Sebagaimana dalam banyak peristiwa kemanusiaan, yang kerap membuat banyak orang geleng-geleng tak habis pikir, Pesisir Selatan beberapa tahun terakhir tak mau kalah, banyak pula tersiar kabar tentang perilaku asusila/perundungan/pelecehan seksual. Dimulai dari seorang tukang ojek mengajak anak kebutuhan khusus ke rumah kosong, sampai drama pelarian seorang wanita dibawah umur oleh pria yang sudah berumah tangga dengan pengaduan sebagai pelarian anak dibawah umur. Namun nyatanya memanglah keinginan mereka berdua. Banyak kasus-kasus yang kadang membuat heran, “kok bisa, ya”. Banyak pendapat mengatakan pelaku perbuatan asusila dan sejenisnya mengalami gangguan mental, atau dipengaruhi obat-obatan terlarang. Tapi apapun alasan dan opini yang terkesan seimbang; sebab-akibat. Pelaku asusila/pelecehan/perundungan tak patut dibela atau diberi ruang apapun untuk membenarkan perbuatannya. Kadangkala, sebagian orang tidak menangkap, bahwa motivasi yang mereka berikan kepada pelaku seolah-olah membantu, berdiri dibelakangnya. Seolah memaklumi, mengapa orang-orang semakin mudah dalam soal memaklumimemaklumi.
Pelecehan seksual adalah tindakan seksual yang tidak diinginkan, menyebabkan pelanggaran dan ketidaknyamanan, dan dapat (dalam beberapa situasi) berbahaya secara fisik dan mental. Korban dapat merasa terintimidasi, tidak nyaman, malu, atau terancam.
Peristiwa tragis pelecehan seksual di Pasir Putih, Kambang, Kec. Lengayang, Kab. Pesisir Selatan kemarin merupakan pukulan telak untuk keluarga korban dan instansi pemerintah terkait yang bertanggung jawab mengurus aturan dalam masyarakat. Tentu korban adalah orang yang paling dirugikan. Tak ada lagi alasan lain dan sebab akibat lainnya untuk membenarkan perbuatan pelaku perundungan ini. Yang tragis bin mirisnya, kejadian ini terjadi di bulan ramadan yang seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemanusiaan. Banyak orang memikirkan bagi-bagi rejeki, ini malah meraut dosa. Ditambah pula berita ini lengkap dengan video kejadian. Tentu saja publikasi adalah hal yang tepat, karena di jaman kelewat maju ini “tak viral tak diproses”. Apa ini benar? Tentu saja tidak, sudah banyak tulisan yang mengungkap betapa kejamnya rekam jejak digital. Mungkin postingan pertama dengan mudah dihapus, tapi bagaimana dengan orang-orang lain yang mengambil video itu? Lalu bagaimana mengerti posisi korban pasca kejadian? Jangan karena kejadian ini terjadi diskala kampung, kita cukup memaklumi jika berita ini bergulir seperti bola liar, sehingga menjadikannya sebuah rekam jejak yang memalukan. Sedangkan kronologi lengkap sampai saat ini belum bergulir jelas. Dibanyak media mainstream menulis dengan dugaan sebagai pemandu karaoke, dari pernyataan akun youtube (Mulifa Chanel) menurut sumber terpecayanya, mereka (korban) hanya sedang ngejus, tapi memang sudah lewat jam yang sudah ditentukan.
Logikanya, seharusnya yang ditegur adalah pemilik kafe untuk segera menutup dan membubarkan pengunjung. Paling brutalnya, di banyak komen/postingan media sosial, korban sedang bersama teman-temannya dengan jumlah empat orang (termasuk korban). Lalu jumlah pelaku belum pasti berapa, beberapa menuliskan lima orang, sebagian menuliskan sangat ramai. Jika ramai, bisa masuk akal mereka dapat diseret ke tepi pantai oleh beberapa orang, tapi kalau lima orang pelaku, masih diragukan bagaimana bisa mereka menyeret dua orang korban, sedangkan di sana masih ada dua temannya dan apakah pemilik kafe tidak bertindak. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Masyarakat mungkin tau bagaimana kondisi ketika malam, masa iya tidak ada pertolongan atau katakanlah mintak tolong. Sehingga sampai pada pelecehan seksual yang sangat brutal. Atau posisi kafe jauh dari keramaian?
