti kami. Dan kami semua pun – aku dan adikku, serta seluruh benda dan tiap senti bagian rumah mungil kami – memiliki hubungan erat yang tak mudah dipisahkan dengan Mamak beserta lagu-lagu ciptaannya. Laksana kombinasi unik untuk sebuah keluarga kecil yang mencoba bertahan hidup di bawah langit biru yang sama seperti orang-orang. Dan Mamak adalah pusat pertahanan itu.
Saking seringnya Mamak menyanyikan lagu-lagu karyanya untuk menidurkan kami, aku sampai hapal bait-bait syair lagu Mamak. Kadang kalau Mamak belum pulang kerja, kelelahan, atau sedang kurang enak badan, aku menggantikan posisi Mamak bersenandung di kamar sempit kami untuk menidurkan adikku. Sebab aku sendiri sebenarnya sudah tak perlu nyanyian pengantar tidur, mengingat usiaku sudah sebelas tahun dan duduk di bangku kelas 5 SD. Sementara adikku, ia baru saja melewatkan semester pertamanya di sekolah. Tentu ia masih butuh penyemangat dalam kegiatan apa saja yang dilakukannya, termasuk proses menuju tidur.Maka dari itu, bila Mamak tampak tidak sehat, aku dengan senang hati melakukannya. Mengatakan bahwa kami baik-baik saja. Lebih baik Mamak istirahat yang cukup agar tidak bertambah sakitnya. Karena bagaimanapun Mamak adalah ibu perkasa yang tidak suka mengeluh di hadapan kami dan tampak semakin luar biasa sejak Bapak berpulang ke pelukan Tuhan saat adikku menginjak umur satu tahun.
Kadang pula aku merasa tidak tega bila melihat Mamak harus bekerja sehari penuh, bahkan sering lebih dari jam wajib. Ia pergi pagi-pagi sekali, sekitar pukul setengah enam usai menyiapkan sarapan pagi untuk kami, menuju tempat penjemputan buruh bersama teman-teman satu profesinya di dekat jembatan perbatasan kampung. Di sana, mereka akan diangkut oleh sebuah truk kuning. Mamak akan memanjat truk itu dan berbaur jadi satu dengan pekerja perempuan dan laki-laki dari kampung yang lain. Tampaknya Mamak tidak mengeluh soal ini. Mamak bilang teman-temannya baik, tidak ada yang perlu dicemaskan. Mereka saling bekerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan. Karena tanpa keakraban dan solidaritas yang tinggi, bekerja sebagai buruh pembersih kebun sawit luas milik sebuah perusahaan besar akan sangat bosan dan melelahkan. Maka dari itu, perlu mengesampingkan ego atau bisa dibilang harus tebal telinga saat mendapat candaan yang kadang agak berlebihan. Begitu kata Mamak.
Akan tetapi, aku tetap saja tak bisa menghilangkan rasa sedih melihat kerja keras Mamak, sekalipun ia tak pernah membicarakan kesedihannya di hadapanku, anak perempuannya yang mulai beranjak menjadi gadis remaja. Padahal aku juga tidak keberatan bahkan sangat senang sekali bila Mamak mau menjadikan aku sebagai teman curhatnya.Namun, yah, begitulah para ibu. Mereka tidak suka terlihat lemah di hadapan anak-anaknnya. Meski tak bisa dipungkiri juga bahwa Mamak tetap suka mengomel bila aku dan adikku sulit dibangunkan atau lupa mengerjakan tugasku di rumah. Terlebih bila kami tidak menunaikan kewajiban sebagai muslim. Mamak berang sekali. Ia tidak akan menyanyikan satu lagu pun sebagai pengantar tidur. Melainkan bertindak sebagai seorang pendakwah yang menekankan secara mutlak bahwa kami tidak boleh meninggalkan salat wajib yang cuma lima waktu sehari semalam itu. Mamak bilang, Bapak memerlukan doa kami sebagai pelebur dosa dan penerang kubur. Sebab Mamak pun telah memberikan panutan yang amat baik kepada kami. Sesibuk apapun ia, atau rasa lelah yang tak bisa dilawan, ia tetap berusaha merendahkan kening dan dirinya di hadapan Tuhan. Sekalipun di tengah kebun sawit dan semak belukar saat bekerja.
Demikianlah Mamak kami. Kupikir semua ibu di dunia ini tentu memiliki keistimewaannya masing-masing dan teramat berharga di mata anak-anaknya. Meski sama saja. Seorang ibu akan merelakan apapun dan mengesampingkan keinginannya sendiri demi mewujudkan apa yang menjadi keinginannya anak-anaknya. Hanya saja, Mamak kami harus berusaha berkali-kali lebih keras dari ibu-ibu yang hidupnya berkecukupan dalam menjalani prosesnya. Ditambah lagi ia harus sangat kuat dan kebal ketika berhadapan dengan gosip-gosip murahan yang menyebar seperti jamur perusak di musim hujan.
