Hari ini, aku menyaksikan bagaimana rasanya hidup di dunia seorang diri, tidak ada satu pun manusia. Sangat menakutkan, aku terus bertanya-tanya apakah ini mimpi, atau memang kenyataan yang tak bisa kuterima. Bagaimana mungkin gedung-gedung kosong, wahana lengang, tempat-tempat makan sepi, seluruh tempat sangat sepi. Jika ini kiamat, kenapa tidak ada kehancuran? bangunan masih kokoh berdiri, tapi manusianya hanya aku seorang saat ini, Menyaksikan kota yang benar-benar kosong.
Sewaktu kecil aku selalu mengatakan keinginanku kepada siapa saja yang bertanya, bahwa aku ingin dunia ini kosong dan hanya aku seorang diri hidup di dalamnya, hingga besar pun keinginanku tetap sama. Sebagian orang menganggap keinginan itu aneh, bahkan diriku dianggap aneh. Aku tidak heran jika orang-orang tidak menyukai, termasuk keluargaku sendiri. Sedari kecil aku hanyalah anak pungut, katanya aku ditemukan di pembuangan sampah di pinggir kota. Waktu itu hanya ayah angkat yang sangat menyayangiku, beliau juga yang membawaku dari tempat sampah tersebut hingga membesarkanku, sedangkan ibu angkatku acuh tak acuh, tapi menginjak usiaku enam tahun ayah meninggal, aku dianggap beban oleh keluarga, sejak itu hidup pula keluargaku semakin mengalami ekonomi yang semakin buruk, karena hilangnya tulang punggung keluarga.
Aku yang kecil pontang-panting ikut mencari nafkah bersama saudara angkat, ibu masih tetap sama, memperlakukanku berbeda, maka tidak asing bila aku terbiasa sendirian hingga besar. Sebenarnya aku rindu sosok belaian kasih seorang ibu, aku berharap ibu yang kini bersamaku, meski bukan sedarah setidaknya memperdulikan sebagai anaknya, aku tidak peduli siapa orang tuaku, kenapa mereka membuangku, sungguh aku tak ingin tahu. Tapi sayangnya ibu yang kuanggap ibu terus mengabaikan, bahkan saudara yang kuanggap saudara juga mengabaikan. Aku dianggap beban dan pembawa sial bagi mereka. Karena terlalu sering diabaikan, aku mulai menabung sedikit demi sedikit uang dari hasil kerja dan membeli rumah kecil di pinggiran kota dengan harga murah, milik teman baikku selama ini. Untungnya dia menjadi salah satu manusia yang peduli layaknya saudara sendiri. Tapi sayangnya, setelah empat tahun aku pindah, temanku meninggal dunia, jadilah rumahnya kini aku yang menempati. Aku kembali kesepian, keluarga angkatku tidak satu pun menjenguk, meski setiap akhir pekan aku suka membawakan oleh-oleh buat mereka, tapi sikapnya tetap sama. Kesepian, kesedihan terus memelukku dengan erat, maka suatu hari aku benar-benar menginginkan aku tinggal di dunia yang kosong. Hidupku terlalu berat saat ini, setelah memutuskan tinggal sendiri dari keluarga, aku tidak menemukan kebahagiaan.
Setelah ditinggal pergi oleh teman baikku, aku dituduh mencuri oleh rekan kerja, hingga membuatku harus kehilangan pekerjaan. Orang-orang yang tinggal di dekatku juga menganggap aku wanita aneh, suram dan tidak suka bergaul. Karena sering dianggap remeh, sedikit trauma dalam diriku muncul, setiap kali melewati gang untuk pulang ke rumah aku seakan melihat ilusi orang-orang membicarakanku, mengatakan diriku anak haram, pembuat onar yang menjadi sampah masyarakat. Kabar aku dibuang ternyata tersebar di tempat kerja hingga ke wilayah tempat tinggal. Bahkan mereka mengatakan aku mencuri rumah sahabatku yang telah meninggal dan memberikan rumahnya untukku. Fitnah mengenai aku telah memakan uang kantor secara diam-diam juga tersebar, entah siapa penyebar gosipnya. Aku tidak tahu tapi memilih untuk tidak melawan. Sebenarnya tindakan ini memang salah, aku seharusnya berontak, tapi sikap diamku memang membaja.
Aku tidak berani berontak, hanya bisa menerima segala tuduhan palsu, lalu melarikan diri dari tempat ke tempat. Maka nyata saja aku dianggap sebagai pelaku yang lari dari tanggung jawab. Begitulah hari ini, aku tinggal di perbatasan kota yang jauh. Entah di mana dan aku juga tidak tahu, hidupku sudah habis bertahun-tahun luntang-lantung berpindah tempat, serta usia kian bertambah. Untungnya di sebuah pelosok kecil aku dapat sedikit bernapas beberapa saat untuk menenangkan pikiran. Meski aku rindu keluarga angkatku yang tak pernah baik, setidaknya mereka tetap mau membesarkanku, meski sejatinya ayah yang membawaku ke keluarga mereka. Tapi entah mengapa aku tiba-tiba merindukan kehangatan sebuah keluarga. Karena sebenarnya aku tidak memiliki keluarga, suatu hari aku berharap dunia ini benar-benar kosong dan hanya aku seorang yang hidup. Biarkan aku mengambil alih dunia, hidup sebebas-bebasnya, manusia hanya tahu saling menyakiti satu sama lain demi keuntungan mereka. Kadang aku menyesali terlahir ke dunia, jika saja waktu itu aku dibiarkan memilih, aku akan memilih tidak menjadi apa-apa dan tidak terlahir ke dunia ini. Hari ini kenyataan yang tidak kuduga terjadi, dunia tiba-tiba saja kosong, hanya ada desau angin, burung pun tiada berkicau.
