Bermula dari sebuah keputusan: aku mesti merantau. Maka langkah itu telah mengantarkanku ke kota yang berada di sisi Selat Melaka. Dalam kepalaku, Batam memang kota yang sedang berkembang. Kota yang disesaki oleh tempat hiburan dan pabrik-pabrik industri. Begitulah selintas yang kudengar dari orang-orang yang pernah malang melintang di sana. Sebuah udara lain yang berhembus, dan warna kota yang kunikmati saat menuju Batu Aji, seolah menyambutku hangat. Seorang karib yang kutemui pun dengan senang hati menerangkan nama-nama tempat kepadaku. Dalam hati aku berkata, meski masih asing, seiring berjalan waktu, perlahan aku akan mengenal kota ini.
Dan memang, aku pun perlahan paham setelah mendapatkan pekerjaan di salah satu pabrik di kawasan Batam Centre. Kota terbesar ketiga di wilayah Sumatera ini memang membuatku terkesima. Pencampuran berbagai etnis, dan latar belakang berbeda (Jawa, Melayu, Minang, Batak, Banjar, Bugis, Thiongha) maupun etnis lainnya, begitu menyatu di kota yang mula tumbuh pada tahun 1970-an ini.
Tetapi begitulah. Hanya empat bulan. Hanya empat bulan aku melewati hari-hari yang berpeluh di kota ini. “Apa kau kembali ke Padang?” Tanya saudaraku begitu tahu kontrakku tak diperpanjang oleh pihak pabrik saat itu. Aku menganggukkan kepala bagai menyesali kekalahan. Dengan berat hati, maka kukemasilah barang-barang di saat aku mulai mencintai pekerjaan sebagai buruh.
Tapi sebelum aku benar-benar meninggalkan segala kenangan di kota ini, aku masih sempat menyusuri jembatang Barelang yang menghubungkan pulau-pulau: Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru. Jembatan yang diprakasaiPresiden Habibie ini terdiri dari enam jembatan. Setelah aku telisik lebih jauh, ternyata masing-masing jembatan ini juga memiliki nama. Jembatan satuJembatan Tengku Fisabilillah, sedangkan jembatan enam,Jembatan Raja kecil. Betapa inginnya aku berkunjung ke Pulau Galang untuk menyaksikan Kampung Vietnam yang penuh nilai sejarah itu. Kampung yang bermula tahun 1979, saat ratusan ribu warga Vietnam eksodus akibat perang saudara. Kampung yang menyimpan jejak pengungsian yang memilukan. Berbagai benda peninggalan bisa ditemui di sini, mulai dari barak pengungsian, kuburan, gereja, pagoda, rumah sakit, hingga seribu wajah kenangan para pengungsi.
***
Dan begitulah Marni pernah mengkhatamkan sebuah catatan perjalanan yang ditulis Fais, saat adik bungsunya itu awal-awal merantau ke Batam. Betapa begitu silam, dan betapa di hadapannya kini, nun jauh di sana, sebuah kapal yang bertolak dari pelabuhan jembatan dua Barelang, tatapan Marni seakan berlari menuju ceruk masa silam sebelum pulau-pulau petualanganbenar-benar menjadi mekar dalam ragam etnik yang saling berangkulan.
Duduk termangu berdua Rasya, anak perempuannya yang bermata indah itu, Marni sejenak melepas suntuk dari rutinitas sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Dipandangnya langit petang. Betapa gerimis mulai luruh di jembatan satu dan menimpa segala letih, segala murung orang-orang yang sedari tadi silih berganti datang dan pergi. Terpikir oleh Marni seketika, apakah ratusan buruh yang ia lihat di terik siang, yang tengah berkumpul untuk memperjungkan hak mereka di pusat kota masih bertahan? Ah, entahlah, Marni pun mafhum, bukankah bagian-bagian kecil dari hidup yang jika dikayuh dengan bijak dan dengan sepenuh jiwa, maka hidup akan terasa penuh makna walaupun sederhana?
Ya. Segalanya telah berubah. Segalanya telah menukar wajahnya dengan sesak orang-orang di lantai kemajuan dan bursa kerja yang bagai ladang subur untuk ditanami dan dituai hasilnya. Pikir Marni, betapa banyak orang silih berganti datang dan pergi. Ada yang mujur, ada yang hanya sedikit kebanggaan yang diseret ke kampung halaman, dan bahkan, sebuah kekalahan telak yang dibawa bagai terpental dari tikungan hidup yang terus meninggi. Pula dirinya yang termasuk beruntung bisa berkuliah hingga akhirnya lulus sebagai PNS, dan ditempatkan di sebuah sekolah dasar. Padahal dulunya, ia sempat keluar masuk Singapura untuk kerja serabutan. Sebuah pekerjaan yang tentu pada akhirnya membuat Marni jenuh, dan memilih melanjutkan pendidikan demi sebuah masa depan.