Mamak kami yang seorang janda sering didera kabar tak sedap. Mereka bilang seharusnya Mamak bersuami lagi, tidak akan sanggup mengurus kami sampai dewasa. Karena yang terlihat di mata mereka, aku dan adikku seperti ditelantarkan Mamak. Padahal, sih, sama sekali tidak seperti itu. Atau yang lebih parah, Mamak suka dianggap bekerja sampingan dalam tanda kutip karena suka pulang malam. Mereka berasumsi yang tidak pernah Mamak lakukan. Bahkan salah seorang dari mereka pernah menyampaikan hal ini langsung kepadaku. Yang sontak langsung membuatku kaget, kacau, dan bersedih. Aku berada diantara rasa selalu percaya pada Mamak dan berusaha menekan segala kabar miring yang menerpa Mamak.Sebab aku memang yakin bahwa Mamak pulang terlambat itu karena pekerjaannya lebih berat atau ia sedang mencari tambahan lain dengan mengumpulkan buah-buah sawit yang lepas dari tandannya bersama beberapa teman perempuannya yang lain. Mamak bilang, itu sudah mendapat izin dari mandornya yang baik hati. Atau jika pulang agak malam, itu artinya Mamak berada dalam proses antrian ambil gaji dan harus mampir dulu ke pasar untuk membeli bahan-bahan pokok, lalu pulang sendiri dengan naik angkutan umum. Maka dari itu, aku tidak mau menambah beban pikiran Mamak dengan mengadukan percakapan orang-orang yang membahas Mamak. Kurasa itu tidak penting.
Akan tetapi, entah mengapa pada hari ini, aku betul-betul dilanda kecemasan bila teringat Mamak. Sementara di luar hujan turun dan adikku terus merengek tidak tentu arah. Bukan karena ia kelaparan. Sebab aku sudah belajar memasak dan mengolah bahan makanan yang ada semampuku. Namun karena sudah pukul setengah sepuluh malam Mamak tak kunjung pulang. Aku berkali-kali mengintip dari celah jendela dan bolak-balik ke kamar. Setahuku hari ini belum jadwal gajian dan Mamak tidak bilang apapun kalau ia akan pulang terlambat seperti ini. Aku jadi semakin resah. Dan terpaksa berusaha menenangkan diriku sendiri dan adikku dengan bersenandung salah satu lagu ciptaan Mamak.
Terbanglah tuan menembus awan // Tanam impian ke langit biru // Baik budilah dalam berkawan //Biar harum sewangi gaharu
“Kak, kapan Mamak pulang?” tiba-tiba adikku bertanya sebelum aku menyelesaikan bait kedua. Sementara hujan di luar kian deras. Hatiku pun bertambah risau dan pikiranku dipenuhi banyak hal.
“Sebentar lagi,” jawabku singkat seraya membelai rambutnya dan melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Sebab aku tak tahu harus menjawab apa.
Tanpa sadar aku ternyata belajar dari karakter Mamak yang selalu menyimpan kegelisahan. Tak mau membuat keadaan yang sudah cemas semakin mengkhawatirkan. Sampai ketika rasanya kami mulai didera hawa kantuk, terdengar bunyi pintu depan diketuk beberapa kali. Membuat mataku melek lebar dan pelan-pelan meninggalkan adikku yang sudah tidur pulas, agar ia tak terbangun. Sebelum kubuka pintu, aku mengintip melalui celah lebih dahulu. Begitu yang diajarkan Mamak. Setelah yakin bahwa bukan orang asing di luar baru kubuka pintu tersebut. Karena seseorang yang ada di luar memang bukan orang asing, melainkan adalah Mamak.
“Mamak!” Segera kupeluk tubuh Mamak, tak peduli ia sedang basah kuyup dan kedinginan. Karena aku betul-betul khawatir. “Kenapa lama sekali pulangnya. Kami ketakutan. Takut terjadi sesuatu sama Mamak.”
“Iya, Nak,” jawab Mamak sambil buru-buru ke arah dapur. “Tidak apa-apa kok. Maaf ya, tadi ada pohon tumbang di jalan. Jadi truknya tidak bisa lewat. Kamu sudah makan?”
“Sudah, Mak. Adik sudah tidur. Dia bertanya terus kapan Mamak pulang.”
“Ya, sudah. Kamu tidur juga sana.”
“Iya, Mak. Tapi, Mamak sungguh tidak apa-apa?” tanyaku, merasa ekspresi wajah Mamak seperti menyimpan sesuatu. Apa mungkin karena kedinginan, pikirku.
“Tidak apa-apa.”
Aku senang Mamak pulang, walau harus basah-basahan. Tapi dadaku malah dipenuhi rasa ingin tahu yang besar kenapa Mamak terlihat sedih malam ini. Banyak dugaan yang muncul di benakku. Apakah nanti saat aku sudah menjadi seorang ibu, aku mampu menyembunyikan masalah-masalah seperti Mamakku? tanyaku sendiri.
***
Penulis, M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), dan telah tersebar di media seperti Pikiran Rakyat, Rakyat Sumbar, Radar Mojokerto, Haluan Padang, Padang Ekspres, Riau Pos, Fajar Makassar, Banjarmasin Post, Magelang Ekspres, Radar Cirebon, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Radar Malang, Radar Tasikmalaya, Bangka Pos, dll. Fiasko (2018, AT Press) adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER), Komunitas Pembatas Buku Jakarta, dan Kelas Puisi Alit.
Discussion about this post