Membaca berita viral belakangan tentang dua perempuan yang diarak, diceburkan ke pantai dan ditelanjangi gara-gara mereka dianggap bekerja di sebuah tempat hiburan (padahal malam itu mereka hanya pengunjung kafe) di Pasir Putih, Kambang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Saya tak dapat tidak terpikir-pikir tentang nasib perempuan di Minangkabau saat ini. Sebab saya juga perempuan. Kalau memang kita ingin menjadikan Rasulullah Muhammad saw sebagai teladan hidup mulia, termasuk masalah perempuan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menelusuri perjalanan kehidupan Rasulullah sampai ke akar-akarnya. Tidak melulu memikiran soal amar makruf nahi munkar saja. Melakukan amal makruf nahi mungkar memang jadi tanggung jawab kita semua. Agar kehidupan yang ideal bisa kita dapatkan. Tapi itu bukan berarti mengabaikan ketidakadilan, kesewenangan, kekerasan dan kebiadaban yang barangkali lahir dari tindakan penegakan amar makruf nahi mungkar tersebut. Salah satu prilaku Rasulullah yang harus diteladani adalah bagaimana cara Rasulullah memuliakan kaum perempuan. Dalam sejarah dicatat bahwa seorang perempuan bernama Fatimah Bin Qais datang menemui Rasulullah dengan niat untuk berbagi cerita terkait masalah dirinya dan keguncangan psikisnya karena masalah keluarga yang dia hadapi. Fatimah menceritakan kepada Rasulullah, bahwa suaminya telah berlaku kasar dan bahkan tidak adil. Saat itu Rasulullah sangat merespon baik dengan cara mendengarkan saja apa yang sudah dialami oleh Fatimah. Setelah Fatimah pulang, Rasulullah memanggil suami Fatimah dan memintanya juga untuk menceritakan masalah dalam rumah tangganya. Ketika Rasulullah mendengarkan kedua belah pihak lalu Rasulullah menyarankan kepada suaminya untuk membayarkan nafkah istrinya yang kurang dan memperlakukan istrinya dengan baik, lemah lembut dan penuh kasih sayang. Dan mempertanyakan kepada suami fatimah ini apakah dia bersedia untuk melakukan itu atau tidak? kalau memang suami Fatimah ini tidak bersedia maka Fatimah berhak untuk meminta cerai atas ketidakadilan ini.
Lalu kalau ingin melihat contoh lain yang lebih membuat kita semakin sadar bahwa beliau adalah sosok yang pantas diteladani, kita dapat meliat sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengetahui bahwa ada seorang perempuan yang menjajakan tubuhnya demi sesuap nasi. Jangankan mempermalukan perempuan itu di depan orang lain dengan memaki, menampar dan bahkan menelanjanginya, Rasulullah bahkan tidak pernah menyebut nama atau inisialnya. Rasulullah lebih memilih untuk mendiamkan dan mencari cara untuk menyelamatkan perempuan dan membantunya untuk memulai dan menata hidup baru. Rasul tetap mengasihinya. Rasulullah mengubah umatnya dengan lembut dan kasih sayang serta memberi ampunan atas apa yang sudah dilakukannya. Beliau malah berusaha membantu mereka bangkit dari lumpur kesalahan dan dosa. Tidak menebar aib perempuan yang sudah memilih jalan yang salah. Jalan yang kadang dipilih karena memang tidak ada pilihan lain demi menyambung hidupnya atau anak-anaknya.
