Laki-laki itu tak rela, jika anak ketiganya akan diambil oleh iblis. Dua anaknya sudah menjadi korban. Di kehamilan istrinya yang berusia sembilan bulan, ia mendatangi kyai, berharap mendapatkan pertolongan, jika nanti anak ketiganya lahir.
Iblis datang kepadanya dalam wujud yang tidak pernah ia duga. Perempuan paling cantik, pengemis renta yang patut dikasihani, lalat yang paling menjijikkan, atau bentuk lain yang belum pernah ia bayangkan. Kekhawatirannya sudah dimulai sejak ia mendengar kabar bahwa istrinya sedang positif hamil. Ia tak pernah tenang semenjak mendengar kabar itu. Di mana pun ia sering melamun. Memikirkan cara bagaimana menyiasati iblis, supaya anak ketiganya tak diambil juga.
Ia menutupi kabar tentang kehamilan anaknya yang ketiga dari siapa pun. Dari tetangga, sahabatnya, rekan kerjanya, bahkan dari orang tua dan mertuanya.
Mereka berdua duduk di halaman lantai atas rumahnya. Senja yang seharusnya indah, tampak muram. Langit berwarna keemasan, dengan angin sore yang menerpa lembut, dalam angannya keluarga itu berharap bisa menghentikan waktu. Mereka bergerak tapi berharap waktu berhenti. Orang tua seharusnya berbahagia menyambut kelahiran sang buah hati, mereka masuk pengecualian. Kegelisahan semakin bergelayut. Semakin hari, mereka semakin dilanda keresahan.
Sang istri mengelus perutnya yang semakin membesar, sang suami kemudian berjongkok di hadapannya. Ia mengelus perut istrinya, menciumnya, dan mengucapkan beberapa baris kalimat. Bagaimana pun caranya, anak ketiganya harus lahir ke dunia dalam keadaan utuh sebagai manusia. Iblis tak lagi berhak atasnya. Ia ingin melawan, melanggar perjanjian yang telah dibuatnya dengan sang iblis.
Banyak ulama yang menyerah dan tak mau ikut campur dengan perjanjian yang telah ia buat dengan iblis. Beberapa mau mendoakan dan membantunya dari perjanjian yang rumit itu. Seorang kyai dari Jawa Timur memberikan harapan baginya, ia akan mampu kembali hidup normal, sebagaimana keluarga yang lain.
Mereka sekeluarga diboyong ke daerah pedalaman Jawa Timur, dengan sangat terpaksa sang suami harus berhenti bekerja demi menemani sang istri. Di usia kelahiran yang semakin dekat, sang suami berusaha menyediakan transportasi terbaik. Perjalanan jauh, ia usahakan tetap menyenangkan.
Berada di lingkungan pesantren, ia seharusnya merasa tenang. Namun, ia tak bisa memungkiri perasaan hatinya, masih ada kegundahan yang mengendap dan resah yang menggelayuti hati. Para santri berjaga, dengan zikir yang mengalun pelan. Sang kyai juga berani menjamin, sang iblis tidak akan berani mendatangi tempat itu. Masuk ke halaman pesantren itu, sang kyai yakin, iblis itu akan terbakar oleh zikir yang dialunkan oleh santri didikannya. Belum lagi salat malam dan kajian bersama yang dilakukan para santri di setiap malam.
Ia tak bisa melupakan bagaimana iblis mengambil anaknya yang pertama. Proses kelahiran dibawa ke rumah sakit, ia dan istrinya sempat menggendong sebentar, sebelum iblis menculiknya dari ruangan dimana para bayi dititipkan. Ia bahkan baru saja memberikannya sebuah nama. Bayi perempuan yang mirip istrinya. Ia lemas, linglung, dan seperti orang bodoh. Ia mengira perjanjiannya dengan iblis hanya berupa kata-kata, tetapi iblis benar-benar mengambil anaknya. Ia meminta petugas rumah sakit untuk memutarkan rekaman cctv, dan ia melihat seorang sosok yang mengambil bayinya dengan cepat. Semua itu terlihat kalau diputar secara lambat. Petugas rumah sakit tak ada yang mempercayai ceritanya. Tak masuk akal. Ia dan istrinya pun diam, dengan kekecewaan yang mendalam.
Anaknya yang kedua, diambil juga tak lama setelah kelahiran. Ketakutan akan kehilangan anaknya yang pertama, proses kelahiran mereka biarkan di rumah sendiri. Mereka masyarakat urban yang percaya pada hal-hal mistis. Mereka mengundang segenap kerabat, menjaga proses kelahiran itu serapat mungkin. Namun iblis tetaplah iblis, bisa menjelma sebagai apa pun untuk menagih perjanjian yang mereka lakukan dengan manusia. Anaknya lahir tanpa suara, tanpa tangisan.
