Aku menggeser posisi dudukku, hingga nyaman meletakkan kepalaku pada sandaran kursi pesawat ini, memandang keluar jendela. Teringat lagi sebuah masa, beberapa bulan lalu di Lexington. Ketika Ayahku setelah sepuluh tahun lamanya akhirnya mengambil keputusan untuk kembali ke Indonesia. Malam itu, ketika aku baru saja pulang dari pekerjaan paruh waktu, seperti biasa aku selalu pulang mengendap-ngendap karena tidak ingin membuat siapapun terbangun.
Di depan pintu selalu kubuka sepatu hak tinggiku agar derap nya tak terdengar saat masuk ke dalam rumah. Biasanya rumah selalu sepi, saat aku pulang, tapi tidak kali itu. Dari kamar Ayah terdengar suara Amy berteriak dan memaki-maki, tidak, aku tidak heran, baik Ayahku dan Amy-pacar Ayahku tidak pernah bicara dengan benar, memaki adalah cara mereka bicara sehari-sehari. Namun kali ini yang membuat aku terdiam ketika Amy mulai mengeluhkanku, mengeluhkan Ayahku, dan berakhir dengan kata-katanya yang tidak ingin kami berada di rumahnya lagi, ia ingin kami pergi. Aku tidak marah saat mendengar itu, tidak kecewa, tidak pada Amy, aku memang telah mempersiapkan diriku jika suatu waktu Amy tidak lagi menginginkan kami, aku tidak pernah membencinya. Bukan hanya karena tak pernah menikah dengan Ayahku, aku memang tidak pernah menganggapnya sebagai pengganti Ibu, aku selalu menganggapnya sahabat, meski umur kami terpaut belasan tahun bedanya.
Amy wanita yang baik, bertahun-tahun aku dan Ayah tinggal di rumah kecilnya, setelah restoran Ayah di Kentucky bangkrut, Amy yang mencintai Ayah bahkan rela menampung kami berdua bertahun-tahun. Mana bisa aku membencinya. Dan aku mulai tau diri, saat sekolahku selesai, aku sama sekali tidak ingin melanjutkan untuk kuliah, aku hanya ingin bekerja, membantu Ayah yang kemudian menjadi pekerja serabutan, dan Amy yang hanya seorang perawat di klinik kecil di Lexington, klinik kecil, gajinya pun kecil. Kami bertiga harus bekerja untuk bisa meneruskan hidup. Bahkan aku mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu sekaligus dalam sehari, ketika Ayahku mulai sama sekali tidak bekerja, tidak ada lagi pekerjaan yang bisa ia kerjakan, selain di rumah, membereskan rumah dan memasak untuk kami.
Kejadian malam itu, membuat aku berpikir keras bagaimana nanti setelah kembali ke Indonesia, apa yang harus Ayah dan aku lakukan. Di kamarku malam itu, sementara suara-suara saling berteriak dari kamar Ayah mulai hilang, aku menyusun banyak sekali kemungkinan-kemungkinan di kepalaku. Pertama, apakah setelah tiba di Indonesia aku harus mencari Ibu untuk meminta tinggal di rumahnya dan hidup bersamanya? Tidak, aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak mencarinya. Kedua, apakah Ayah mau menemui Kakek, berdamai, dan minta tinggal di rumahnya sementara kami mencari pekerjaan. Rasanya ini yang paling sulit, meruntuhkan ego Ayah dan Kakek. Tidak mungkin. Ketiga, menjual barang berharga yang ada, dan hidup sangat sederhana di sudut manapun kota Jakarta atau kota apapun yang biaya hidupnya murah. Ini yang paling mungkin. Aku bahkan mulai menghitung uangku, dan perhiasan yang sempat kubeli dari upahku. Sungguh hidup kami tidak mudah, jujur saja, sejak kepergian Ibu. Seandainya Ibu tidak pernah meninggalkan kami.
Paginya, seperti biasa ketika aku terbangun Amy sudah tidak di rumah, ia sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Hanya ada Ayah saat aku ke dapur, tengah memanggang roti lapis selai kacang. Makanlah, setelah ini kemasi barangmu. Kita akan pulang ke Indonesia hari ini. Ayah pinjam uang pada Amy, tapi ia langsung membelikan tiket untuk kita. Ia memberi uang juga untukmu. Ayah berujar datar, sambil sibuk mengoles selai kacang dan menyodorkan ke depanku. Aku diam saja, hanya mengangguk. Selesai makan aku kembali ke kamarku dan mengemas beberapa baju saja. Aku meninggalkan banyak barang, aku tidak ingin membuat Amy merasa benar-benar kehilangan. Aku menyayangi Amy, begitu juga Ayahku, meski ia kelihatan baik-baik saja, aku tau sebenarnya tidak, begitu juga dengan Amy, mungkin ia akan menangis beberapa hari saat menyadari di rumah tidak ada lagi yang memasakinya, menemaninya minum hingga larut malam, dan tidak ada lagi yang bisa ia lempari dengan bantal, atau ia akan benar-benar menikah seperti yang adiknya ceritakan padaku. Entahlah, aku tidak pernah bertanya, dan aku tidak ingin tau. Aku hanya ingin menyayanginya tanpa rasa benci.
