Ungkapan-ungkapan larangan yang dipercayai masyarakat tidak seutuhnya menyoal kebenaran atau kebohongan, ada yang benar-benar terjadi ada yang hanya sebagai simbol atau sebuah kiasan untuk sebuah nasihat. Boleh dipercaya, boleh juga tidak. Sebab ungkapan larangan adalah kebiasan yang dilakukan secara turun temurun dan disebarkan oleh masyarakat, namun ia tercatat sebagai suatu tradisi lisan di Indonesia, termasuk Minangkabau.
Ungkapan larangan adalah bagian dari foklor lisan yang bentuknya memang murni lisan, misalnya bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Foklor sebagian lisan adalah foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat dan permainan rakyat. Sementara itu, Foklor bukan lisan adalah foklor yang bentuknya bukan lisan, walau cara pembuatannya diajarkan secara lisan, misalnya arsitektur rakyat dan kerajinan tangan rakyat (Danandjaya, 1991: 21-22).
Di Surantih, Kab. Pesisir Selatan, Sumatra Barat ada ungkapan larangan yang selalu diingatkan kepada perempuan dan anak kecil, yaitu tentang hantu palasik atau orang Surantih menyebutnya antu palasit. Hantu palasik/palasit menurut cerita adalah sebuah legenda atau kepercayaan orang Minangkabau dan Melayu, ia sejenis makhluk gaib. Menurut kepercayaan orang-orang di Minangkabau, palasik bukanlah hantu tetapi manusia yang memiliki ilmu hitam. Palasik sangat ditakuti oleh ibu-ibu di Minangkabau yang memiliki balita, karena makanan palasik adalah anak bayi/balita, baik yang masih dalam kandungan ataupun yang sudah mati (dikubur). Ilmu palasik ini juga dipercayai sebagai ilmu turun-temurun, apabila orang tuanya adalah seorang palasik maka anaknya pun akan jadi palasik. Dibeberapa kejadian, orang yang keturunan palasik juga mengatakan, bahwa saat dia datang jangan takut apalagi sengaja menyembunyikan sang anak. Karena yang melakukan hal demikian bukanlah dia, tapi unsur gaib yang dibawa secara turun temurun.
Tetapi berkembangnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, kepercayaan rakyat akan ungkapan larangan alam gaib ini tidak lagi mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Palasik hanya tinggal cerita saja, selain itu masyarakat sudah berpikir lebih maju lagi, tidak mudah melakukan tindakan-tindakan “gaib” sembarangan. Meski pada dasarnya ungkapan larangan tersebut sudah menemani pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Dilain sisi, memang adanya ketertinggalan tradisi lisan itu yang dianggap kuno atau tidak cukup menakutkan lagi. Banyak cara untuk mewarisi tradisi-tradisi lama supaya tidak hilang, salah satunya memberikan pengertian bahwa tradisi lisan hanya sebuah pengantar untuk dapat dipahami maksud dan tujuannya.
Tradisi lisan tentang ungkapan larangan perlu dilestarikan, bukan untuk menakut-nakuti ataupun takabur akan adanya mahkluk gaib dan mereka bisa berwujud kasat mata. Setiap ungkapan larangan juga ada cara mengantisipasinya, bukan sebuah petaka yang tidak dapat dielakkan. Berikut beberapa ungkapan larangan tentang palasik/palasit;
Padusi nan manganduang indak bulia pai kalua, kok kalua juo jan lupo bawok panyambuah yang barisi bawang putiah, daun inggu jo dasun supayo ndak diganggu di antu palasik
Perempuan yang sedang hamil tidak boleh keluar, kalau tetap ingin keluar bawalah penyembuh yang berisikan bawang putih, daun inggu dan dasun supaya tidak diganggu hantu palasik
Anak ketek nan baru lahia indak bulia bawok ka pasa, beko nyo isok darahnyo di antu palasik, kok ka dibawok juo, gantuang bawang putiah jo dasun di kain dukuang anak tu.
Anak kecil yang baru lahir tidak boleh dibawa ke pasar, nanti darahnya dihisap hantu palasik, kalau mau keluar juga bawa juga bawang putih dan dasun lalu gantung dikain badungan.
Anak ketek nan baru lahia jan dibawok duduak-duduak di lua, beko dapek dihisok daranyo di palasik, kok dibawok juo, jan lupo pakai galang basi di tangannyo.
Anak kecil yang baru lahir jangan dibawa duduk-duduk di luar, memberikan kesempatan bagi palasik untuk menghisap darahnya, kalau mau dibawa juga pakai gelang besi di tangannya
Kok ado tibo antu palasik ka ruma, jan disuruakan anak ketek dari antu palasik tu, tapi di suduakan ka inyo supayo ndak jadi nyo isok de.
Kalau ada hantu palasik datang ke rumah, jangan disembunyikan sang anak dari dia, tapi hadapkan ke dia supaya tidak jadi dihisap darahnya.
Meski demikian, ada baiknya juga kehilangan hantu palasik itu, ibu-ibu yang memiliki balita tidak perlu cemas untuk keluar rumah dan mencurigai orang lain yang datang ke rumahnya. Namun minusnya adalah hilangnya tradisi lisan tersebut tentang ungkapan larangan alam gaib, sehingga masyarakat jadi sembarangan berjalan keluar rumah dan membawa bayinya. Tentu tidak semua daerah kehilangan ungkapan larangan tersebut, dibeberapa daerah masih mempraktekkan ungkapan larangan ini sebagai tradisi lisan yang turun temurun. Sebagai masyarakat yang berkembang dan berakal, tentu saja ungkapan larangan tersebut dapat dipahami; bukan soal menakuti. Tetapi bagaimana adab dan kesopanan menjadi seorang ibu yang sedang mengandung atau memiliki seorang anak balita. (APP)
- Aku, Kampungku dan Film India: Momen yang Utuh dalam Ingatan | Arif Purnama Putra - 8 Juni 2024
- Pameran Poto Fatris MF Bertajuk “Di Bawah Kuasa Naga”: Melihat Potret Komodo dan Kemurungan lainnya - 25 April 2024
- Festival Qasidah Rabbana: Menyaru Masa Kanak-kanak di Sungai Liku Ranah Pesisir - 15 April 2024
Discussion about this post