Tapi tentu saja menvirlakan bukanlah sesuatu perbuatan salah, jika kejadian yang diviralkan memang mendesak ataupun alasan lainnya. Namun, mengapa nampak mudah sekali untuk mempublikasi video pelecehan seksual, meski sudah diblur tapi betapa pedihnya mendengar suara korban. Bayangkan jika korban adalah orang yang kita kenal, atau mungkin keluarga terdekat. Dalam banyak berita media, baik situs resmi kepolisian Pesisir Selatan, dua orang wanita yang secara umur cukup muda sekali diseret paksa ke tepi pantai kemudian dirundung dengan gelagat pelaku seolah paling benar. Sungguh, nyaris tak masuk diakal, Kambang atau Lengayang sebagaimana sejarah panjangnya termasuk daerah yang memiliki sistem adat nagari yang sangat kuat, banyak tokoh-tokoh penting lahir di daerah ini. Atau memang sudah tidak diwariskan lagi sejarah panjang itu kepada generasi mudanya, bagaimana budaya leluhur, tradisi dan undang-undang adat dalam nagarinya. Tentu ini bukan mendeskriditkan kambang atau lengayang, tapi ini bicara pelaku atau oknum. Namun, tidak bisa pula melepaskan nama daerah ini, karena di sanalah kejadian kelam itu terjadi. Persis sama dengan tragedi banjir bandang yang melahap lokasi wisata paling populer di Kambang; Pasia Putiah. Setelah bencana itu, Pasir Putih memang berusaha keras bangkit dengan lokasi hiburannya. Tetapi tidak lagi seperti dulu, dan di beberapa tempat hiburan di titik lokasi memang sudah terkesan dipaksakan. Sehingga tempat hiburan yang paling laku coba dihadirkan: tidak jauh dari perut.
Dalam kasus ini, tak ada alasan lain untuk membela pelaku perundungan/pelecehan tersebut. Apapun alibinya nanti, ini sudah tak bisa ditoleransi. Pelaku yang membuat video mungkin bisa jadi sumber pertama menggali informasi dan kronologi sesungguhnya kejadian ini, karena ada beberapa hal yang nampak janggal dalam peristiwa ini. Kerja kepolisian kembali diuji, kasus ini jangan sampai berakhir damai atau tukar-tukar suku dan dunsanak. Jika ini berakhir pemakluman/damai, sudah semakin tak jelas lagi apa posisi hukum di negeri ini. Pihak kepolisian pastilah paling tau bagaimana prosesnya sesuai hukum. Dan sudah sepantasnya pula media sosial digunakan menyebarkan informasi yang bukan semakin membuat mental korban parah, berhentilah membagikan video kejadian. Tak ada doa paling baik saat ini untuk korban selain, “mendekatlah segala yang baik padanya. ” Kita harus siap memantau dan dampingi kasus ini sampai kelar. Tulisan ini mewakili doa terbaik penulis kepadanya.
==========
Arif Purnama Putra, Penulis Partikelir.
- Ketuklah Pintu Itu, 2025, Kami Menunggu dan Siap Melanjutkan - 1 Januari 2025
- Tim Kenal Adat: Progress Awal dalam Mengimplementasikan Project Sociopreneurship Innovillage 2024 di Perkampungan Adat Sijunjung - 14 Desember 2024
- Cakap Pilem: Vedaa, 2024 | Kasta Dalit dan Potret Kehidupan Nyata Perempuan India – Arif P. Putra - 7 November 2024
Discussion about this post