“Ya begitulah hidup, Marni. Butuh pengorbanan. Dan yang terpenting itu, sabar dan tawakal,” tukas Karni di suatu petang bergerimis sepulang bekerja.
Dan Marni tentu selalu ingat kata-kata sang suami. Kota rantauan, kota-kota yang berlari dalam rentetan pecahan zaman yang menelikung jauh. Dalam letih mengurai usia dalam timbunan matahari, apa sesungguhnya yang dicari manusia di tempat-tempat persinggahan yang kerap mengundang rasa takjub pada semesta?
Hanyalah Marni menatap lekat-lekat langit jauh dengan kepala yang diserang sekujur kenangan masa silam. Dalam gerimis yang turun rintik-rintik, kembali terbayang oleh Marni jalan menuju kamp pengungsian Vietnam di Galang yang ia kunjungi empat bulan yang lalu. Bahwasanya di Galang, pernah iasaksikan hujan pagi berlari seperti hewan tunggangan. Pelabuhan ke Moro yang sepi, hanya kapal pengangkut minyak bumi yang tersandar letih. Dan wajah anak-anak mengaji yang seusia murid-muridnya di sekolah, betapa Marni memahami betul, di ceruk pulau, di tengah segala keterbatasan, mereka terus berlari meniti sungai usia demi hari depan yang lebih baik..
“Kota ini telah maju, Is. Beda dengan saat kakak awal-awal merantau dulu. Belum ada mol-mol mewah, dan jalanan raya yang luas. Untuk tinggal saja harus menumpang di rumah kawan. Kadang ke PT tidak mandi, hanya gosok gigi serta cuci muka saja lantaran air susah. Tapi sekarang lihatlah, dimana- mana telah maju. Pusat industri, pariwisata, pendidikan, ataupun pembangunan bagai berlomba-lomba dengan kota Jakarta.
Fais yang mendengar kelakar kakaknya itu memahami betul, bahwa sebuah kota, lambat atau cepat, selalu berupaya untuk berubah, dan merangsek menuju kedigdayaan yang didamba-dambakan. Sebagaimana kota-kota lain yang pernah ia sambangi, dan ia tulis dalam catatan perjalanan yang khas dengan foto-foto yang mengundang decak kagum bagi orang-orang yang melihatnya, dan menghiasi berbagai majalah wisata.
Dan terlebih Jakarta, tentu telah berulangkali ia sambangi ibu kota yang multikultural itu. Sekali waktu, Fais pernah meliput di Condet. Dalam hujan gerimis yang menyambut bagai memasuki pintu musim dengan tarian masa silam yang menari sepenuh wajah tahun-tahun yang telah pergi. Udara dingin yang merayap pelan, bagai menggelitik kuduknya dan menggiring langkahnya memasuki kampung masa silam dengan bunga-bunga berbagai warna bermekaran di taman. Siapakah yang pantas memetik bunga-bunga itu, dan apakah yang hendak dimaknai dari remah-remah perjalanan kota ini dengan persilangan ragam etnik yang saling takzim di dalamnya itu?
Dengan mata terpejam, Fais mengamini segala yang berhamburan dan menyimpan dirinya dalam tubuh waktu. Selain kartu tanda penduduk primordial yang saling berangkulan, tugu, monumen, dan jalan-jalan kota bermekaran bagai mekar putik jambu.
Fais beruntung sekali kala itu bisa meliput satu-satunya rumah Betawi tempo dulu yang masih bertahan di Condet. Usia rumah itu sekitar seratus tahun yang dibangun berbarengan dengan Gudang Air Kramatjati tahun 1918. Rumah berdinding kayu bercat hijau muda ini, sungguh tampak amat sederhana dan smepat dijadikan properti syuting sinetron pada tahun 1990-an.
***
Dan begitulah, sungguh tak pernah dinyana oleh Marni. Fais begitu giat menuliskan catatan perjalanan di setiap kota yang pernah disambanginya itu. Dan yang paling berkesan baginya, tentu catatan perjalanan yang ditulis Fais tahun 2009 silam. Setelah bekerja tiga bulan di salah satu PT kawasan Cammo, Fais menuliskan pengalamannya itu pertama kali di kertas buram. Begitu banyak hal yang ditulis Fais yang bekerja sebagai operator. UMR Batam yang kala itu masih satu juta empat puluh lima ribu, telahmengantar Fais ke dalam runititas kerja yang dipenuhihari-hari yang berpeluh. Satu hal yang berkesan bagi Fais, tentu perihal toleransi. Di kala rekannya kerjanya yang beragama Nasrani merayakan Natal, maka Fais dan rekan-rekannya yang lainlah yang menggantikan posisi-posisi yang ditinggalkan.