Beberapa hari berlalu di Jakarta, kami akhirnya tinggal di rumah Kakek. Di luar dugaanku, tidak ada ego di antara keduanya, Kakek bahkan memeluk Ayah erat, dengan mata yang berkaca-kaca. Ternyata jarak dan waktu mampu mengubah keangkuhan seseorang menjadi kerinduan. Pada hari kami datang, wajah Kakek begitu penuh sayang menatap Ayah, rindunya buncah, lantas memeluknya tanpa bertanya. Hanya mengatakan dua kata “Anakku pulang”.
Dulu aku pergi ikut Ayahku bukan hanya karena aku tidak ingin meninggalkan ia yang dikhianati Ibu, tapi juga saat itu Kakek benar-benar murka dan memecatnya dari perusahaan, dan yang paling buruk adalah ia selalu mengatakan Ayah gagal membangun rumah tangga, membuat malu keluarga. Ya, ini semua karena Ibu memang bukan orang biasa, tidak jarang perang mulut terjadi antara Ayah dan Kakek, hingga akhirnya Kakek mengusirnya pergi dari Indonesia. Diatur dengan sangat rapi hingga Ayah pergi dari hadapannya. Tapi sekarang, kembali mengadu pada Kakek, seperti menjadi surga bagi kami berdua.
Ayahku kembali pada perusahaan yang telah ia tinggalkan lama, dan aku, jangan ditanya Kakek membantu melanjutkan studiku, aku menjadi mahasiswa, bukan lagi pekerja paruh waktu yang pagi di minimarket, sore ke restoran, dan malam datang ke bar demi dollar-dollar yang aku kumpulkan untuk makan. Benar, episode hidupku yang seperti itu sudah berakhir.
***
Suatu sore sebelum kepergianku ke Lexington -aku hanya ingin melihat Amy, wanita cantik dengan rambut coklat emas itu, tidak untuk bertemu dengannya, hanya melihatnya saja sudah cukup mengobati rinduku, aku berjanji pada Ayah akan kembali lagi ke Indonesia setelah melihatnya, dan mengunjungi beberapa teman. Aku duduk di ruang tunggu bandara, menunggu pesawat. Seorang wanita duduk di sebelahku, tiba-tiba menawarkan minuman hangat padaku. “Perjalanan panjang, minumlah ini, supaya badanmu tidak lelah begitu tiba di sana.” Ia menyodorkan minuman dari tangannya. Aku menoleh, matanya persis sama denganku, tidak beda sedikitpun. Ia tersenyum.
Aku benar-benar kaget saat itu, karena saat tiba di Indonesia bahkan bertahun-tahun sebelumnya aku tidak pernah mencarinya. Melihatnya di televisi saja, cukup bagiku untuk tahu kabarnya, itu kenapa aku tidak pernah berniat mencarinya. Pelan aku mengambil minuman yang ia tawarkan. Ia melanjutkan “Sudah hampir setahun Ayahmu kembali ke Indonesia, dan dia selalu mengunjungi Ibu.” Aku terdiam mendengar kalimatnya, Ayah tidak pernah bicara apapun padaku tentang ini. Ia lanjutkan lagi. “Ibu hanya ingin kita kembali, dan Ibu tidak menyangka ternyata Ayahmu juga ingin kita seperti dulu lagi. Maaf untuk apa yang pernah Ibu lakukan. Ibu menyesal, kepergianmu dan Ayahmu adalah luka bertahun-tahun untuk Ibu, itu kenapa Ibu tidak pernah menikah. Ibu hanya ingin kau dan Ayahmu.” Aku tau nada bicaranya terdengar berat menjelaskan ini, penuh kekhawatiran.
Untuk pertama kalinya aku kecewa dengan Ayahku. Tidak ada yang aku pikirkan selain membalas ucapannya. “Aku tidak bisa. Kembalilah pada Ayahku, jika dia ingin. Hiduplah berdua dan punya anak lagi. Jangan pernah ingat aku sebagai anakmu. Ibu tidak tau apa yang terjadi padaku. Orang tua mungkin mudah membenci dan mencintai kembali, mungkin juga mudah meminta maaf. Tapi orang tua tidak pernah bisa mengembalikan apa yang pernah hilang dari anaknya. Tidak. Tidak semudah itu.” Aku bicara dengan jari jemari yang bergetar memegang gelas. Aku tidak ingin melihatnya, aku tidak menatap matanya, atau melanjutkan pembicaraan bodoh ini. Bersyukur panggilan pesawatku akhirnya berbunyi. Aku berlalu darinya, dan meninggalkan minuman yang tidak kuminum sedikitpun. Dikepalaku saat ini adalah memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk tinggal di Lexington saja dan tidak kembali pada Ayahku.
Tentang Penulis: N. Mareta berasal dari kota Batam, Kepulauan Riau. Seorang pendiri komunitas cinta membaca 1 Bulan 1 Buku di kota Batam. Terpilih sebagai 1000 penyair terbaik Indonesia pada tahun 2017, dan puisinya dimuat dalam 250 Puisi Terbaik – Antologi Puisi Baju Baru untuk Puisi dan Hal-Hal yang Belum Kita Mengerti oleh Bebuku Publisher.
Discussion about this post