Sebelum mati di kaki gunung Sindoro, Lasmi bercerita tentang hidupnya di depan kerumunan pelacur. Lasmi mengundang pelacur-pelacur untuk datang menghadiri pemakamannya. Semua pelacur undangan berkumpul di sebuah tanah lapang beralas kardus kulkas. Lasmi merebus kacang polong sebagai camilan. Seorang pelacur membawa tempe mendoan yang dibungkus kertas ijazah asli SMA. Pelacur lainnya membawa sekotak martabak cokelat kacang.
Lasmi sudah menyadari hari kematiannya sejak lama. Ia bisa meramalkan kematiannya sendiri sejak mengumpulkan data penelitian di Ladang Kuru Setra. Skripsinya membahas tentang kematian-kematian semasa Bharatayudha dan membawanya menyandang gelar sarjana kehidupan. Ilmu statistika kehidupan manusia telah dikuasai. Sejak saat itu, ia tidak lagi gemar kalkulasi perihal kematian orang lain, namun beralih merinci kematiannya sendiri.
Alam sangat ramah. Langit sangat cerah, sampai seorang astronot terlihat tengah bercinta dengan malaikat di balik awan. Seekor penyu juga terlihat melintas di angkasa sembari membawa seorang bayi yang tertidur pulas di atas tempurungnya. Planet Merkurius masih saja terlihat berkedip-kedip dari kaki gunung Sindoro. Pandemi korona membawa Merkurius pada perang saudara. Semua penduduk Merkurius saling menyalahkan atas terjadinya pandemi. Meriam saling bertabrakan dari segala penjuru. Semua orang di Merkurius saling membunuh dengan meriam pribadinya. Langit berkilatan karena meriam yang saling bertabrakan. Orang-orang di Bumi salah menyangka. Merkurius bukan sebuah planet indah dengan kelap-kelipnya, melainkan hamparan darah dan kebencian.
Selalu ada penderitaan di balik keindahan yang tampak dari kejauhan.
Masa muda Lasmi diceritakan dengan berapi-api. Setelah lahir dari sebungkus mie instan, ia tumbuh layaknya gadis remaja pada umumnya. Sekolah, belajar, bermain, jatuh cinta dan patah hati. Lasmi mengatakan bahwa dirinya bukan anak yang pintar. Nilainya selalu jelek di pelajaran mengutuk kesalahan orang. Ia lebih senang bermain dengan teman-temannya ke ruang hampa di angkasa, menari di tengah tubuh astronot-astronot yang melayang tanpa nyawa. Pulang bermain di sore hari, dan belajar di malam hari.
Cinta pertama kali Lasmi jatuh kepada seorang penjelajah waktu yang tidak bisa kembali di dunia akal. Laki-laki beruntung itu bernama Buas. Lasmi bertemu Buas tengah menangis di gunung Ararat karena Nuh menyita mesin waktunya. Buas yang tidak bisa kembali ke dunia akal, lantas tinggal di rumah Lasmi. Seiring bergantinya nabi, mereka berdua saling mencintai dan bercinta di segala tempat termasuk di balik awan. Suatu ketika Buas menemukan cara kembali ke dunia akal dengan menumpang kapal bajak laut yang hendak pergi merampok di Terusan Suez. Lasmi diajak ikut ke dunia akal dan Buas berjanji akan menikahinya di sana. Lasmi yang mabuk usai meneguk janji, menerima tawaran kekasihnya. Kepergiannya dari dunia tak berakal dikecam oleh banyak orang, termasuk pejabat-pejabat. Semua orang menghujat pertimbangan Lasmi memilih meninggalkan pekerjaan dan jabatan hanya demi sebuah cinta dari orang asing. Namun semua kecaman tidak Lasmi pedulikan. Ia meninggalkan segalanya untuk ikut kekasihnya, calon suaminya.
Namun cinta di dunia akal ternyata tidak masuk akal. Buas adalah penjelajah waktu yang berkelana untuk mencari pelacur. Menjelajah dan menjanjikan pernikahan kepada setiap wanita yang ditemui di setiap dunia. Semua cintanya hanyalah pukat, dan Lasmi berhasil terjerat sempurna. Sesampainya di dunia akal, Lasmi diantar ke sebuah apartemen berisi ratusan perempuan yang bekerja sebagai pelacur.
Mak Didit–tuan rumah bordil itu–melatih Lasmi menjadi seorang pelacur yang melayani pejabat negara dan pasukan angkatan bersenjata. Setelah tiga bulan masa pelatihan, Lasmi mulai bekerja. Hari ini kepala dinas. Esok kepala cabang. Seminggu kemudian kepala partai. Sebulan kemudian anggota baru angkatan bersenjata. Tubuhnya menjadi langganan orang-orang penting negara. Mereka bersaksi bahwa kenikmatan yang diperoleh dengan menyetubuhi Lasmi sungguh tidak masuk akal.
Ingin rasanya Lasmi memberontak dan kabur dari sana, namun kadar akal di semesta ini adalah uang. Pikirannya terbentuk menjadi manusia yang takut dengan uang. Kematian akan menjemput jika tidak memiliki uang di dunia akal. Lasmi ingin pulang, kembali ke dunia tak berakal yang lebih masuk akal. Setiap kali seorang laki-laki tergeletak di atasnya usai persetubuhan, Lasmi hanya menangis karena merindukan pekerjaannya di dunia tak berakal. Pekerjaan yang selalu membuatnya menghargai sebuah tempat tidur. Sedangkan pekerjaannya kini membuat ia selalu merasa najis dan ingin muntah ketika berada di atas kasur.
Semesta baik berpihak sejenak kepada Lasmi ketika tempat pelacuran itu dibakar oleh kelompok organisasi masa.
