
Seorang gadis kecil menangis tersedu dipangkuan seorang wanita paruh baya. ia memanggilnya dengan sebutan Mak. Umur sang gadis baru menginjak sebelas tahun. Dengan usia sebesar itu tentu ia belum bisa berbuat apa-apa saat melihat seorang laki-laki yang ia panggil Bapak itu dinaikkan ke dalam sebuah mobil oleh petugas keamanan dan beberapa orang perangkat desa satu jam yang lalu. Semuanya berbaju seragam, rapi dan klimis. Sejak detik itu, gadis kecil itu terus saja menangis, meski Mak telah membujuknya dengan berbagai macam cara, berkali-kali sudah Mak berusaha meyakinkannya; bahwa Bapak pasti akan baik-baik saja. Meski ia pun sebenarnya tahu bahwa gadis kecilnya tak terlalu kecil untuk bisa dibohongi dengan cara seperti itu.
Tangis sama sekali tak menurunkan kadar manis pada wajah gadis kecil yang terkulai di pangkuan Mak. Perempuan tua itu menatap wajah anaknya dalam-dalam, mengelus-elus alisnya yang tebal, dan sesekali menyeka air mata yang turun di pipi sang gadis. Sedang tangan Mak yang satunya perlahan membelai rambutnya. Mak berusa keras menenangkannya sambil mengusap kepalanya berulang-ulang, lama sekali. Mak baru berhenti setelah tangis sang gadis mulai mereda dan hanya tinggal bunyi nafasnya yang senguk. Setelah itu, keduanya terdiam. Hanyut oleh pikiran masing-masing.
Kini kesunyian mencekam hati sang gadis, pikirannya menerawang menggerayangi ingatannya yang kian cewang. Mak termenung, ia hanyut lalu tenggelam dalam kesedihannya, terbayang olehnya bagaimana hari depan akan menyambut tanpa suami disisinya. Sekarang mata Mak berkaca-kaca, air yang tergenang pada sudut bola matanya tinggal menunggu tumpah, sekali saja Mak memejamkan mata, maka air kesedihan itu pasti mengalir melewati pipinya yang sudah sedikit mengerut. Dalam hati Mak, ia tak mau gadis kecilnya itu melihat kesedihannya, dengan cepat kemudian Mak mengusap air yang tergenang di sudut matanya sambil menyembunyikan muka. Ia berpaling dari tangisnya sendiri.
Perkara yang menimpa Mak sebenarnya dimulai dari akhir tahun lalu, saat Pemerintah dan pemangku adat, bersama-sama dengan investor akan menggarap lahan yang dianggap menganggur dikampung Mak untuk disulap menjadi perkebunan sawit dengan dalih kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Secara diam-diam penyerahan sudah dilakukan oleh para pemangku adat kepada investor; Maskapai Asal Kita Berjaya. Izin sudah diberikan oleh pemerintah. AMDAL pun sudah dikerjakan diam-diam di sebuah meja makan. Semuanya sudah disiapkan masak-masak saat masyarakat sedang terlelap melepas penat seusai membanting tulang di sawah-ladang tempat mereka menanam harapan mereka.
Sebelum lahan dieksekusi. Masyarakat dikumpulkan dalam sebuah balai pertemuan. Para pemangku adat akan memberikan informasi tentang perjanjian kerja sama mereka dengan investor. Mereka menjelaskannya dengan berapi-api, seakan-akan mereka baru saja membelikan satu kamar di surga untuk setiap masyarakat yang datang. Mereka begitu ingin meyakinkan masyarakat bahwa dengan adanya perkebunan sawit ini nanti, kampung ini akan jadi maju, tidak lagi tertinggal, jalan-jalan akan dibangun sampai ke bulan, sehingga akses ke sana menjadi sangat mudah, masyarakat tak perlu lagi bermimpi punya sayap untuk bisa ke sana. Indah betul.
Selain itu, kata pemangku adat, hutan yang akan dikelola investor ini tentu tidak diberikan begitu saja, hasil perkebunan itu nantinya akan diberikan kepada masyarakat sebanyak empat puluh persen. Dengan begitu masyarakat tidak usah repot-repot lagi pergi berladang, sebab masyarakat nanti akan tetap terima hasil tanpa perlu bersusah payah mengeluarkan peluh mereka. Demikian terang para pemangku adat itu dengan semangat yang begitu tinggi. Informasi yang diberikan oleh pemangku adat tersebut tentu disambut gembira oleh hampir semua masyarakat. Kecuali Suami Mak dan beberapa lainnya. Tak banyak.