“Begitulah hendaknya kehidupan antara umat beragama, Is. Salah satu faktor sebab kemajuan suatu kota, tentu terciptanya kedamaian dan toleransi yang tinggi antar umat beragama yang beragam suku dan budaya. Dan lihatlah kondisi sekarang, aman-aman saja bukan? Dengan adanya keamanan yang baik dan ditunjang dengan pembangunan yang lancar, tentu para investor semakin tertarik untuk menanamkan modal dan membuka peluang usaha. Dengan dibukanya peluang atau lapangan kerja yang banyak, maka angka pengangguran akan bisa dikurangi. Dan jika angka pengganguran rendah, ini tentu akan bisa menekan angka kriminalitas, Is.” Seloroh Karni di malam itu, ikut memberikan pandangan di balik pengalaman Fais ketika bekerja sebagai operator dulu.
Dan memang. Memang hanyalah Fais satu-satunya adik lelaki yang kini masih hidup dalam kambium usia Marni. Tak ada lagi Ardi. Ardi yang berprofesi sebagai PNS pemadam kebakaran itu, sungguh hanyalah sebuah kisah pilu yang tak akan pernah dilupakan Marni. Sebuah kecelakaan kerja pada sebuah malam, telah merenggut nyawa Ardi. Ardi pun tewas secara mengenaskan.
Bermula saat sebuah sekolah dasar mengalami kebakaran hebat, maka Ardi turut serta dalam rombongan pemadam kebakaran pada malam itu. Saat melintas di sebuah pertigaan, Ardi terjatuh dari mobil dan tubuhnya dilindas oleh ban belakang mobil yang dinaikinya itu. Marni begitu histeris kala itu. Terlebih pula, sekolah yang terbakar itu adalah sekolah Naila, anak Ardi yang masih duduk di kelas tiga. Naila yang awalnya sering bersedih akan kematianArdi, pada akhirnya tumbuh sebagai gadis periang dan multitalenta. Naila ahli dalam bidang fisika, tarik suara, paskibraka, dan menulis novel yang salah satunya bercerita tentang kisah nyata sang ayahnya sendiri.
***
Dan haripun semakin beranjak petang. Hanyalah langit jingga dengan burung-burung berpulangan yang membuat Marni sejenak terkesima. Gerimis yang sedari tadi sempat luruh dengan tarian yang membuat murung membuncah, kini telah lenyap, dan berhamburan menuju kejauhan yang gaib. Saat Marni sejenak mengalihkan pandangan menuju riak laut di bawah jembatan, Marni seakan menatap riak zaman yang menelan peristiwa manusia yang letih mengurai usia.
Ketika kota-kota kian melaju meninggalkan petilasan-petilasan lama. Ketika orang-orang silih berganti datang dan pergi menyeret nasib di kedalaman mimpi, selalu saja, selalu saja ada yang kalah dan memilih mati dengan cara sia-sia. Apa sesungguhnya yang membuat orang-orang memilih mengakhiri hidupnya di jembatan yang selalu disesaki orang-orang di setiap akhir pekan ini? Entahlah, Marni pun sejenak memejamkan mata sambil memeluk erat-erat anaknya dengan wajah yang tampak letih itu. Sebuah kapal ia lihat berlalu di kejauhan, betapa, hanyalah pikirannya seketika menerawang jauh menuju kejauhan yang beratus kilometer jaraknya dari tempat ia berdiri.
Di Bukittinggi sana, Fais barangkali tengah asyik meliput kegiatan wisata dengan mata kamera yang baru saja dibeli. Tapi, begitu sebuah pesan pendek dari Karni tiba-tiba masuk ke telepon genggamnya,maka seketika itu juga Marni berkemas untuk segera pulang menuju rumahnya. Marni meniti sebuah senja yang lembab. Di pusat kotasana, orang-orang berpulangan dan alunan ngaji dari masjid, sungguh, perulangan itu melulu tercipta dari deret doa dan berjuta mimpi manusia. 2019
Penulis: Budi Saputra, Lahir di Padang, 20 April 1990. Menulis puisi, esai, feature, dan cerita pendek di berbagai media massa seperti Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan, Tabloid Kampus Medika, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Lombok Post, Tanjung Pinang Pos, Kompas. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012 di Bali, Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) 5 Palembang (2011), dan PPN 6 Jambi (2012).Buku puisi tunggalnya berjudul Dalam Timbunan Matahari (2016), dan Kesaksian Minyak Jelantah (2020). Email: [email protected]
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post