Berdasarkan dari riwayat di atas saya merasakan kelumpuhan jiwa dan raga ketika mengetahui berita tentang dua orang perempuan tadi. Mereka diarak dan diceburkan ke laut oleh sekelompok pemuda karena kafe itu masih tetap buka selama bulan ramadan. Kejadian yang kejam dan keji ini mereka rekam dan mereka sebarluaskan kemana-mana. Kejadian ini tentu saja menjadi luka bahkan trauma panjang bagi dua perempuan ini. Apalagi di Ranah Minang, yang harus melakukan sesuatu dengan cara baik dan beradat. Begitu juga dengan agama yang mengajarkan bahwa kesalahan orang lain tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk membenarkan tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap dua orang perempuan ini. Saya merasa shock luar biasa ketika membaca berita di media massa dan media sosial. Dada saya sesak, tangis saya tertahan, menonton video yang menunjukkan betapa kedua perempuan yang diarak dan diceburkan ke laut itu sudah memohon. Tatapan mata dan raut wajahnya sudah mambana. Di antara tangis bercampur takut, terdengar kata-kata mereka memohon ampun dan memberi penjelasan bahwa mereka tidak seperti yang disangka. Melihat ini rasa jatuh ke dalam air mata karena menahan hati melihat perempuan yang harusnya dimuliakan dicabik-cabik kehormatannya dan disebarkan aibnya lewat video. Tubuh yang selama ini mesti dilindungi dan dihormati, sekarang terpampang di ribuan layar handphone tanpa sensor dan pelakunya adalah segerombolan jantan. Saya adalah perempuan Minang. Setahu saya di Minangkabau, manusia jantan baru bisa disebut laki-laki jika dia mampu menghargai dan melindungi kaum perempuan, tidak mempermalukan mereka bahkan melucuti pakaian dan aurat mereka sambil menikmati tubuh perempuan tersebut. Laki-laki Minangkabau yang saya pahami adalah yang siap mangalangkan lihia (menyerahkan lehernya jadi ganjalan) demi membela kehormatan dunsanak perempuannya.
Aib besar sebenarnya bagi laki-laki, bahkan bagi keluarga sepesukuan, atau bagi Ninik Mamaknya sendiri jika kaumnya melukai perempuan dengan cara seperti ini, karena malu di Minangkabau itu malu bersama. Sampai saya bertanya-tanya dalam hati, di mana letaknya harga diri laki-laki yang seharusnya jadi pengurai kusut masalah, tapi malah memperburuk keadaan. Apakah layak orang seperti ini disebut sebagai manusia? Jika perlakuannya lebih biadab dari binatang. Monyet jantan di rimba tidak pernah menggoda yang betina jika tidak di musim kawin. Saya jadi merenung di sela marah dan iba hati, sakit apa yang dialami masyarakat Minangkabau sehingga terjadi kejadian seperti ini. Sasak apo nan ndak lapeh dek laki-laki Minang (sesak apa yang tersumbat dari laki-laki Minang) sehingga sebagian mereka tega berbuat seperti ini kepada kaum perempuan yang mestinya mereka bela dengan penuh khidmat. Mungkin jawabannya adalah karena masyarakat Minangkabau saat ini terlalu banyak terbebani aturan, baik dari negara maupun adat dan agama, sementara kencangnya perubahan sosial membuat segala aturan itu tergagap-gagap menghadapi perkembangan keadaan. Bisa juga jawabannya adalah karena masyarakat Minangkabau terlalu terbebani kegemilangan masa lalu. Minangkabau saisuak identik dengan masyarakat yang kuat memegang nilai-nilai syarak dan adat. Narasi kegemilangan yang diulang-ulang seperti kaset rusak menjadi beban bagi generasi sekarang yang sebenarnya tidak punya perangkat memadai untuk menyamai generasi dulu. Akibatnya, generasi sekarang menanggung ekses romantisme sejarah yang berdampak buruk pada kejiwaan sosial. Dampak buruk itu adalah muka jelek, cermin yang digampar. Masyarakat yang sakit, kelompok lemah yang dijadikan kambing hitam. Terlepas dari mana jawaban yang benar untuk renungan saya itu, satu hal yang saya yakini bahwa yang namanya otak harus diletakkan di kepala, bukan di jempol kaki.
Penulis, Alumni mahasiswi Pasca Sarjana UIN Suka, anggota grup Kuncen Pantai Barat.
Devi Adriyanti.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post