Ketidakwajaran terjadi ketika anak itu baru saja menyapa dunia. Hal yang tak lazim. Ia masih ingat mata anaknya yang membelalak menatap ke atas, dan napasnya terputus seketika itu juga. Ia menyimpulkan, iblis membaur bersama udara yang dihirup oleh anaknya. Kehilangan anak kedua, membuat suami istri itu sempat kehilangan harapan. Semua orang berusaha menghibur, tetapi cuma ia dan istrinya yang tahu, apa yang sesungguhnya terjadi.
Iblis mengirimkan pesan secara tersirat kepada orang-orang yang tak pernah ia sangka. Pengemis jalanan, sebuah catatan yang tak sengaja ia lihat di jalanan, buku yang tanpa sengaja menyiratkan pesan secara halus, kalau berapa pun anaknya yang lahir, iblis akan tetap mengambilnya. Ia bahkan mengira, jangan-jangan apa yang dilihatnya adalah iblis itu sendiri, dengan wujud yang lain.
Apa pun, siapa pun, bisa menjadi pengirim pesan dari iblis kepadanya. Seberapa pun jauh ia berlari, iblis akan tetap bisa mengendus jejaknya.
***
Semua berawal ketika keluarga itu dalam keadaan miskin. Tak kuat dengan kehidupan yang mereka tanggung, mereka berpaling dari Tuhan. Mereka rajin beribadah, rajin berdoa, rajin bersedekah kepada yang lebih membutuhkan jika memang ada rejeki lebih, tetapi mereka merasa Tuhan tuli. Tak pernah mendengar doa dan keluh kesah mereka. Hidup mereka tak pernah berubah, di saat para tetangganya mulai pindah dari lingkungan kumuh, ia mulai gerah sendiri oleh para pendatang baru. Yang tak lama juga berada di sana, mereka pun pindah ke perkampungan yang lebih baik. Sementara ia, yang merasa lebih rajin beribadah dan berdoa, berada di tempat yang sama entah sampai kapan.
Hingga muncul seorang pengemis tua datang kepadanya, dengan menawarkan perjanjian dari iblis. Ia dan istrinya mengira, perjanjian itu tidak pernah benar-benar ada, sehingga keduanya menyanggupi syarat yang diajukan oleh iblis. Mereka akan menjadi keluarga yang berkecukupan, namun dengan syarat, anak mereka yang lahir akan menjadi milik iblis. Iblis akan datang dalam bentuk tak terduga, dan tak lama setelah proses kelahiran.
Angin malam menusuk kulit. Para santri yang berjaga berusaha menahan kantuk yang menyerang. Proses kelahiran sebentar lagi. Lelaki itu menunggu di luar. Para santri perempuan berada di dalam kamar bersalin di pondok pesantren itu. Lelaki tidak diperkenankan masuk. Ada kekhawatiran yang menyusup, bagaimana jika salah satu santri perempuan itu adalah jelmaan iblis itu sendiri?
Ia ditemani kyai pimpinan pondok pesantren tersebut. Sang kyai berusaha menenangkannya dengan segala nasihat agama, tapi nasihat-nasihat itu sama sekali tak mampu merasuk ke dalam kalbunya. Hatinya masih meresahkan bagaimana keadaan istrinya di dalam pemondokan itu. Baik-baik sajakah? Jangan-jangan iblis sudah berada di sana.
Bayi menangis pertanda proses kelahiran selesai. Namun ia mendengar jeritan para santri perempuan yang menemani proses persalinan itu. Lelaki itu langsung menghambur ke dalam. Para perempuan ketakutan, berkumpul di pojok ruangan. Ia melihat istrinya dengan tangis yang berusaha ditahan. Seorang bayi berbaring di sebelahnya. Temaram lampu ublik tak cukup menerangi keadaan yang remang itu. Ia menghampiri istri dan bayinya.
Ia lemas. Bayi itu bukan bayi manusia. Kulitnya bersisik, dengan mata merah menyala terang, kukunya panjang, dan ia melihat dua taring di sela-sela giginya. Ia tahu, iblis sangat licik. Ia takkan bisa menyiasati perjanjian dengan iblis, seberapa pun cerdiknya ia. Ia keluar dengan wajah tertunduk, tanpa mau menggendong bayinya. Ia memasrahkan kepada kyai, apa yang akan dilakukan kyai terhadap bayinya.
Ciputat, 14 Maret 2018
BIODATA PENULIS
Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya dimuat berbagai media cetak dan daring. Buku pertamanya yang akan terbit berjudul Melepaskan Belenggu akan diterbitkan oleh Penerbit Jagatlitera.
Penulis bisa dihubungi lewat instagram @pendekar_hati.
Discussion about this post