“Apakah Tuhan mengabulkan doaku?”
Sejenak aku bergumam, bertanya-tanya sambil berjalan mengitari kota yang kini sunyi tanpa manusia
“Di mana ibu dan saudara-saudaraku?”
“Kenapa semua ini terjadi?
“Apa sebenarnya ini, kiamat atau ..?
Aku menjadi bingung, aku berteriak ke sana kemari memanggil-manggil, barangkali ada orang di sana, tapi tidak ada satu pun yang menyahut, rumah keluargaku juga sepi. Suasana yang benar-benar menakutkan setelah kematian, oh iya apakah aku mati dan sedang berada di alam lain. Tapi rasanya tidak mungkin alam barzah demikian. Dua jam aku berjalan sambil menangis, takut dan cemas berbaur. Aku benar-benar takut jika ini akan berlangsung lama, karena lelah aku memutuskan duduk di sebuah restoran. Membayangkan bagaimana jadinya jika dunia memang akan menjadi seperti ini selamanya, serta aku menjadi manusia yang hidup seorang diri. Karena lelah bercampur takut, aku menangis terisak sambil memohon kepada Tuhan.
“Kembalikan duniaku, ya, Tuhan. Aku mencabut keinginanku, aku ingin seperti semula hidup dengan banyak manusia, tidak peduli seberapa jahat mereka, hidup sendirian sangat menakutkan.”
Aku masih terisak seorang diri
“Aku tahu, semua manusia akan mati pada masanya, tapi aku tidak berani meminta permohonan untuk mati, aku ingin hidup, hidup sedikit lebih lama.”
Aku menarik napas sejenak, kembali berbicara lagi
“Aku meminta permohonan untuk mengosongkan dunia waktu itu, dan hidup seorang diri, hanya ingin hidup tanpa kesakitan lagi, aku tahu bahwa sumber kesedihan itu dari manusia.”
Aku berhenti sejenak, menarik napas dan kembali terisak.
“Tuhan maafkan aku, kembalikan duniaku.”
Kali ini tak ada kata-kata yang mampu aku ucapkan, dadaku semakin sesak dan isakku semakin kuat, tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku, aku mengangkat wajah. Aku melihat kabur ke wajah seseorang yang sepertinya tidak asing, sebab mataku dipenuhi oleh air mata, aku mengusap sejenak dan memastikan orang yang berdiri di hadapanku. Aku tersentak, seorang wanita tersenyum mengulurkan tangan.
“Kamu baik saja-saja, Nak?”
Perempuan itu memastikan, aku hanya menatap diam tanpa menjawab pertanyanya. Aku mencoba mencerna apa yang terjadi, lalu melihat sekeliling, dunia tidak lagi berhenti dan aktivitas seperti sedia kala, restoran kini dipenuhi orang-orang yang menatapku cemas yang menangis sesegukan. Wanita yang di hadapanku masih menunggu jawaban dariku, ia menatap cemas, aku masih melihat di sekitar, wahana dipenuhi oleh anak-anak yang tertawa riang, kendaraan berlalu-lalang dan kegiatan keadaan telah normal.
“Apa kamu sakit?”
Wanita itu kembali bertanya.
“Bu, apakah tadi di sini kosong, bahkan di semua tempat tidak ada siapa pun, kalian pergi ke mana? Apakah tadi benar-benar tidak terjadi apa-apa?”
Perempuan itu mengerutkan kening, kebingungan mendengar pertanyaan itu secara tiba-tiba
“Kosong bagaimana, banyak orang di sini Nak, bukankah kau melihat sendiri.”
Dia menunjuk ke arah yang dipenuhi orang, benar tidak ada yang kosong, sepertinya hanya aku yang berhalusinasi atau itu jawaban Tuhan bahwa itulah gambaran dunia yang sunyi beberapa waktu. Aku akhirnya berdiri dan mengatakan baik-baik saja kepada perempuan itu, lalu beranjak meninggalkan restoran meski diiringi tatapan pengunjung dengan penuh pertanyaan, aku tidak peduli dan terus berjalan sambil menyaksikan keadaan kota. Aku bersyukur semuanya kembali normal dan aku hanya berharap ke depannya, semoga Tuhan akan memberi sedikit kebahagiaan untuk diriku meski saat ini hidupku terasa sulit.
Riau, 2023
Penulis, Riska Widiana, berdomisili di Riau, kabupaten Indragiri hilir. Tergabung ke dalam komunitas menulis Kepul (kelas puisi alit) karyanya termuat ke dalam media cetak dan online seperti Suara Merdeka, Merapi, Serawak Malaysia, Nusa Bali, Pontianak Post, Lombok Post, Babel post Majalah Hadila, Elipsis, Semesta Seni, Apajake, Klasika Kompas, Cendana News, Magrib Id, Metafor Id, Barisan Co. Ayo Bandung dan lain-lain. Sebagai juara satu dalam lomba tingkat nasional Jakarta dan Kolaburasi 2022 Kategori puisi terbaik, Negeri Kertas 2022) (Penulis puisi terbaik oleh penerbit Alqalam Batang dan Salam Pedia 2021) dan lainnya. Alamat Facebook Ri-Ana, Instagram riskawidiana97 dan alamat email [email protected]
Discussion about this post