Orang-orang itu membakar rumah pelacuran Mak Didit. Beberapa pelacur berlarian di lorong dengan tubuh yang telanjang dan terbakar. Mak Didit mati karena tubuhnya menahan berondong peluru yang mengarah ke koleksi pelacurnya. Lasmi sempat menangis melihat Mak Didit yang rela terbunuh demi melindungi banyak orang termasuk dirinya.
Lasmi terus hidup dalam pelarian hingga suatu ketika ia menemukan jalan untuk kembali ke dunia tak berakal. Seorang pemuda mengatakan bahwa gerbang dunia tak berakal ada di Jakarta. Semua orang di negara ini yang imigrasi ke dunia tak berakal, akan masuk dari gerbang yang ada di Jakarta. Setelah membayar informasi yang diberikan lelaki itu dengan persetubuhan satu malam, Lasmi beranjak menuju Jakarta.
Singkat cerita, Lasmi kembali ke dunia tak berakal via Jakarta. Ia mendatangi pejabat-pejabat dunia tak berakal dan menumpahkan seluruh air mata penderitaannya di sana. Namun harapan Lasmi akan semesta yang baik justru meleset. Semua orang menolak kehadiran Lasmi, termasuk kawan-kawan lamanya. Orang-orang di jalan meludahi dan melempar batu ke kepala Lasmi. Ia dirajam di sebelah Maria Magdalena.
Lasmi hidup berpindah-pindah sambil terus mencari pekerjaan di tengah caci maki. Tiada tempat yang menerima Lasmi bekerja, sampai nasib membawa langkahnya kembali ke rumah pelacuran. Ia tetap menjadi pelacur meskipun telah kembali ke dunia tak berakal. Semua orang membicarakannya. Lasmi, mantan pejabat dunia tak berakal, kini bekerja sebagai pelacur. Ia melayani birahi orang-orang di balik awan, di atas kelopak bunga matahari, di atas sehelai daun pisang, termasuk di pohon Trembesi tempat tinggal orang-orang kaya di dunia tak berakal.
Namun nasib buruk selalu sampai di ujung. Seorang tukang bakso yang berjualan di puncak gunung Sindoro melamarnya di suatu malam. Namanya Lasono. Ia datang ke tempat pelacuran, memilih Lasmi di suatu malam bukan untuk ditiduri. Sesampainya di kamar, Lasono memperkenalkan dirinya sambil menyodorkan semangkuk bakso. Malam berlalu tanpa persetubuhan. Lasmi menangis hebat di hadapannya. Lasono juga menangis menceritakan istrinya yang meninggal karena tergiur bujuk rayu Buas. Sebelum ayam berkokok, Lasono menyodorkan sebuah cincin yang dibuat dari pilinan tembakau.
Meski sempat ragu karena trauma masa lalu, Lasmi memutuskan untuk menyambut cinta dari Lasono. Setelah keluar dari tempat pelacuran, Lasono mengajak Lasmi naik ke gunung Sindoro dan menjadi istri seorang tukang bakso. Mereka hidup berkecukupan. Makan dan minum dari yang alam berikan. Seiring berjalannya waktu, warung baksonya ramai karena semakin banyak pendaki gunung. Kebahagiaan senantiasa menghangatkan keluarga kecil di puncak Sindoro hingga Lasono berpulang di suatu pagi. Lasmi terus mendampingi Lasono sampai akhir. Hingga tubuh tak bernyawa suaminya larut menjadi kuah bakso.
Lasmi mengakhiri ceritanya. Ia mengusap air mata yang membasahi pipi. Pelacur-pelacur memeluk Lasmi erat. Mereka bertukar tangis dan kehangatan. Dingin lembah Sindoro tiada sedikit pun terasa menggigit tulang belulang. Lasmi lantas berpamitan karena kematian sudah menunggu. Kerumunan pelacur menuntun Lasmi berjalan perlahan menuju pohon besar yang ada di dekat tempatnya duduk. Pohon itu adalah tempat tidur favorit Lasono. Semakin dekat Lasmi menuju pohon, semakin tua pula tubuh Lasmi. Kerut dan rambut putih mulai bermunculan seiring bertambahnya langkah kaki. Orang-orang membaringkan Lasmi di bawah pohon. Akar-akar pohon mulai membelit tubuhnya secara perlahan.
Lasmi menatap kerumunan pelacur yang tengah menangis.
“Jangan biarkan anak-anakmu menjadi seperti kita,” ucap Lasmi dengan suara lemah. Pelacur-pelacur mengangguk, saling berpelukan dan menangis. Lasmi memejamkan matanya dan tersenyum. Akar-akar pohon menarik tubuh Lasmi ke dalam batang pohon.
Angin berhembus pelan menyapa gunung Sindoro. Siang kembali berangin dingin. Langit lambat laun mendung. Tiada tampak Merkurius yang berkedip. Astronot dan malaikat juga telah menghilang. Demikian juga penyu-penyu yang membawa bayi di atas tempurung. Semuanya tak lagi tampak. Pelacur-pelacur turun dari kaki gunung Sindoro sambil tersedu-sedu.
“Buas belum berhenti, Nenek. Ia memiliki keturunan, sama halnya dengan derita. Malapetaka selalu ada untuk kami para wanita,” ucap rombongan pelacur itu berulang kali sambil terus menangis.
Karanggayam-Jogjakarta, 22 Mei 2021
Penulis, Kristophorus Divinanto–Memulai kegiatan menulis kreatif tahun 2021. Saat ini bekerja sebagai guru sekolah dasar sambil terus belajar menulis. Memiliki hobi membaca manga. Pemilik akun Instagram @kristophorus.divinanto.
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post