Dengan keras suami mak menolak hal tersebut. Ada segudang alasan baginya untuk bersikap seperti itu, selain ia meragukan semua yang pemangku adat katakan, di antaranya adalah ia takut hal itu nanti akan dapat menghilangkan mata pencaharian sebagian masyarakat yang selama ini berprofesi sebagai Perimba; seperti para pencari jernang, pemanjat sialang dan para pencari rotan. Alasan lainnya adalah ladang yang baru saja ia tanam juga termasuk dalam wilayah kelola maskapai tersebut. Suami Mak tak sendiri dalam hal ini. Ada banyak masyarakat lainnya yang ladangnya juga akan bernasib sama dengan ladang milik suami mak.
Beberapa hari setelah itu, pihak maskapai mencoba beberapa kali bernegosiasi dengan suami Mak dengan di perantarai para pemangku adat, tapi suami mak bukanlah jenis orang yang mudah dilunakkan pendiriannya. Para pemangku adat pun juga telah mencoba membujuknya sedemikian rupa. Bahkan pemangku adat menjanjikan suami mak akan menerima ganti rugi yang setimpal dari maskapai, ia menjelaskan dengan panjang lebar kepada suami mak bahwa dengan ganti rugi sama sekali tak akan merugikannya. Mengenai hal ini, telah bertubi-tubi pemangku adat mendatanginya, bahkan ia menawarkan konsep baru yang sama sekali belum pernah didengar oleh suami mak, yaitu konsep ganti untung, kemudian datang lagi dengan konsep ganti untung besar, dan terakhir kali mereka datang dengan konsep ganti untung besar berkali lipat, tapi tetap saja suami Mak adalah orang yang pendiriannya tak mudah digoyahkan.
Meski Senol menolak dengan keras, proyek besar itu tetap terus berjalan. Mereka telah mengirimkan pekerja mereka untuk membabat habis hutan yang menjadi gantungan hidup para Paimbo tersebut. Mendengar kabar semacam itu, suami Mak naik pitam. Ia berencana akan menghentikan pembabatan. Suami Mak membawa serta beberapa temannya yang sependapat dengannya. Lalu pada saat pembabatan lahan di mulai. Suami Mak dan teman-temannya menghadang para petugas maskapai untuk tidak melanjutkan kegiatannya. Lalu berikutnya, terjadilah peristiwa yang membuat mata gadis cantik itu memerah dan sembab.
Malamnya semua keluarga mak dan masyarakat yang peduli pada suami Mak berkumpul di rumah Mak. Rumah Mak lumayan besar, sehingga memungkinkan untuk dijadikan tempat musyawarah kecil dengan daya tampung paling banyak lima belas orang. Mereka pun mulai membahas bagaimana cara agar suami mak bisa keluar dari tahanan.
Meski Ara baru berumur sebelas tahun. Ia sudah tahu jika ruang tahanan bukanlah tempat yang baik bagi seorang manusia. Saat orang-orang membicarakan Bapak, Ara harap-harap cemas. Ia berharap Bapak akan secepatnya dikeluarkan. Tapi setelah beberapa lama perundingan, Ara belum juga menjumpai kata-kata semacam itu terlontar dari salah satu mulut orang yang datang ke rumah Mak.
Mata Ara masih sembab, ia adalah gadis kecil yang memiliki hati selembut kapas. Ia sangat mudah menangis, apalagi untuk beberapa hal yang berurusan dengan kehilangan. Ara sangat cemas jika nanti ia tak lagi bisa bertemu Bapak.
Orang-orang yang hadir bermufakat untuk meminta pertolongan pemangku adat untuk membujuk pihak maskapai agar tuntutan atas perlakuan suami Mak agar di cabut.
“Bagaimana Etek?” Tanya Uyung menatap wajah perempuan yang dipanggil Etek itu dalam-dalam.
“Kau tahulah bagaimana sifat Senol, tak akan semudah itu ia menerima bantuan dari orang-orang yang sudah tak ada benarnya itu dimatanya,” terang Mak sambil menghela nafas dalam-dalam.
“Kami juga tahu itu Etek, tapi saat ini hanya jaminan pemangku adatlah yang bisa menolong,” jelas Adang dengan tekanan bicara yang turun-naik bermaksud meyakinkan Mak.
“Jikalau memang tak ada cara lain tak apalah kau minta tolong pada pemangku adat itu Dang, tapi kau harus ingat, jangan sampai Senol tahu hal ini,” ungkap Mak pada sambil menatap mata Adang.
“Baiklah, besok kami akan datangi salah seorang pemangku adat dan memintanya memberi jaminan untuk Bapak Ara,” tegas Uyung kepada Mak.
Mendengar hal semacam itu, dihati Ara timbul rasa senang yang meluap-luap. Ingin rasanya bagi Ara agar malam ini segera berlalu dan pagi datang tiba-tiba. Malam ini matanya tak lagi ingin tidur, sebab tak ada mimpi yang lebih indah baginya kali ini selain membayangkan kepulangan ayahnya esok pagi.
Selang dua hari setelah suami Mak pulang, gonjang-ganjing tentang kepulangannya menjadi buah bibir bagi orang-orang di kampung. Mendapati hal semacam itu, tentu saja membuat darah suami Mak mendidih naik merangkaki ubun-ubunnya. Seperti kata Mak, Senol adalah orang dengan watak yang sangat keras. Saat emosinya memuncak ia sama sekali tidak peduli semua risiko yang kelak akan diterimanya.
Sebagaimana kebiasaan orang-orang Melayu pada umumnya, kedai kopi adalah tempat pertukaran informasi yang sangat efektif bagi mereka. Setiap informasi berpindah dengan cepat dari kepala ke kepala melalui lidah-lidah yang tangkas berbicara juga bagian jilat-menjilat. Semua hal bisa menjadi perbincangan hangat bagi mereka, mulai dari hal serius hingga hal remeh-temeh yang sama sekali tak ada manfaatnya kalau diperbincangkan. Misalnya tentang anjing si A yang kuat berlari melintasi tiga bukit empat lurah, tentang si B yang tak pernah lagi tidur sebilik dengan istrinya, juga tentang sawah si C yang belakangan ini tak pernah menjadi; gagal panen.
Tak luput juga, hari itu permasalahan yang menimpa Senol menjadi bahan perbincangan hangat terbaru bagi para pengunjung kedai kopi tersebut. Mereka dengan serius menceritakan masalah yang menimpa Senol beberapa waktu lalu, dan salah satu di antara mereka adalah pemangku adat yang tempo hari dimintai tolong oleh Uyung sebagai penjamin Senol.
“Sudah kubilang, tak ada gunanya melawan pemerintah,” ucap salah seorang pemangku adat kepada beberapa orang pengunjung di kedai kopi. “Kalian lihat sendiri bukan, bagaimana nasib Senol sekarang jika saya tak membantunya tempo hari,” sambungnya pongah.
Orang-orang yang dituju sebagian mengangguk serius tanda setuju, sedang sebagian lainnya hanya angguk-angguk balam saja.
“Tapi bukannya Senol kemarin sama sekali tak berurusan dengan pemerintah Tuak?” timpal seorang pemuda yang duduk berseberangan dengan Pemangku adat tersebut, “dia kan hanya protes kepada maskapai karena lahannya di serobot,” sambungnya lagi.
“Memang, tapi Maskapai itu telah mengantongi surat izin dari pemerintah, dan itu artinya Senol juga melawan pemerintah,” kata pemangku adat itu sambil menatap si pemuda, kemudian ia melihat orang sekeliling dengan wibawa khas orang-orang benar, “kalian semua tahu bukan! Negara menjamin keamanan bagi setiap investor dan itu tidak bisa diganggu-gugat lagi,” sambung pemangku adat menegaskan kepada semua orang yang ada di warung kopi.
“Oh jadi seperti itu,” simpul Pemuda itu pura-pura mengerti meski ia sendiri sebenarnya masih jauh dari kata paham akan hal yang diceritakan pemangku adat tersebut. Tapi di dalam hatinya timbul semacam getaran yang agak aneh, getaran yang sama saat ia mendengar kabar tentang harimau yang sedang berkeliaran di dalam kampung sebelah beberapa minggu lalu.
Selang berpuluh detik setelah itu, di ujung jalan mengarah ke kedai, tampak Senol berjalan tergesa-gesa. Kian lama kian mendekat, ditangannya sebilah parang tampak berkilau diterpa sinar matahari sore yang berwarna kuning keemasan itu. Ia telah membulatkan tekad untuk menyudahi omong kosong Pemangku adat tentang dirinya, tentang pemerintah, juga tentang maskapai yang telah menyerobot ladangnya.
Sesampainya di sana, tepat di depan batang hidung pemangku adat tersebut. Parang tadi di acung-acungkannya seraya melontarkan sumpah-serapah dan carut yang tak dapat diagak lagi. Pemangku adat itu ditariknya keluar dari dalam kedai. Tak ada seorang pun pengunjung kedai yang berani melerainya. Senol kemudian mengangkat parangnya tinggi-tinggi untuk mengambil ancang-ancang, sekali saja parang Senol di layangkan dan mendarat pada batok kepala pemangku adat tersebut tentu akan membuat otak pemangku adat itu terbelah menjadi dua bagian, dan jika sekali saja parang Senol melayang pada lehernya, maka terpisahlah kepala dengan tubuh pemangku adat tersebut. Lalu saat sebelum parang Senol benar-benar dilayangkan, tiba-tiba di benaknya terkilas sebuah senyuman; senyuman anak gadisnya yang begitu hangat-bahagia dua hari kemarin, saat ia baru saja di pulangkan dari ruang tahanan. Lalu, tiba-tiba saja amarah yang tadi menggumpal di dadanya menjadi raib entah ke mana.
Selesai
Profil Penulis
Lahir dan besar di Kenagarian Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Discussion about this post